🍭Terbuka🍭

53 5 0
                                    


"Seburuk apa pun masalah lo. Lo engga boleh menyerah gitu aja, lo harus hadapi ini semua. Gue, akan bantu lo, semampu gue. Yang penting, lo selalu kuat dan tersenyum."

- Reyhan -

"Al. Gue boleh tanya sesuatu?"

Alesia mengangguk sebagai jawabannya, dan Reyhan kemudian menatap mata Alesia yang sekarang kembali terlihat sendu dan sembab seperti sehabis menangis.

"Lo punya masalah? Masalah apa gitu yang membuat lo seperti ini. Bisa aja, kan, lo kayak gini ada alasan lain agar bisa menghilangkan semua luka, lo? Kalau iya, apa gue boleh tahu? Lo cerita ke gue biar sedikit lega. Santai, gue orangnya engga ember untuk ceritain lagi ke orang lain, ko."

Bukannya menjawab. Alesia hanya menundukkan kepalanya ke bawah. Air matanya kembali berjatuhan. Nyeri di dadanya semakin menjadi ketika memutarkan ingatan tentang semua yang telah terjadi. Jujur, Alesia sangat lelah menanggung ini semua.

Reyhan yang melihat pemandangan itu pun tersentak kaget. Gadis itu menangis. Sangat terdengar isakan demi isakan di telinganya. Sangat terdengar jelas, Alesia sedang memikul beban yang cukup berat.

"Kalau lo mau nangis dulu, silakan. Gue akan dengarkan di sini, nunggu lo bener-bener tenang dan mampu untuk cerita," ucap Reyhan.

Alesia mengusap matanya yang basah. Kemudian menatap ke atas, di sana ada langit yang bisa dibilang cerah dan bisa dibilang mendung. Menggambarkan sekali, itu seperti suasana hatinya.

Untung saja, taman belakang sekolah sepi. Jadi hanya Reyhan saja yang melihatnya menangis. Dan hanya baru Reyhan yang membuat Alesia ingin mengeluarkan segala sesuatu yang mengganjal di hatinya. Lukanya, dan kepedihannya.

"Gue... gue sebenarnya anak Broken Home. Kehidupan gue jauh dari kata bahagia. Luka di hati selalu diberi, bahkan luka di tubuh gue selalu terukir. Gue enggak tahu apa salah dan kelakuan apa yang membuat kedua orang tua gue benci sama gue. Di rumah, hanya abang gue yang bisa menenangkan sekaligus cinta sama gue. Jalan hidup ini benar-benar membuat gue luka. Gue suka nulis, gue suka main basket, tetapi selalu dikekang dan mereka mengeluarkan kata kasar, katanya kedua hal yang gue lakukan itu engga guna. Mereka mau, gue harus jadi Polwan.

"Sebenarnya, fisik gue lemah. Mereka engga tahu, yang tahu hanya abang gue, abang yang udah merawat gue di saat penyakit kambuh. Jika gue kambuh, pasti abang dan gue selalu beralasan ingin pergi ke mana, padahal gue menjalani perawatan di rumah sakit.

"Pernah sekali, gue latihan fisik yang pertama kalinya. Gue pingsan, dan kedua orang tua gue? Mereka sama sekali engga khawatirkan gue. Selepas sadar, mereka nyuruh gue lagi untuk latihan dan latihan. Gue lelah, gue cape, gue tersiksa. Untuk saat ini, gue hanya ingin kebebasan. Makannya, gue akan melakukan segala hal di sekolah yang menurut gue bisa untuk jadi obat luka. Salah satunya, menjadi anak nakal.

"Gue engga mau memiliki teman karena apa? Sekali gue ajak teman ke rumah, mereka disakiti hatinya oleh perkataan kedua orang tua gue yang sangat menusuk. Makin lama gue sadar, gue enggak mau membuat orang terluka karena kedua orang tua gue. Cukup gue aja yang menanggung semuanya sendiri. Walau ujungnya gue selalu lelah, dan mengeluh. Yang penting, gue sadar, sebaik apa pun gue, gue akan selalu salah di mata kedua orang tua.

"Pernah sekali gue berputus asa, hampir aja gue bunuh diri di kamar. Untung abang gue balik dan menggagalkan rencana gue. Semisal abang gue engga balik, kemungkinkan gue hanya tinggal nama aja." Ucapan yang dikatan Alesia membuat Reyhan diam. Tidak bisa berbicara apa pun. Ternyata luka yang ada pada gadis di sampingnya sangat banyak. Bahkan, dirinya pernah mencoba bunuh diri? Ternyata dia sangat lemah. Dia butuh pertolongan.

"Al. Gue tahu apa yang lo rasakan sekarang. Gue, engga tahu harus bilang apa lagi. Gue hanya bisa kasih lo semangat dan membuka luas untuk lo curhat jika keadaan lo benar-benar engga bisa nanggung semuanya sendiri. Lo harus tetap semangat. Lo harus lihat ke depan, percaya, jika di sana ada kebahagiaan yang menanti," kata Reyhan, yang sekarang membawa Alesia yang menangis untuk bersandar di pundaknya.

"Tapi gue lelah, Han. Gue lelah," lirih Alesia diiringi isakannya.

"Gue tahu lo lelah. Tapi, Seburuk apa pun masalah lo. Lo engga boleh menyerah gitu aja, lo harus hadapi ini semua. Gue, akan bantu lo, semampu gue. Yang penting, lo selalu kuat dan tersenyum. Apa lo mau dan sanggup?" tanya Reyhan.

Alesia mengangguk pelan. Kemudian merasakan sebuah tangan yang mengusap kepalanya dengan lembut, ya itu tangan Reyhan yang sedang mengusap kepalanya dengan penuh kelembutan dan kehangatan. Tanpa disadari, rasa nyaman mulai terasa dan Alesia memejamkan matanya yang begitu lelah akibat sering menangis.

Reyhan yang menyadari Alesia tertidur di pundaknya, akhirnya membiarkan sejenak, lalu berkata, "Gue akan membuat lo bahagia. Bagaimanapun caranya. Gue janji. Dan ini benar-benar tulus."

Reyhan tidak paham dengan dirinya sendiri. Mengapa dia ingin sekali membahagiakan gadis yang sedang menutup matanya? Reyhan juga tidak mengerti mengapa dirinya begitu peduli dengan kehidupan Alesia. Bahkan, dirinya saja tidak pernah merasa nyaman kepada siapa pun selain pada gadis yang sedang bersandar di pundaknya.

Ah entahlah.

Biarkan semesta yang menjawab semuanya.

🌀🌀🌀

Alesia kembali terduduk di kelasnya. SMA Angkasa menjadi saksi dan tempat untuk dirinya mencari ilmu dan kebahagiaan tersendiri. Dia terduduk di pojok kelas sembari memainkan ponselnya. Dan, banyak tatapan tidak suka dilontarkan oleh teman sekelasnya, namun sama sekali tidak digubris oleh Alesia.

"Alesia. Lo bisa enggak sih rubah penampilan lo sedikit aja. Jangan kayak gini, setidaknya, ya, berubah jadi perempuan yang modis dan berkelas lah. Jangan tiap hari yang lo pegang hanya bola basket dan laptop doang buat nulis. Yang mandang lo lama-lama bosen tahu," celetuk Lili, sang bendahara kelas.

"Mau tanggapan orang kayak apa tentang gue. Sama sekali gue enggak pernah peduli. Gue hidup hanya untuk diri gue sendiri, cuy. Bukan untuk orang lain. Terserah mereka mau menikmati atau enggak, soalnya gue bukan sirkus, bukan jadi bahan tontonan. Gua adalah gue. Yang selalu ingin menjadi apa adanya, yang selalu ingin menjadi diri sendiri. Agar apa? Agar orang enggak gampang buat jatuhkan harga diri gue," jawab Alesia santai.

Jleb!

Jawaban Alesia membuat semuanya bungkam dan ada juga yang kaget. Tanpa sadar, Vano, lelaki tampan di kelasnya juga menatap intens seluruh wajah Alesia yang mulus tanpa make up ataupun jerawat.

Alesia memiliki kulit yang bisa dibilang hitam engga, dibilang putih juga engga. Kulitnya sawo setengah matang. Yang membuat orang lain tidak bosan memandangnya, bahkan wajahnya yang mulus tanpa polesan apa pun yang membuat orang lain ataupun guru yang melihat kagum.

"Dasar, lo itu cowok apa cewek, sih?" gerutu Eka, ketua geng cupu yang dinamai Alesia.

"Mata lo burem, ya? Atau udah silinder? Ya lo liat sendiri lah, gue cewek. Gue cewek tulen dari lahir sampe sekarang. Makannya, kalau punya mata yang sehat gunain yang bener! Jangan cuman buat ngaca wajah lo yang putih akibat make up, dan tangan lo yang burik kayak tiang listrik yang ada di depan sekolah," jawab Alesia dingin.

Semua orang tertawa mendapat penuturan dari Alesia. Eka dan teman-temannya akhirnya keluar akibat malu. Dan Alesia? Dirinya kembali duduk, memasang earphone-nya untuk menghilangkan bosan dan kegaduhan di kelas.

Tanpa disadari, Vano menatap Alesia tanpa henti. Dia kagum kepada gadis itu. Dan Vano juga kagum ternyata dia gadis yang pintar, hanya saja dia menyembunyikannya lewat kenakalan yang tertera, entah alasan apa dia berbuat itu semua. Yang penting, Alesia adalah gadis yang sempurna, hanya saja, ada suatu hal yang harus banget dia melakukan keburukan.

Gua adalah GueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang