Tak kusangka semua ujian dan cobaan, juga masalah-masalah yang datang berbarengan itu mengalihkan banyak sekali perhatianku. Nyaris semuanya. Aku menerima banyak sekali teguran atas nilai-nilaiku, bahkan ancaman untuk tidak naik kelas. Belum lagi teguran dari papa karena itu.
Bisa dibilang, masih untung aku bisa naik kelas mengingat nilaiku yang benar-benar hancur.
Baiklah, kali ini aku pasti akan serius. Aku bertekad.
Liburan kali ini aku tidak menggubris ponselku sama sekali, aku menyibukkan diri di butik mama. Aku membantu apapun yang bisa aku bantu, aku belajar banyak hal, termasuk menjahit juga. Dan ya, aku membuat baju pertamaku.
Dirumah, aku masih merasakan mama dan papa tidak akur, namun alhamdulillah tidak mendengar mereka bertengkar seperti waktu yang lalu. Aku lega, entah apapun alasannya, aku paham bahwa mereka menahan diri karena aku.
Semuanya tampak baik-baik saja sampai aku kembali ke pesantren lagi. Dan hidupku disini juga akan berlanjut.
Bagaimana kabar akhi? Entahlah, aku bosan menunggu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya, sesekali aku masih merindukannya. Tapi untuk menemuinya, aku menahan diri. Terlebih setelah surat cinta waktu itu. Aku benar-benar menahan diri.
Memang tidak dengan jelas dengan maksudnya, namun kalimatnya waktu itu membuatku berpikir keras, membuatku berkali-kali harus mengingatkan diri untuk mundur saja. Sudahi perih karena menunggu, berhenti menanti seseorang yang tidak pasti.
Aku bahkan terus dikompori Ifa untuk menerima Reza, tapi mana mungkin. Dia membuatku menanggung malu dengan surat cinta bodohnya. Aku justru sebal sekali dengan dia. Ganteng sih oke, tapi tidak. Pokoknya tidak.
Ifa akhirnya juga sudah tahu tentang akhi Ahmad. Mau bagaimana lagi, aku juga tidak bisa menghalanginya untuk bertanya. Hanya saja aku tetap menjaga jawaban-jawabanku. Dan lagipula aku sudah bertekad untuk memperbaiki diriku saja.
Untuk kali ini, sementara saja begini, aku akan mengabaikan permintaan hati.
***
Kami baru saja menjalani pelantikan sebagai pengurus. Kami disibukkan dengan tanggng jawab untuk mendisiplinkan kegiatan sehari-hari di pondok. Semoga saja dengan kesibukan ini akan banyak membantuku menyingkirkan perasaan tak nyaman yang kadang-kadang masih datang karena penantian.
Menyebalkan sekali, perasaan tidak hilang dengan mudah. Padahal dia datang dalam sekejap saja. Tapi membekas dengan begitu hebat.
Sesekali dalam diamku, aku teringat, dan akhir-akhir ini menjadi semakin sering. Aku penasaran kenapa? Tapi juga tidak menemukan jawabannya.
Aku teringat kalimat akhi waktu itu.
"Akhi, jadilah pacar saya"
"Citra, saya bingung harus jawab apa"
"Akhi, saya sudah menyukaimu sejak lama, bahkan sejak pertama bertemu saya terus mimikirkan akhi, saya.."
"Citra, tunggu.."
"Saya sangat menyukaimu"
"Saya juga merasakan hal yang sama, tapi untuk jadi pacar.."
Aku menatapnya yang menghentikan kalimatnya.
"Saya tidak tau" kemudian dia menunduk menghindari tatapan mataku.
Aku pun diam, aku ditolak.
"Citra, tapi saya menyukaimu, saya bingung"
"Apalagi saya akhi"
Kali ini kami berdua diam, bahkan tanpa saling menatap satu sama lain.
"Ya sudah" aku segera berlalu dari situ.
"Citra..."
Aku menjawabnya tanpa suara, aku berlari menjauh dari tempat itu. Dan tidak pernah kembali lagi.
Beberapa kali kami bersimpangan jalan, aku menghindari tatapannya. Beberapa kali dia menelfonku saat liburan waktu itu, aku mengabaikannya. Entah kenapa aku merasa terluka namun masih mengharapkannya. Kali ini perasaan bingung sudah naik level menjadi rumit. Entahlah harus bagaimana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati (Ahmadku)
Fiksi RemajaCitra adalah seorang santri yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seniornya, lalu mencari cara untuk bisa menyampaikan perasaan cintanya tanpa boleh ketahuan siapa-siapa. Dalam lingkungan pondok yang terpisah antara santri putra dan putri...