6. Nikmat

4 2 1
                                        

        "Kenikmatan itu, Bukan tentang  kekayaan, harta, kedudukan bahkan jabatan tertinggi sekalipun. Kenikmatan yang sesungguhnya adalah memiliki secuil ke- iman- nan "

   Detektif Ramadhan

   Setelah kejadian kemarin malam, keesokan harinya aku menjadi santapan pagi mak aku. Mak aku marah sekali, hanya gara-gara tadarus kemarin malam terlambat. Sebenarnya mak aku  tidak tahu kalau aki terlambat, cuma Kang Haji yang melaporkan. Siapa lagi kalau bukan Kang Haji? Ya walaupun terkadang Pak Munib juga sih, tapi tidak terlalu seperti Kang Haji.

  Terkadang aku serba salah dan serba di awasi. Segala tingkah, tindakan ku selalu ada mata yang mengintai.  Seperti aku kaya maling saja.

    Aku mengambil kunci motorku, dan baru saja mau menyalakan. Tiba-tiba

  "Gak usah pakai motor! Jalan." Mak aku langsung menyerobot kunci dari motor Vario ku yang berwarna putih.

  "Kenapa sih mak?" tanyaku kepadanya. Apa kesalahanku lagi? Bukankah tadi aku sudah kena comprengannya?

"Jalan ya jalan. Masih tanya kenapa?" Sorot mata Mak aku menatap tajam. Ah, kalau sudah begini aku harus berbuat apa? Aku tidak mau tanganku lepas dari engselnya.

   Tanpa ba bi bu, aku melangkah untuk ke majlis ilmu. Namun baru sampai di pintu rumah, bapak ku memanggilku.

  "Rim! Bawa aja," ujar Pak aku. Pak aku ini orangnya kalem, tapi kalau udah ngamuk sangat menakutkan. Ketimbang mak، jauh lebih menakutkan pak aku kalau lagi marah. Tetapi Pak aku jarang sekali marah. Ya walaupun aku seperti ini, Pak aku selalu menasihati. Tak seperti Mak aku yang dikit-dikit main kayu.

"Eh eh nggak! Bapak itu gimana ta? Itu tuh hukuman buat Tahrim Pak!" kata Mak aku tak terima tawaran Pak aku kepadaku.

   "Sudahlah, Sarmi. Dia itu anak kita, toh tadi pagi sudah kau hukum. Kasihan Tahrim siang-siang jalan kaki, apalagi cuacanya panas."

"Pak, tuh anak kalau di manja bakalan jadi apa? Gak boleh titik!"

  Manja? Sejak kapan aku di manja? Ck. Justru kata yang tepat adalah 'sengsara'

  Sejak kecil aku hidup sengsara. Aku mengatakan hal itu karena memang fakta kehidupan ku. Saat anak kecil sedang bersenda gurau, bermain layangan. Aku? Aku malah mencari makan untuk sapi dengan menuntun sapi ke padang rumput. Terkadang, mencari rumput di jagung-jangungan. Yang membuat kulitku menjadi hitam dan gatal.

  Hal itu paling mainstream bagiku, lebih baik aku membajak sawah dengan traktor daripada mencari makan hewan ternak.

  "Sarmi, sekali ini kau nurut sama suami." Pak aku tak berhenti membujuk Mak aku, Mak itu orangnya keras kepala. Sekali ini ya ini, kok Pak aku betah ya sama Mak aku?"

  Ck. Dasar! Tahrim-Tahrim!

"Selama ini berarti aku tak menuruti engkau hm?"

  Yah adu mulut sudah dimulai. Males mendengarkan Mak aku yang ngeroces kemana-mama. Risi telinga ini. Lebih baik aku cepat pergi dari rumah ini, daripada telingaku panas mendengarkan mak aku yang terus ngoceh.

  Biarlah mereka adu mulut. Bodo amat bagiku.

***

   Ali merebahkan tubuhnya di lantai yang dia anggap seperti kasur. Cuaca seperti ini enak kalau tiduran di lantai. Dingin. Daripada kasur yang panas. Dia tidak tidur, hanya saja memejamkan matanya.

  Sesekali dia melirik ponselnya yang tergeletak di sampingnya tepatnya dekat dengan jam gadang di aula ini.

  Jam menunjukkan pukul 10:30, ngaji akan dimulai jam 11.00. Sebenarnya ngaji siang ini dimulai jam 10:30 tetapi karena kita orang Indonesia yang sukanya dan sudah mendarah daging sejak lama sehingga ngaji tertunda sampai pukul 11.00.

Detektif RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang