“La, hari ini hasil ujian dibagiin. Kira-kira nilai gue bakalan naik ngga ya?”
Mala yang ditanya masih saja diam sembari berlegut dengan pikirannya sendiri. Hidupnya hari ini sedang dipertaruhkan, begitu pikir Mala.
Tangan di samping Mala bergerak untuk menggoncangkan tubuh Mala. Karena, dirasa Mala tidak menyahutinya sejak tadi. Aneh menurutnya mengetahui Mala yang akan sangat sengaja menjawab pertanyaannya sekalipun tidak masuk akal jadi diam seribu bahasa seperti ini.
Mala menunduk dan melihat kedua tangan yang berkeringat dingin di pahanya. Ia takut dan sangat khawatir dengan nilai ujian hari ini. “Nilai ujiannya udah keluar di web La.”
Tepat setelah mendengar itu, Mala membelalakan matanya dan jantungnya berpacu dengan cepat. Sulit bernafas, karena sesak mendengarnya. Ia bahkan tak mau untuk melihatnya.
“Lo seriusan ngga mau liat, La? Yaudah, gue bacain aja ya punya lo. Ma Ma Mal, Nah! Ketemu juga,”
Mala sontak menatap teman di sampingnya. “Jangan! Gue mau ngeliat sendiri aja nanti.”
Mala segera berlari ke arah pintu kelas, membuat semua penghuni kelas menatapnya dengan tatapan aneh. Mala tidak pernah sekalipun memasang raut khawatir, tapi hari ini Mala melakukannya.
“Mal, lo kenapa sih?” erang teman Mala yang sedari tadi bingung dengan sikap Mala itu. Namun, Mala memilih menggeleng dan beranjak menuju kamar mandi. Mungkin tempat itu saja yang dapat ia tuju.
Menginjakkan kaki di kamar mandi membuatnya merasa lega. Pasti sekalipun ia menangis, tidak akan ada orang yang mengetahuinya.
Mala menuntun dirinya masuk pada salah satu bilik disana.
“Semoga, semoga, semoga, dan semoga,” Mala mulai membuka web sekolah dimana semua hasil ujian akan ditampilkan. Hatinya mendadak nyeri.
Mala menunduk setelah melihat hasilnya, “Mau jadi apa lo Mala?”
Mala mengendap berjalan ke arah rumahnya. Mengikuti kelas tambahan membuatnya kehilangan jam bermain atau sekadar pergi jalan dengan teman-temannya. Ia benci itu, tapi ia lebih benci jika orang tuanya memarahinya.
Pukul 9 malam memang belum selarut itu. Tapi, jika setelah pulang sekolah ia harus langsung pergi ke tempat kursus juga membuatnya lelah.
“La, lo baru pulang jam segini?” Mala terkejut dan segera berbalik menemui asal suara.
Teman sekolahnya. Ketua kelas 2-3, Serim.
Mala menatap Serim dari atas sampai bawah. Ia ingat betul, di ujian sebelumnya Serim hanya dapat 5 dari 10. Benar, angka yang sangat rendah menurut Mala. Ia jadi satu dari 6 orang dengan nilai terendah itu. Tapi, senyum Serim kala itu selalu membuatnya iri. Dengan nilai rendah saja Serim bisa tetap bahagia. Ia sangat iri.
“Pulang les, ya Mal? Pasti capek banget, mana masih pake seragam sekolah lagi,” kata Serim mengingat dirinya sudah mengenakan piyama berwarna merah sekarang.
Serim tertawa kecil melihat Mala yang sedari tadi diam, “Mendingan lo pulang terus mandi deh. Udah malem banget, gue mau beli nasi goreng.”
“Atau lo mau ikut gue makan dulu?” kata Serim sambil memundurkan langkahnya kembali.
Mala masih diam. Ia menatap Serim dengan bimbang. “Ujian lo hari ini dapet berapa?”
Serim tertawa lagi. Mereka tidak begitu dekat, namun karena jabatan ketua kelas mereka terbiasa bertemu.
“Gue dapet 7. Lo dapet berapa? Kata gue sih, lo pasti dapet tinggi banget ya?”
Serim menatap tangan Mala yang mengepal perlahan. Ia tidak tahu apa yang sedang Mala rasakan sekarang. Hanya saja, mungkin Mala terlalu lelah.
Serim melangkah pelan, “Lo buruan pulang, udah malem. Gue duluan, ya?”
Melihat Serim berjalan dengan tenang. Sepertinya beban yang Serim alami hanyalah satu dibanding seribu beban yang dialami Mala.
“Serim, gue ikut!”
Warn ; akan banyak cursing dan adegan
tidak senonoh di chapter ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT, SERIM
Fanfiction"Seandainya gue lebih berani dan percaya sama diri gue sendiri, mungkin kita ngga bakal berakhir kayak gini," kata Serim. Namanya, Mala. Berdecak kagum kala seorang di depannya berani menghadapnya lagi, "Lo tau, sebab kita beda. Makanya, Tuhan mau...