Aku berjalan menuju rumah minimalis yang ada di depanku, rumah Adit.
Dia memang memiliki rumah yang dia beli dengan hasil jerih payahnya, di umurnya yang masih muda menurutku itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa.
Aku kenal orang tua Adit, mereka adalah keluarga berada namun Adit lebih memilih hidup mandiri tanpa bergantung pada harta orang tuanya.
Aku memencet bel yang ada di dekat pintu.
Tak ada tanda - tanda pemilik rumah akan membukakan pintu, aku kembali memencet bel.
Beberapa menit kemudian keluarlah Adit dengan wajah bantalnya, dia terlihat kaget dengan keberadaanku.
Aku sengaja tidak mengabarinya jika aku akan datang ke rumahnya, biarlah sekali - kali aku memberikan kejutan padanya.
"Aku gak disuruh masuk?" Tanyaku.
Adit segera menarik tanganku dan mendudukanku di sofa.
"Kok kamu bisa kesini?"
"Kenapa? Kamu gak suka ya?" Tiba - tiba perasaan bersalah menyeruak.
Harusnya aku mengabarinya dulu, siapa tahu dia sedang sibuk.
Adit menggeleng cepat.
"Enggak, aku gak nyangka aja kamu datang kesini."
Dan Adit kembali berulah, dia merebahkan dirinya di sofa dengan kepala yang berada di pangkuanku.
Tubuhku menegang.
"Aku masih ngantuk." Katanya santai.
Tidak tahukah Adit bahwa kini jantungnya berdetak begitu kuat.
Setelah tubuhku mulai rileks, Adit meraih tanganku dan menaruhnya di kepalaku.
"Elus - elus!" Katanya manja.
Aku menuruti permintaannya, mengelus - elus rambutnya.
"Dit, aku mau ngomong sesuatu."
"Hmm"
"Aku ngerasa aneh sama sikap Bayu belakangan ini."
Mendengar nama Bayu disebut, Adit membuka matanya dan langsung mendongak menatapku.
"Lusa aku sama dia bakal ke luar kota buat ngurus masalah yang ada di kator cabang."
Adit tak mengeluarkan suaranya.
"Aku udah nanya kenapa gak sekretarisnya aja yang diajak, tapi dia bilang kalau aku adalah karyawan yang bisa diandalkan dan lebih percaya ke aku."
Aku memilih menjelaskan semuanya, bukankah suatu hubungan itu harus dilandasi kejujuran?
Adit tetap diam.
"Dit ngomong dong!"
Jujur saja aku takut dengan Adit yang tiba - tiba berubah menjadi pendiam.
"Berapa hari?"
"Belum tahu, tapi aku usahain biar cepat selesai kerjaannya dan langsung balik lagi."
Adit menghela nafas.
"Yaudah."
Aku tahu dia sedang kesal.
"Adit jangan gitu dong, aku jadi gak bisa pergi dengan tenang kalau kamu masih ngambekan gini."
"Aku takut Shen, takut kalau kamu bakal berpaling ke dia." Katanya sedih.
Aku tak marah, sungguh. Wajar saja dia gelisah, aku dulu pernah menyukai Bayu sebegitu besarnya dan aku mengerti kekhawatirannya saat ini.
"Percaya sama aku Dit! Kamu sudah berhasil buat aku lupa sama dia, kamu sudah berhasil membuat aku nyaman dengan hubungan ini dan aku bukan gadis bodoh yang akan menyia - nyiakan pria sempurna seperti kamu."
Adit tersenyum, sangat manis.
"Aku jadi pengen cium kamu deh Shen!" Katanya masuh dengan senyum manisnya.
Aku melotot terkejut, kemudian refleks menabok bibirnya keras hingga dia mengaduh kesakitan.
"Maaf, Adit maaf!" Kataku panik.
Dia bangun dari pangkuanku dan mengusap - usap bibirnya.
Dia menoleh kearahku dengan pandangan kesal yang entah kenapa terlihat cute di mataku.
"Ulu ulu.. ngambek ya?"
Dia mendesis kesal yang semakin membuatku tergelak.
Dia berdiri seperti hendak pergi.
"Mau kemana?"
"Kamar, mau tidur."
"Oh jadi aku ditinggal? Yaudah deh aku pulang kalau gitu."
Aku berdiri dan hendak pergi, tapi kemudian pelukan dari belakang menghentikan langkahku.
"Kok jadi kamu yang ngambek sih?" Tanyanya dengan nada merajuk.
Aku berusaha menahan senyumanku. Aku berbalik dan berhadapan dengannya.
"Yaudah aku minta maaf ya." Kataku.
Dia tersenyum kemudian mengangguk dan setelahnya aku kembali masuk kedalam pelukan hangatnya.
To be continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Weather the Storm
Cerita Pendek[completed] Akan sangat membingungkan jika dihadapkan dengan dua pilihan ditambah lagi dengan tidak sinkronnya hati dan logika. Namun pilihan tetap harus dipilih apapun konsekuensinya. Cerita ini bercerita tentang bagaimana seseorang memantapkan hat...