Mala pulang tepat pukul sepuluh. Namun, rasanya ia tidak ingin pulang dan segera memberitahukan hasil ujiannya. Ia sudah menebak jika orang tuanya tidak akan tidur sampai Mala kembali.
Tadinya Serim ingin mengajak Mala untuk bermain sebentar di taman sebelumnya akhirnya Serim menyadari kembali jika Mala masih dengan seragamnya, segera mungkin Serim memaksa Mala pulang.
Tapi, Mala berterimakasih pada Serim sebab karenanya ia bisa sedikit lebih tenang karena cerita Serim tentang kelinci dan kura-kura tadi.
“Mala pulang,” Mala menepikan sepatunya dan segera mengepalkan tangannya pada tas yang ia kenakan sembari menggigit bibir bawahnya selagi ia berjalan.
Jantungnya berpacu dengan cepat, “Udah pulang kamu, Mal? Oh, sini duduk dulu.”
Mala menuruti perkataan ibunya. Dengan tangan masih memegang erat gendongan tasnya, ia duduk di depan ibu dan ayahnya.
“Hari ini pembagian nilai ujian, kan? Kamu dapet berapa?”
Perkataan ayahnya begitu dingin walaupun ia tersenyum. Mala tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ia ingin berbohong.
Mala memejamkan matanya, “Dapet 9, yah.”
Terdengar helaan nafas setelahnya. “Sabtu Minggu ayah kasih jadwal tambahan. Mau jadi apa kamu dapet 9? Ayah capek loh bilang ke kamu,”
“Harus rajin! Jangan males-malesan terus. Kapan kamu mau dapet 10? Ngga malu kamu? Ayah malu, Mal. Ayah lulusan terbaik, ibu juga lulusan terbaik. Kamu mau semua orang ngolok ayah?”
Ibunya menatap Mala dengan tatapan dingin namun khawatir, karena bagaimana pun juga ia yang melahirkan Mala.
Mala hanya diam tak bisa membantah. “Ayah gamau kasih kamu uang jajan selama sebulan, sampe ayah liat ujian bulan depan bagus. Ayah bakal kasih kamu pelajaran tambahan lebih.”
Setelah ayah dan ibunya beranjak. Mala mulai menangis. Hatinya sakit ketika orang tuanya seperti itu. Terlalu gila pujian dan hormat.
Ayahnya seorang direktur. Begitu sangat gila untuk menjadi sempurna. Sementara ibunya seorang designer yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Ia hanya butuh pelukan hangat bukan kelas tambahan.
Mala duduk diam dalam kelas. Jam istirahat membuatnya suntuk. Jadi, ia memutuskan untuk istirahat dari belajar dan mendengarkan lagu untuk sesaat. Hanya ini cara yang dapat Mala lakukan.
“Mal, ke kantin ngga? Ayo, ke kantin. Jangan bilang lo mau belajar? Ngga bosen apasih? Nilai lo bagus-bagus gitu.” Mala tertawa kecil pada teman sebangkunya.
Mala menatap teman sebangkunya itu. Mata hitam jernih, bibir cantik, bentuk wajah indah serta rambut coklatnya begitu menawan. “Hyewon, gue pengen perawatan kayak lo deh. Kok gue baru sadar kalau lo cantik banget?”
“Lo seriusan? Tumben banget lo pengen hal-hal ga penting gitu. Yaudah, sabtu kita keluar ya?”
Mala tersenyum, namun akhirnya senyumnya pudar begitu saja. Ia baru ingat bahwa mulai sabtu ini ia ada kelas tambahan.
Mala tersenyum kembali, “Nggabisa, Hye. Gue ada kelas tambahan jam 8 sampe jam 12.”
Hyewon terkejut mendengarnya. “Lo ngga bohong kan sama gue? Gila lo, belajar mulu kerjaannya. Sumpah deh, lo harus pergi nyalon juga, Mal.”
“Ya, tapi gue lebih suka belajar,” kata Mala, padahal dalam hatinya ia begitu membenci kata belajar dan angka-angka.
Ia lebih suka makan kue pedas bersama teh dingin juga menonton drama korea di laptopnya. Tapi, sayang sekali hal itu hanya bisa ia lakukan di Sabtu Minggu. Mungkin setelah ini tidak akan bisa.
Hyewon menghela nafasnya, “Jadinya sekarang lo mau ke kantin ngga? Gue udah ditungguin Allen sama Yena tuh.”
Mala mengarahkan pandangannya ke arah depan kelas. Benar saja disana sudah ada anak kelas 2-3. Mereka semua teman Hyewon sejak sekolah menengah dan sayangnya Hyewon sendiri yang masuk ke kelas 2-1.
“Itu Serim?”
Hyewon mengangguk, “Iya, dia temen deketnya Allen.”
Mala menutup bukunya dan berdiri dari duduknya. Mungkin hari ini saja ia akan berpisah dari belajar dan ke kantin. Untuk pertama dan terakhir kalinya. “Gue ikut!”
Allen + Serim = 🔥
Mari ber-kesal ria pada Ayah!
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT, SERIM
Fanfiction"Seandainya gue lebih berani dan percaya sama diri gue sendiri, mungkin kita ngga bakal berakhir kayak gini," kata Serim. Namanya, Mala. Berdecak kagum kala seorang di depannya berani menghadapnya lagi, "Lo tau, sebab kita beda. Makanya, Tuhan mau...