4. Insiden kembali

8 2 1
                                    

"Prasangka itu ibarat ikhfa haqiqi yang artinya samar. Kalau kenyataan itu baru idhar, Jelas."

   Detektif Ramadhan

    Semua santri  Baitul Mukaromah berkumpul di Aula atas. Entah mengapa mereka dikumpulkan di atas. Biasanya di bawah, tetapi tidak untuk hari ini.

   Terlihat sosok pria sekitar umur 50 tahunan sedang murka. Wajahnya merah padam. Entah apa penyebabnya, pria itu mengumpulkan mereka semua.

    "Saya mendapat laporan dari Pak Hamin, sandal beliau hilang," ujar Tarmin selaku pengurus masjid Baitul Mukarom.

  "Kita lagi-lagi kecolongan sandal. Setiap Ramadhan tiba, pasti sandal ada yang hilang. Bahkan sudah tiga tahun berturut-turut kita tidak bisa menangkap orang itu," lanjutnya.

  Tarmin ini adalah pengurus masjid sekaligus penjaga masjid ini. Setiap hari Tarmin membersihkan masjid tiga kali dalam sehari. Pagi, siang dan sore menjelang maghrib.

  Bukan hanya dirinya saja, tetapi juga istrinya. Itulah mengapa santri di sini lumayan tunduk padanya. Karena Tarmin sangat dekat dengan guru ngaji mereka. Kalau sampai mereka membantah, pasti mereka kena imbasnya dari guru ngaji mereka---Dan itu semua karena Tarmin mengadu kepada guru mereka.

  "Entah apa motif pencuri sandal itu! Tahun kemarin hanya beberapa saja yang diambil. Palingan sekitar 10 pasang sandal. Tetapi tahun ini, setiap hari tiga sampai lima pasang sandal yang menjadi targetnya." Tarmin nampaknya sangat frustasi. Banyak warga yang melapor kepadanya, tentang kehilangan sandal.

  "Bahkan sampai parahnya, sandal Bu Darmi yang sudah buruk saja di curi. Apa maksudnya?"

   "Mungkin untuk di jual Pak Tarmin," komentar salah satu santri, tak lain adalah Umar. Santri baru yang bergabung ngaji bersama mereka.

  "Kalau di jual, apa laku?" jawab Tarmin.

  Memang benar yang di katakan Tarmin, untuk apa sandal buruk bahkan bukan sandal bermerek itu di curi? Wajar saja kalau yang di curi itu sandal yang bermerk, tetapi ini?

  Hal yang tidak wajar. Apalagi dalam satu hari hilang tiga sampai lima pasang.

    "Mungkin sandal itu dijadikan sesuatu yang lain Pak Tahrim," jawab Umar kali kedua.

  Tidak ada yang menjawab, kecuali Umar. Padahal Umar ini anak baru yang ikut mengaji di sini, dan Umar bukan anak dari kampung ini. Melainkan dari luar kota.

  Mereka semua tak bergeming, sedangkan Tarmin masih mencerna dan memikirkan perkataan Umar.

  "Benar juga Umar, tetapi untuk apa? Motif mereka itu apa gitu loh? Kenapa harus sandal, apalagi yang butut!"

  "Buat bediang kali Pak Tahrim!" celetuk Ali yang pringas-pringis itu.

Mereka semua tertawa atas jawaban Ali, bediang itu dalam bahasa Indonesia itu bakar-bakar, biasanya orang jawa bediang itu untuk hewan ternak. Supaya tidak ada nyamuk, apalagi di musim penghujan saat ini.

  Berbeda dengan mereka yang tertawa, Pak Tahrim justru tambah murka.

  "Cukup! Ini tuh bukan main-main. Ini masalah serius, kalian pikir sandal itu sepele? Mentang-mentang aja kalian kan kecolongan!" tukas Tahrim sedikit jengkel.

  Hening. Tak ada canda, atau jawaban nyeleneh lainnya. Kalau sudah begini tidak ada yang dapat mendebat atau membuat ulah. Tarmin lebih mengerikan ketimbang guru ngaji mereka.

   "Sekarang jawab jujur! Diantara kalian gak ada yang mencuri sandal kan? Tolong jawab jujur! Tidak usah malu, sebelum semuanya terkuak," tegas Tarmin dengan melihat tajam ke arah mereka semua.

Detektif RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang