🍭 Kapan aku bahagia?🍭

54 5 0
                                    

"Aku terlahir memang membawa beban untuk kalian. Tetapi, aku sama sekali tidak ingin dilahirkan oleh keluarga macam ini. Membuatku jatuh bangun sendiri. Membuatku menangis. Membuatku rapuh. Jika boleh untuk mengakhiri hidup. Akan kuakhiri hari ini juga, detik ini juga, dan di hadapan kalian."

- Alesia -

Mobil dari abang Alesia sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Alesia melambaikan tangan untuk menyapa. Berlari kecil sembari memantulkan bola basket-nya. Senyum tipis juga dia keluarkan karena hari ini jarang sekali yang membuat mood-nya hancur. Mungkin ada sedikit berkat Reyhan, ya Reyhan. Orang yang mau menjajakan dirinya untuk berteman bersama Alesia.

"Abang."

Lelaki yang bernama Alex itu membuka kaca sebelah kirinya untuk tersenyum ke adiknya yang baru saja memanggilnya. "Hai, Dek. Gimana sekolahnya? Lancar?" tanya Alex selepas Alesia duduk di samping kursi pengemudi.

"Alhamdulilah, lancar," jawab Alesia, dengan senyum tipisnya masih saja terpancar.

"Lo enggak sakit, kan, Dek? Dari tadi senyum terus loh." Alex menatap adiknya sedikit khawatir. Jarang sekali Alesia tersenyum. Tetapi kali ini?

"Gue? Alhamdulilah, gue waras." Alex mengangguk, tidak mau berdebat. Biarkan saja adiknya seperti itu, mungkin ini memang hari untuknya, hari bahagianya.

Mobil pun melaju dengan kecepatan normal. Sesekali, Alex menatap Alesia, sesekali juga dia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Menyalurkan kehangatan dan kekuatan. Ntah lah, ntah harus sampai kapan mereka hanya diam dan tidak berkutik apa pun dari masalah yang melanda.

Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah. Memasuki pekarangan rumah keluarga Azola. Keluarga yang terlihat harmonis di luaran, tetapi terlihat hancur di dalamnya.

"Alex dan Alesia, pulang."

Setelah Alex teriak, Azola, ayahnya berjalan diiringi oleh Ana, istrinya. Dengan tatapan tajam yang selalu membunuh, membuat Alesia muak akan pemandangan ini. Alesia ingin kabur, Alesia ingin hilang saja dari bumi ini. Toh, dirinya ada di sini juga sama sekali tidak pernah dianggap dan dibutuhkan.

"Papa dengar. Kamu telat lagi ke sekolah? Apa benar?" tanya Azola dingin.

Alesia tidak menjawab apa pun. Dia hanya diam tak bergeming dan tak merubah posisinya. Sangat malas untuk berdebat.

"Jawab, Alesia! Kamu punya mulut, kan? Gunakan mulutmu dengan sebaik-baiknya. Jangan merasa bodoh dan pura-pura enggak dengar!" seru Azola lagi.

"Kalau iya kenapa? Sebegitu pedulinya kalian sama aku. Aku, kan, anak enggak tahu diuntung. Jadi buat apa masih bertanya macam itu? Mau merubah? Telat!" Alesia menjawab tidak kalah dinginnya.

Bahkan mata sendunya kembali menjadi mata elang yang sangat tajam. Di keluarga Azola, hanya Alesia yang memiliki manik mata itu, dan hanya Alesia yang selalu saja tahan akan semua derita, perkataan, bahkan pukulan maut yang telak selalu diberi oleh Azola setiap harinya.

"Dek, sekarang kita ke kamar aja, yu. Istirahat," ajak Alex.

Alex tidak mau adiknya selalu menjadi kena sasaran kekerasan dari kedua orang tuanya. Cukup Alex saja yang merasakan, asal adik mungilnya jangan. Dia tidak mau Alesia semakin tertekan. Dia tidak mau jika Alesia akan melakukan hal yang lebih nekat daripada yang sekarang ini Alesia lakukan dan tunjukkan.

"Papa malu. Papa enggak tahu harus berbuat apa lagi. Kamu itu perempuan. Harus punya moral yang tinggi. Harus punya etika yang baik, jangan kaya berandalan kayak gini. Pakaian enggak modis, kesannya Papa kaya enggak pernah kasih kamu uang. Apa kurang uang yang selama ini Papa kasih ke kamu untuk melakukan hal yang sepantasnya?"

"Dasar anak enggak tahu di untung! Udah dikasih enak, malah semakin buat beban," celetuk Ana yang membuka mulutnya setelah lamanya terdiam.

"Aku terlahir memang membawa beban untuk kalian. Tetapi, aku sama sekali tidak ingin dilahirkan oleh keluarga macam ini. Membuatku jatuh bangun sendiri. Membuatku menangis. Membuatku rapuh. Jika boleh untuk mengakhiri hidup. Akan kuakhiri hari ini juga, detik ini juga, dan di hadapan kalian."

Air mata Alesia kini kembali meluncur deras. Hatinya dibuahi luka kembali. Otaknya dipenuhi kata yang sangat menyakitkan. Hingga semakin hari banyak yang membisikkan di telinganya untuk mengakhiri semuanya.

"Asal kalian tahu. Aku, hidup selama 17 tahun enggak pernah merasakan namanya arti cinta dari kalian. Aku sama sekali enggak pernah merasa kasih dan sayang dari kalian. Yang aku dapat apa selama aku hidup? Luka dan beban. Aku selalu dituntut sana sini. Selalu dihadiahi kata-kata kasar, selalu dihadiahi tangan yang kasar untuk memukul, bukan mengusap. Aku lelah."

Alesia berlari ke kamarnya. Menumpahkan segala air matanya di sana. Sekarang dirinya benar-benar luka. Dirinya tidak tahu harus bagaimana. Alesia hanya ingin bahagia. Alesia hanya ingin tertawa. Alesia hanya ingin dihargai.

🌀🌀🌀

Di tempat yang sama, Reyhan sedang duduk di tepi ranjang. Menatap ke arah luar. Pikirannya terus tertuju pada gadis yang baru saja tadi dia temui. Perasaan tidak mendukung untuk gadis itu selalu dia temui ketika menatap matanya. Mata elang yang terlihat sendu. Dan tadi, Reyhan melihat banyak luka di tangannya. Apa yang sudah terjadi dengan Alesia?

"Arghh, sial. Kenapa gue jadi mikirin dia terus, sih?" gerutu Reyhan.

"Tapi, gue sedikit merasa dia lagi ada di masalah yang berat. Tapi masalah apa? Keluarganya? Atau percintaan? Gue bingung."

Handphone miliknya tiba-tiba berbunyi. Melihat pesan yang baru saja masuk. Ternyata itu pesan dari grup tentang keadaan mental seseorang. Di sana ada materi yang terpapar mengenai sikap seseorang.

Reyhan membaca perubahan sikap seseorang yang introvert dan nakal. Di sana terpapar dan dijelaskan jika ada sesuatu yang merubahnya. Anak yang introvert dan nakal tidak akan terjadi jika dia tidak terpaksa untuk melakukannya. Lebih parahnya lagi, ada contoh yang menggambarkan sifat Alesia, yaitu dia akan melakukan segala cara demi mendapatkan kebahagiaan, sekalipun dia harus membunuh orang yang menyakitinya atau mengusik kehidupannya.

Ini sangat berbahaya.

Reyhan tidak mau Alesia seperti itu.

"Gue takut Alesia masuk dalam kategori ini. Gue harus coba tanya ke dia, walau hasilnya tidak mendapat jawaban. Tetapi, setidaknya gue udah mau bertanya dan membuka peluang untuk tempat curhat, ya, kan." Selepas bergumam seperti itu, Reyhan menutup Handphone miliknya. Kemudian berjalan ke arah jendela. Menarik napasnya dalam-dalam.

🌀🌀🌀

Gua adalah GueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang