Memori De (1)

10 1 0
                                    

"Mau kemana kita hari ini?"
"Asian Para Games doong yuhuu!"

Terdengar suara video itu dari ​handphone yang sudah 6 jam tanpa henti aku lihat. Tidak cuma itu, foto dan juga ​boomerang​ turut meramaikan 6 jam tersebut.
De merupakan anak manis yang sedang berkuliah di kampus yang sama denganku. Pertama kali aku mengenalnya ketika kami berada di dalam suatu kepanitiaan yang sama. Kala itu, aku yang menjadi kepala bidang kesehatan bisa semudah itu aku mengenalnya karena ia merupakan ​staff ​kesehatan yang cukup aktif.
Belum sempat raut wajah ini mengatakan "aku rindu De", aku mendapatkan kabar dari temanku bahwa De sedang berkabung karena kepergian orang yang paling ia cintai. Yaitu, kakeknya.

Dilema. Sungguh bergejolak hati ini ingin langsung menuju rumah duka. Ketika hendak pergi dari rumah, ​handphone​ku berdering. Rupanya Is menelepon.

Saat ini, aku merupakan kekasih dari seorang Is. Sedikit ulasan, awalnya, aku dan Is sudah berjalan selama setahun. Kesalahan komunikasi terakhir antara aku dan dia membuat kita berpisah dan aku bertemu dengan De dan berpacaran dua pekan setelah aku bertemu dengan De. Is yang merasa ditinggalkan kemudian marah kepadaku. Setelah proses beberapa hari, aku rujuk dengan Is dan meninggalkan De setelah berpacaran dengan De selama satu setengah bulan.

"Kamu dimana?"
"Rumah tapi mau pergi."
"Ke?"
"Rumah De. Kakeknya baru saja meninggal."
"Gak boleh."
Deg. Sontak akupun kehilangan kata-kata.
"Loh sayaaang, kenapa gak boleeh? Kan aku hanya mengucapkan belasungkawa." "Pokoknya gak boleh. Kalo kamu kesana aku ngambek."
Percakapan itu kemudian diputus olehnya.

Ah, ini tidak akan lama. Hanya berjumpa dan mengucapkan duka dengan sedikit basa-basi. Kupikir, itu reaksi wajar ketika seseorang cemburu. Ia hanya butuh sedikit pengertian.

Dengan modal kenekatan, aku berangkat menuju rumahnya yang berada di tengah kota Jakarta. Bemodalkan kendaraan umum dan peta daring, akhirnya aku sampai di rumahnya pukul sembilan malam. Masih ada beberapa temannya di rumah dia. Keadaan yang sedikit canggung membuatku menunggu teman-temannya pulang. Hingga akhirnya aku dipersilakan masuk oleh De.

"Turut berduka ya De, semoga amal ibadah beliau diterima di SisiNya."
"Makasih ya."​ ucapnya dengan dingin.
Aku yang sebenarnya tengah merindukannya benar-benar tidak ingin percakapan ini segera berakhir. Lantas aku bertanya kepadanya mengenai penyakit apa yang dialami oleh kakeknya.
"Maaf ya, gua ninggalin lu waktu itu kayak gitu aja."
Ia hanya mengeluarkan senyum yang tipis yang menggambarkan kebencian dari bibirnya.
"Rencananya, abis ini gimana? Masih ngekos di deket kampus"
"Kayanya sih enggak."

Aku turut menceritakan kehidupan perkuliahanku di hadapannya hanya untuk tetap menatap dirinya selama yang aku mampu. Hanya saja yang aku dapat berupa tanggapan yang sangat singkat, anggukan, gelengan, dan perkataan ​ooh ​iya​. Tidak sedikitpun ia memperpanjang usia percakapan untuk terakhir kalinya antara aku dan dia.

Mulut ini berusaha untuk tidak berhenti berbicara, hanya saja waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul sepuluh malam. Aku merasa tidak enak karena sudah terlalu malam untuk bertamu. Rumahnya memang masih ramai, tapi keramaian tersebut diisi oleh keluarga dan sanak saudaranya. Aku yang merupakan orang 'yang tidak lagi penting baginya' hanya merasa tidak enak jika bertamu se-malam ini. Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk berpamitan kepada dia dan keluarganya. Ia ingin terlihat baik-baik saja antara aku dengannya. Ia mengantarkan aku sampai gerbang depan rumahnya.

Belum sempat aku berkata "Gua duluan ya.", salah satu bibinya juga hendak pulang dari tempat tersebut. Lantas aku mengurungkan niatku untuk mengatakan hal tersebut sampai bibinya pergi dari halaman depan rumahnya.
"Gua duluan ya?"
"Iya makasih ya."
"Hati-hati. Jaga diri lo ya?"
Ia menjawab dengan anggukan yang mantap dan muka yang amat dingin.

Aku masih terbujur kaku. Rasanya, badan ini tidak ingin berpaling dari hadapannya. Karena tidak tahan, akhirnya aku berbalik badan dan bertanya
"Boleh gua minta tolong?"
"Apa?"
"Last hug."​ dengan suaraku yang menipis karena takut.
"Hah?" Motor 250cc yang lewat depan rumah dia ketika aku mengucapkan kalimat tersebut membuat ia kurang jelas dalam mendengarkan tentang apa yang aku katakan.
Dengan menghela napas, aku berkata dengan nada pesimis.
"Mau minta pelukan terakhir. Ya kalo boleh sih kalo enggak juga..."

"Yaudah sini."
Jujur, aku tidak menyangka mengenai ini. Kemudian aku mendatanginya dan mendekapnya dengan erat. Hanya saja, ia tidak membalas dekapan hangatku itu. Tangannya tetap dibawah dan tidak melakukan apa-apa sembari menunggu aku selesai memeluknya. Cukup lama aku memeluknya, hingga aku sadar bahwa aku hanya merindukannya namun saat ini aku bukan siapa-siapa lagi untuknya.

Kemudian, aku benar-benar pamit dari rumahnya dan ia masuk ke dalam rumahnya.
Sepanjang jalan aku terdiam. Sepanjang jalan aku termenung karena pelukan terakhir itu. Tak disangka, setelah ini pun aku masih merindukannya.
Is yang mengetahui aku pergi ke rumah De kala itu, mulai kehilangan kepercayaan denganku. Beberapa kali kami bertengkar hingga akhirnya kami memutuskan untuk berpisah untuk kedua kalinya.

Saat ini, aku tengah menjalin hubungan dengan Gina. Kupikir dengan menjalin hubungan baru, semua akan hilang begitu saja. Sayangnya, aku diciptakan olehNya untuk mengenang memori yang indah. Terutama ketika aku bersama De. Meski hanya satu setengah bulan, banyak sekali kenanganku bersamanya yang masih melekat secara sempurna dalam benakku.

Masih Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang