17. Weather the storm [END]

590 47 2
                                    

Aku pernah berada di fase bimbang, dimana aku harus memantapkan hatiku kepada siapa dia harus berlabuh.

Aku pernah mengatakan bahwa takdir kejam, nyatanya takdir menuntun kita kepada kebahagiaan.

Aku pernah menjadi jahat tapi waktu menyadarkanku.

Semua hanya tentang kesabaran dan usaha.

"Sayang.."

Lamuanku terhenti saat merasakan kecupan hangat di pipi kananku.

"Jangan banyak melamun! Kasian dedek bayi nanti dia suka melamun juga kayak kamu."

Aku mencubit pinggangnya keras.

"Aku gak mau masakin kamu hari ini." Balasku merajuk.

Adit terlihat panik.

"Yah jangan gitu dong."

Aku tak menghiraukannya.

Dia kemudian berjongkok di depanku, mengusap perutku yang semakin hari semakin menonjol.

"Dedek tolong kasi tahu Ibu biar gak ngambek lagi ya, perut Ayah tersiksa kalau Ibu gak mau masakin Ayah."

Momen ini selalu membuatku terharu, saat dimana Adit berbicara pada calon anak kami.

Begitu banyak hal yang terjadi antara aku dan Adit hingga akhirnya kami memutuskan menikah 2 tahun yang lalu.

Sikap Adit makin manis sejak menikah ditambah lagi kabar aku positif mengandung membuat ia semakin bahagia.

Aku sebenarnya tidak menyangka jika takdirku akan digariskan dengan Adit, teman pertamaku saat kuliah.

Takdir Tuhan sungguh menakjubkan.

Sejak insiden kesalahpahaman 5 tahun yang lalu itu, Adit menjadi lebih ekspresif dari biasanya dia bahkan menceritakan kegiatannya dari pagi hingga malam dan anehnya aku tidak pernah bosan mendengarnya.

Hingga akhirnya kisah cinta kami berlabuh pada sebuah ikatan sakral yang disebut pernikahan.

Awal pernikahan aku merasa sangat canggung tapi untung saja Adit mengerti, dia begitu sabar menungguku beradaptasi dengan keadaan yang baru saat itu.

Aku tak pernah bosan dengannya dan rasa - rasanya aku selalu bahagia dengan limpahan cinta yang selalu Adit berikan.

Permasalah dan cekcok tentu ada, tapi itu tidak akan bertahan lama karena kami selalu menyelesaikannya dengan berkomunikasi.

"Tuh kan melamun lagi."

Aku terkesiap.

"Maaf ya jangan ngambek dong, aku lagi pengen dimasakin kamu nih."

"Yang hamil siapa yang ngidam siapa?" Tanyaku menyindir.

"Janji deh besok aku beliin boba."

Adit selalu tahu kelemahanku.

"Ah curang!" Rengekku.

Dia tertawa terbahak - bahak dan kemudian membuat tawa itu menular kepadaku.

Sesederhana itu bahagiaku.

Adit selalu menyogokku dengan boba jika aku merajuk dan aku selalu luluh hanya dengan hal itu.

"Aku udah laper nih." Katanya.

"Iya iya sabar, ini aku masak sekarang."

"Aduhh emang idaman banget istriku." Katanya jahil.

Aku hanya mendengus geli mendengar gombalannya.

Adit membuatku merasa menjadi wanita yang sempurna.

Bersama Adit aku merasa lengkap, didekatnya aku merasa aman dan nyaman.

Aku berhasil melalui sesuatu yang sulit yaitu memantapkan hatiku.

Weather the storm.

The end.

Weather the StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang