"Apa kabar?" Aku bertanya setelah sekian belas menit berdiam diri. Padahal kau pergi tidak lebih dari tigapuluh hari. Namun, tidak-lebih-dari-tigapuluh-hari itu membuatku terpaksa menimbun rindu. Belum lagi penyakitku yang hilang-timbul, membuatku ingin mengeluhkannya padamu. Namun kukatakan pun percuma. Sungguh, gawai yang kupakai untuk menghubungimu waktu itu samasekali tidak membantu. Aku hanya bisa diam membatu, mendengarkanmu bercerita banyak hal. Padahal tujuanku semula adalah untuk didengarkan, bukan untuk mendengarkan.
"Baik. Bagaimana denganmu?" Suara lembutmu membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
Tidak, aku tidak benar-benar tersenyum. Kalau boleh jujur, sungguh aku lupa bagaimana caranya tersenyum tulus. Bibirku kaku setelah sekian belas hari tanpamu, membiarkan hatiku yang memegang penuh kendali tubuhku yang menyuruh sang mata untuk terus menangis dan menangis sepanjang hari. Aku lupa, sungguh.
Kalau boleh juga, aku mau jujur tentang bagaimana kabarku. Buruk. Tidak. Perih. Tidak. Aku kembali terluka. Tidak. Entah, bagaimana mendeskripsikannya? Bagaimana menjabarkan tangis-tangisku selama ini? Bagaimana caranya aku menjelaskannya padamu?
Aku lelah, aku ingin berhenti. Rasanya perih, aku terlalu rapuh, lukaku kian menganga lebar, sakit-sakit yang telah lama memudar kembali hadir. Mereka semua menjadi teman baikku selama sekian belas hari kamu pergi. Bisakah kau menyadarinya?
Aku kembali mencoba tersenyum, menatapmu lekat, "aku baik-baik saja," kataku pada akhirnya. Kamu membalas senyumku, mengelus pucuk kepalaku lembut.
"Syukurlah. Aku senang mendengarnya," jawabmu.
Nyeri, Tuan. Kalimat itu menusuk tepat di ulu hatiku.
-erraven