SIKLUS (3)

2 0 0
                                    

Gugur

Kusisir rapih rambut hitamku, ku bersihkan tiap sela lekuk tubuhku. Sore itu kita akan bertemu setelah kau terima ajakanku untuk jalan bersama seminggu yang lalu. Sudah kusiapkan segalanya, mulai dari kalimat pembuka, inti, hingga penutup. Tapi satu hal yang kulupa, aku lupa mempersiapkan bagaimana nanti sikapku atas hasil yang akan kuterima.

Penuh percaya diri, si naif penuh mimpi melangkah ke kuburannya sendiri.

Langit memerah, ku tunggu putihku datang. Dua minuman sebagai teman mengobrol sudah tersaji. Sedikit lebih lama tapi tidak apa. Rela aku gadaikan waktuku jika itu untuk menunggumu.

Kau datang dari daun pintu. Sudah pasti dengan mudah aku mengenalimu. Wangi semerbakmu bahkan sudah tercium sejak kau baru memegang gagang pintu. Aku berdiri menyambutmu dengan sapa ramah, kau membalasku dengan raut marah. Aku mafhum, mungkin dunia sedang jahat padamu.

Satu dua bait basa-basi mengudara di langit langit cafetaria. Namun, tak satu patah katapun balasan kau keluarkan. Aku mafhum, mungkin dunia sedang jahat padamu.

Sedikit kurang tau diri mungkin jika aku mengikatmu ketika kau sedang seperti ini. Tapi tetap ku utarakan itu berharap sedikit kejelasan.

Pelan, penuh ragu, sedikit malu, aku buka monologku, pidatoku baru sampai pada kalimat pembuka tapi kau memotongnya. Baiklah, sedikit mengalah tidak akan membuatku menyerah padamu.

Sore itu kau memintaku untuk menjauhimu. Entah apa alasannya aku tidak tau. Tapi bukan itu yang membuatku sakit menahun, kau pergi tanpa sempat aku memberitahumu betapa dalam sudah aku gali perasaan ini. Harusnya kau duduk sebentar lagi, dan dengar ucapanku.

Sejuta tanya dalam nalar menjelma bagai kafein yang membuatku terjaga semalaman. Tak ku sangka, ternyata  malam bisa terasa begitu panjang jika kau sedang patah hati. Malam itu aku tidak tidur sendirian. Cemas, marah, kesal, kecewa, rindu, menjadi teman yang mengantarkanku pada tidur singkat yang tidak sedikitpun aku syukuri.

Besok aku lihat gandengmu telah kembali kepadanya. Kini aku tenang tidur dalam peti matiku. 

Bukan lagi mungkin, tapi kini aku sadar betapa aku tidak tau diri. Aku tidak mafhum, dan tidak akan pernah mengerti. Kenapa?

Kini aku benci senja sama seperti kau membencinya. Banyak orang melihat sisi indah dari senja. Tapi mereka lupa bahwa senja tetaplah waktu yang menyajikan miliyaran kemungkinan. Di antaranya pasti ada sedih yang mengambil peran. Tidak selamanya senja bersahabat.

Desember datang lebih awal. Rintik kecilnya sanggup melubangin hati kecilku. Langit abunya tega merenggut rekah senyumku.

Meski nalar dengan jelas berkata bahwa tidak semua cinta harus berbalas, walau akal berteriak keras bahwa banyak orang akan datang dan pergi dalam hidup, dan setiap dari mereka pasti punya alasan mengapa Tuhan sengaja mempertemukan, hatiku tetap tidak bisa diajak kompromi. Aku tetap ingin memilikimu seutuhnya, juga ingin kau memilikiku walau hanya sebutuhnya. Itu cukup, bahkan lebih dari cukup.

Selamanya hidup tidak akan pernah bersahabat denganmu. Adakalanya ketika kau bersikeras ingin pergi ke barat, tapi dunia memaksamu menuju ke timur. Seringkali takdir melunak sesaat hanya untuk menyanyikan lagu pengantar tidur. Lalu tanpa hati memberi kejutan yang tidak menyenangkan diri. Orang bilang, "namanya juga hidup."

Aku mencintaimu sampai aku lupa untuk mencintai diriku sendiri. Aku tidak membencimu sedikitpun, tetapi aku benci diriku sepenuh hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Pendek AmatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang