Sejak beberapa hari yang lalu terasa sekali Ririn menghindariku, ada apa? Bukan hanya aku, Ifa juga merasakan hal yang sama. Setiap kali kami duduk berdua, Ririn akan menolak untuk datang dan ikut nimbrung atau bergosip seperti biasanya. Saat hanya Ifa dan Ririn, dia pasti akan pergi ketika aku datang menghampiri.
Aku sempat menanyakan langsung padanya apa yang terjadi, apakah aku ada salah? Tapi dia tidak menjawab, dia hanya mendiamkan aku. Aku sangat tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
Malam ini, aku sedang membicarakannya dengan Ifa, ada apa dengan sikap Ririn? Kira-kira apa yang telah aku lakukan padanya? Apa salahku? Padahal kita baru saja lama tidak bertemu, tapi saat sudah bertemu malah dengan sikap begitu dia menyambutku. Kami berdua jadi menerka-nerka. Ifa terus-terusan memaksaku untuk mengevaluasi diri. Tapi tetap saja aku tidak bisa menemukan apa yang telah terjadi.
Kami berdua seketika senyap ketika Ririn masuk ke dalam kamar, dia melihat ke arah kami. Kami juga serempak melihat ke arahnya, kecanggungan segera merebak di udara. Aku kembali merasa tidak nyaman.
"Permisi Fa.." katanya, Ifa segera menggeser duduknya yang memang berada tepat di depan lemari Ririn.
Kenapa cuma permisi ke Ifa, padahal kan ada aku juga. Batinku.
"Dari mana Rin? Tanyaku.
"Perpus" Jawabnya ketus.
Ifa menyenggolku, aku memicingkan mata ke Ifa memberi kode. Dia meresponnya dengan menggeleng.
Ririn dengan grusak-grusuk mengambil buku-buku dilemarinya, kemudian kembali pergi keluar kamar.
"Tuh kan Fa?"
"Iya tau, kenapa sih, aku jadi ikutan nggak nyaman lah sama kalian ini" Ifa menggeser duduknya kembali.
Dia melihat selembar kertas dibawah dan memungutnya, sebuah foto.
"Foto Ci" Ifa menunjukannya padaku.
Aku menerima foto itu dan segera kaget ketika melihatnya. Aku melihatnya dengan seksama, takut jika saja aku salah melihat ataupun mengira, tapi tidak, aku tidak salah mengenali wajah lelaki di foto itu. Bahkan namanya juga ditulis dengan lambang hati yang diberi warna merah olehnya.
Aku segera berdiri dan berlari mengejar Ririn, kemana dia? Cepat sekali.
Aku mencarinya, Ifa mengikutiku dan terus bertanya ada apa. Aku tidak menjawabnya, aku sudah terlampau kesal.
Aku menuju ke perpustakaan, dan menemukan Ririn sedang membaca buku disana. Aku melihat perpus sedang ramai, tapi aku tidak peduli. Aku langsung duduk di dekat Ririn dan menyerahkan foto ditanganku padanya.
"Ini tadi jatuh" kataku dengan ketus.
Ifa segera menyusul duduk dan menarik perhatianku. Aku memintanya untuk tenang.
Ririn menatap foto itu dan segera menyautnya dari tanganku.
"Apa karena ini kamu diemin aku?"
"Enggak.." Jawabnya singkat.
"Terus karena apa?"
"Pikir aja sendiri" dia bahkan tidak menoleh.
"Aku nggak bisa mikir, makanya aku langsung tanya aja"
Ketegangan mulai terasa disitu, banyak mata mulai menatap kami. Ifa juga mulai menggoyang-goyangkan lenganku. Aku tidak menggubrisnya sama sekali. Aku masih menunggu jawaban Ririn.
"Bisa diem nggak? Aku sibuk"
Astaga anak ini.
"Aku nggak pengen kayak begini terus, kalaupun kamu udah nggak mau berteman sama aku terserah kamu, tapi aku nggak mau merawat kesalahpahaman ini. Ayo selesain"
"Nggak perlu"
"Rin, egois banget kamu.."
"Berisik ah Ci.." Ririn berdiri sambil meneriaki aku, semua yang ada disitu segera menoleh ke arah kami. Aku pun ikut berdiri menyusul Ririn. Aku memegang tangannya dan dia dengan cepat menepis tanganku.
Ifa segera bergerak dan berdiri di tengah-tengah kami.
Ririn beranjak pergi dan meninggalkan kami, tapi sebelum dia melangkah aku mendengarnya kerkata "Aku benci orang munafik"
Aku terkejut sekali mendengarnya, kalimat itu keluar dari mulut Ririn, dan untukku? Aku sedih sekali, lebih sedih daripada marah mendengarnya.
Aku berniat mengejarnya dan Ifa menahanku. "Jangan! Aku aja" katanya. Untungnya Ifa cepat tanggap pada situasi kami.
Aku lemas, seluruh anak-anak di perpus melihat ke arahku. Aku berlari keluar dengan menahan air mata.
Jelas sudah sekarang kenapa? Walaupun Ririn tidak menjawabnya, aku tahu pasti kenapa dia berubah sikap kepadaku. Pasti karena lelaki yang ada di foto itu. Akhi.
Ternyata benar terjadi, kekhawatiran Ririn yang dulu pernah dia sampaikan padaku tentang menyukai orang yang sama. Benar-benar terjadi. Dan aku tidak menyangka bahwa resikonya seperti ini.
Kupikir, dulu hanya jika sampai ini terjadi maka keyakinanku adalah akhi akan memilihku. Namun nyatanya, aku justru kehilangan sesuatu yang berharga, temanku.
Aku kesal dan marah sekali pada diriku sendiri, kebiasaan, tidak pernah bisa berpikir panjang. Hanya bertindak berdasarkan pikiran yang spontan. Sudah berapa banyak masalah terjadi karena kebiasaan ini, tapi tetap saja ku ulangi lagi.
Selain itu bagaimana bisa dia tahu tentang akhiku? Sejak kapan dia menyadari itu? Aku terus penasaran dalam hatiku. Aku terus mengulang pertanyaan-pertanyaan semacam itu di kepalaku.
Yang jelas, sikapnya berubah pasti sejak dia tahu itu. Ini sama sekali tidak sesederhana kelihatannya. Selama ini Ririn sangat menyukai akhi. Dia sering membicarakannya dengan inisial Mr. A.
Bukannya aku sebodoh itu untuk tidak tahu, tapi banyak sekali nama yang berawalan huruf A, benarkan?
Aku mencoba untuk tidak menyalahkan diriku sendiri, tapi bagaimanapun aku tetap merasa tidak enak. Sekalipun benar bahwa akhi mungkin saja memilihku, aku tidak bisa mengabaikan sikap Ririn padaku.
Aku menangis di dalam kamar mandi, menyalakan kran air untuk menyamarkan suaraku, baju gamisku basah, tapi tidak penting sama sekali sekarang.
Apa yang harus aku lakukan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati (Ahmadku)
Ficção AdolescenteCitra adalah seorang santri yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seniornya, lalu mencari cara untuk bisa menyampaikan perasaan cintanya tanpa boleh ketahuan siapa-siapa. Dalam lingkungan pondok yang terpisah antara santri putra dan putri...