Warning: mature content
"Aku rasa aku akan senantiasa membenci Joohyun."
"Well, Unnie paham mengapa kau merasa seperti itu. Kau masih butuh waktu untuk menerimanya kembali. Tetapi sekali-kali cobalah untuk berbicara dengannya, Yerim. Kau sendiri yang bilang pada Unnie kalau dia dulu sudah kau anggap seperti kakak sekaligus ibumu sendiri."
"Bukankah semua orang seperti itu? Mungkin kita berpikir orang tersebut sangat berarti di dalam hidup kita, tetapi pada akhirnya mereka meninggalkan luka yang besar dan menganga. Aku lebih membenci luka itu dibandingkan orang yang menorehkannya, Unnie."
"Dengar, Unnie tidak ingin mengatakan bahwa luka akan sembuh seiring waktu berjalan. Lukanya akan masih ada, mungkin sampai bertahun-tahun lamanya. Namun, Yerim, ini semua tentang bagaimana caranya kau bisa bertahan dengan luka itu, bukan menyembuhkannya."
Nama pasien : Kim Yerim
Umur : 23 Tahun
Waktu Konseling : Sabtu, 14 Mei 2022°•°•°•°
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Yerim tiba di Dignity, sebuah kelab malam eksklusif di pusat kota Seoul. Dia melepas masker dan topinya sebelum melewati dua pria berbadan besar yang berjaga di depan pintu. Untuk memasuki tempat itu, pengunjung memang harus melewati beberapa pemeriksaan ketat mengingat lingkar pergaulan di dalamnya bukanlah orang-orang dari kalangan biasa.
Yerim beruntung dia berteman dengan Yonghwa, pemuda 26 tahun pewaris perusahaan produsen ramyeon nomor satu di Korea Selatan. Yonghwa lebih memilih karir sebagai fotografer profesional di SM Entertainment daripada menjadi petinggi di kantor ayahnya. Yonghwa pulalah yang pertama kali mengajaknya ke Dignity. Mempertimbangkan pengaruh yang pria itu punya, tidak sulit untuk menjadikan Yerim sebagai anggota tetap kelab malam tersebut. Yerim kadang pergi berdua dengan Yonghwa—yang tak jarang berakhir di dalam kamar hotel di lantai atas kelab tersebut, namun seringkali pula Yerim datang sendirian seperti sekarang ini karena Yonghwa sedang berada di Taiwan.
"Lihat siapa yang datang!" seorang pria berambut pirang tersenyum lebar menyapa Yerim. Suaranya agak teredam oleh musik yang berdentam terlalu keras di lantai dansa. "Wow, orang-orang akan berpikir kita pasangan jika melihat rambut pirangmu, tapi aku tidak menampik kau terlihat menakjubkan dengan warna itu, Miss Kim."
Yerim hanya menaikkan dagunya sebentar sebagai sapaan, lantas duduk di bar stool yang berhadapan langsung dengan pria tersebut. "Kau yang harus mengganti warna rambutmu agar itu tidak terjadi, Shiwoo," ujarnya. "Buatkan aku minuman. Please."
"Wine, beer, atau terserahku saja?"
"Dry martini," jawab Yerim singkat. Suasana hatinya sedang buruk—sebenarnya, kapan dia yang tidak?—karena wajah Joohyun yang menangis tadi pagi terus terbayang di pikirannya. Sialan. Yerim sudah bersumpah dia tidak akan bersimpati—atau lebih buruknya berempati—pada wanita itu tidak peduli seberapa banyak airmata yang dia tumpahkan, tetapi mengapa sekarang Yerim merasa dirinya lemah sekali?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Ashes || Kim Yerim
Fanfiction[SELESAI] ❝Yeri never expected Junmyeon to kill himself. Yet she supposes she should have.❞ The aftermath of The Guardian (written in Bahasa Indonesia) Ashes © Jeybenedict, 2020