Terbalaskan

8 0 0
                                    



Sudah begitu banyak kerinduan yang menumpuk dalam dada, entah sudah berapa kali aku berusaha menemui kamu kembali, entah sudah berapa banyak aku mencari kesempatan yang kedua kali.

Dan baru hari ini kesempatan itu kembali, aku bisa menatapmu lagi, aku bisa melihat senyum itu lagi, bahkan lebih baik. Kamu lah yang pertama kali menemuiku, kamulah yang datang mendekat, lalu membiarkanku menatapmu dengan perasaan yang bergemuruh begitu hebat.

Jika saja ini mimpi aku pasti akan menyesalinya berkali-kali jika sampai aku terbangun. Namun nyatanya ini bukan, dan aku sangat mensyukuri senyummu yang indah nan anggun.

Akhi, jangan bergerak, diamlah disana lebih lama, teruslah bicara apa saja, teruslah tersenyum hingga otot di wajahmu kram, ku mohon. Aku sangat menyukainya.

"Citra?"

"Dalem" aku segera tersentak mundur ketika melihat wajah itu, wajah yang selalu ku rindu di setiap waktuku.

"Pulpen kamu jatuh" dia mengulurkan sebuah pulpen hijau dari celah buku-buku yang tersingkap di rak yang memisahkan kami.

Tangan itu masih menggantung dengan pulpennya karena menungguku tersadar dari kebodohan yang melanda.

Dia tersenyum dan memastikan kesadaranku, dan tanpa bisa berkata sepatah katapun aku menerima pulpen itu. Ragu, sebenarnya aku ragu namun tak ingin melewatkan kesempatan yang mungkin hanya satu.

Aku tahu betul bahwa ini bukan pulpenku, dan bahkan aku sedang menggenggamnya di tangan kiriku, jadi mustahil pulpen ini milikku. Namun sepertinya aku tahu maksudnya, dia mencoba membalas apa yang aku lakukan padanya. Mungkinkah ini kabar baik untukku?

Aku menjadi semakin sibuk dengan pikiranku, aku menerka banyak hal, aku bertanya dan menjawabnya sendiri, banyak sekali.

Aku ingin menahannya, bagaimana caranya? Apapun, apapun ci, please, tahan dia.

"Akhi.."

"Dalem?"

"Boleh saya tau nama lengkap akhi?"

"Ahmad Muhammad" jawabnya singkat.

Aku tertegun, namanya bagus. Tentu saja, apapun namanya akan terdengar bagus untukku yang sedang dimabuk cinta.

"Boleh saya tau Facebook akhi?"

"Saya tidak punya"

"Nomor telfon?"

"Saya tidak punya"

Aku tersenyum tapi kecewa, apa memang sengaja dia bilang tidak punya, atau hanya tidak ingin memberi tahuku saja.

"Nanti kalau saya sudah buat, akan saya beritau"

Sepertinya senyumku mengembang lebih lebar, mendengarnya berkata begitu membuat aku berdebar debar, kenapa? Kenapa? Aahh aku ingin tau kenapa?

"Bener ya"

Dia mengangguk beberapa kali.

Dan aku tersenyum lebar sekali.

Kamu melihat bahagiaku, tapi apakah kamu tahu alasan bahagiaku adalah karena kamu, yang sedang berdiri di depanku walau terhalang rak buku.

"Sudah dulu" sambil tersenyum dia mulai menutup celah buku yang dia buat sendiri ketika melihatku tadi. Aku belum sempat menjawabnya namun dia sudah terlanjur menutupnya. Dia pergi dan meninggalkan wanginya, akhi, kanapa kamu jahat sekali, tidak bisakah kamu hanya menyisakan rinduku pada senyummu saja, kini aku pasti juga akan merindukan wangimu.

Aku meloncat-loncat kegirangan, aku nyaris berteriak di dalam perpustakaan, dahsyat, perasaan yang sedang bergejolak di hatiku begitu tak terbendung. Aku seperti ingin meloncat terbang merayakan sebuah kemenangan, padahal ini bukan sebuah perlombaan. Namun aku merasa begitu menang.

Masih ada banyak pertanyaan yang belum sempat kujawab, namun biarlah dulu, satu persatu, jika tiba waktunya pasti akan ketemu. Begitu pikirku.

Selanjutnya apa? Aku belum tahu, untuk saat ini aku hanya ingin menikmati bahagiaku, merawatnya hingga tiba pada kebahagiaan yang selanjutnya.

Aku memandangi pulpen di tanganku, pulpen dari kamu. Aku tersenyum lagi dan lagi, menganggap benda sederhana ini istimewa sekali. Siapa sangka bahwa keberanian akan mengantarku sejauh ini, kamu membalas caraku menyapamu, persis seperti yang aku lakukan dulu.

Aku memikirkan ini, bagaimana kamu bisa memanggilku? Apa kamu ingat siapa namaku? Sejak pertemuan pertama dulu? Bukankah itu mustahil, aku tidak yakin. Dan aku baru saja menyadari ketika melihat pulpen dari kamu,

Kebiasaanku adalah menuliskan namaku dan memasukannya ke dalam pulpen. Ah.. pasti dari itu, aku kembali tersenyum dan berpikir bahwa kamu adalah lelaki yang peka, semoga saja saja kamu seromantis pacar ty Maya.

Eh tunggu dulu, jangan sampai kalau kamu adalah pacar ty Maya, aku tak ingin kisahku justru berakhir sama dengan kisah Ifa. Itu menyakitkan sekali.

***

Aku segera berlari ke ruang guru sebelum bel waktu istirahat berbunyi, aku ingin menemui ustadzah, meminta sesuatu, meminta tolong.

Tok tok... "Asalamualaikum.."

"Walaikumsalam, masuk.."

Aku membuka pintu perlahan dan masuk, mataku segera mencari ustadzah Anis, beliaulah yang aku cari.

"Cari siapa?" tanya ustadzah Anis, kebetulan memang beliau yang aku cari.

"Mau ketemu ustadzah" aku memberi isyarat dengan tanganku jika aku memang ada perlu dengan beliau.

"Sini duduk, kenapa? Siapa nama kamu?"

"Saya Cici ustadzah"

"Hmm kenapa Ci?"

"Begini ustadzah, saya ingin mengajukan pindah bagian OSIS"

"Kenapa pindah? Bagian apa kamu?"

"Saya bukan OSIS ustadzah.."

"Lha terus?" beliau mencampur tertawa dan kesal karena kebodohanku. "kalau bukan OSIS kenapa mengajukan pindah bagian anak cantiiikk..."

"Maksud saya, saya ingin jadi OSIS ustadzah"

"Oalah... kamu ini pagi-pagi bikin komedi"

"Bisa ndak ustadzah?"

"Mau jadi bagian apa?"

"Media"

"Ndak bisa, sudah penuh, media cuma butuh dua orang dan sudah terisi"

Aku menghela nafasku.

"Bagian pendidikan mau?"

"Ndak mau ustadzah" aku menjawab dan menggelengkan kepalaku.

"Do you wanna try language section"

"No"

"So I can help you, sorry.."

Aku mundur, aku meratap di depan pintu untuk beberapa saat, kemudian melangkah pergi dari sana.

Rencanaku gagal, padahal kupikir, jika aku bisa masuk ke bagian media, akan banyak kesempatanku untuk menemuinya, mendapatkan fotonya dan mungkin bahkan perhatian darinya.

Hhh... ya begini kalau belum apa-apa sudah salah niat, mana mau Allah nolong. Dasar Cici. Aku menepuk kepalaku menyalahkan diriku sendiri.

***

Permintaan Hati (Ahmadku) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang