I. Rona-rona & Mainan Kunci

137 9 17
                                    

"Han, gue duluan, ya?"

"Iyadeh, yang jemputannya always on time. Take care, Nan!"

Kinan mengangguk mengiyakan. Ia berucap tanpa suara; elo juga.

"Mang, ke Gramed ya." Mang Joko- supirnya itu, menjawab dengan memberikan acungan jempol yang kalau dibahasakan akan menjadi : siap, Kak.

Orang-orang emang nggak ada yang mau ngalah, ya? Mereka selalu diburu waktu. Apa sih yang dikejar? Uang? Jabatan? Atau sesuatu yang lain tapi bagi mereka harganya nggak jauh beda?

Kinan, gadis itu melamun dalam perjalanan. Memandang ke luar jendela, sesekali memejamkan matanya karena lelah melihat arus lalu lintas yang setiap harinya selalu sama. Ia bertanya dalam hati, apa lampu merah takut karena dengar klakson orang-orang yang hobinya menyerbu? Sesekali juga ia mengembuskan napas kasar, mencoba membuang sesak yang bersarang di dadanya.

Kenyataan, yang memang tidak begitu disukainya.

"Kak, sampai."

"Eh?"

Kok cepet banget?

"Nggak usah tungguin aku, Mang. Nanti pulangnya baru aku sms." Kinan menaruh dagunya di jendela mobil. Tersenyum pada Mang Joko, memberikan pengertian yang sebenarnya tidak perlu. Karena Mang joko tentu paham benar apa yang dirasakan anak majikannya itu.

Dadah, tangannya melambai pada mobil yang baru saja pergi.

Urusan nanti pulangnya ia akan dijemput atau tidak, biar dipikirkannya lagi. Lagipula, ia hanya ingin memperlakukan waktu dengan sebaik mungkin, semisal dengan berada di tempat yang ia sukai dan tenggelam di dalamnya.

🐝

Kinan melangkah masuk ke dalam toko buku itu. Tempat dengan urutan nomor dua yang menyediakan kenyamanan setelah dunia mimpinya. Di sini, ia bisa melupakan dunia kelamnya. Walaupun hanya sebentar. Walaupun sejenak baginya selalu kurang.

Tangan kecilnya menjelajahi rak-rak buku. Membaca satu per satu judul yang diharapkannya ada yang bisa ia bawa pulang. Tak heran, Kinan pernah pulang dari sini tanpa membawa satu pun buku. Malah, hanya sebuah gantungan kunci berbentuk lebah yang berhasil menarik perhatiannya. Atau mungkin tidak, ia hanya tidak mau dikira tidak sopan sebagai pengunjung karena begitu saja mengabaikan meja kasir.

Sajak-Sajak Bianglala

Kinan tersenyum mengusap sampul buku itu. Ah, ia jadi rindu pameran. Ia rindu pernah terjebak di posisi paling atas dari rona-rona. Ia rindu pernah berhasil mencuri waktu berdua dengan sang Mama.

"Kinan mau naik itu, Ma!" Kinan kecil menarik baju mamanya. Berusaha membujuk Beliau agar mau menuruti permintaannya.

"Serius yang itu? nggak mau yang lain aja?"

"Ah, Mama! Pokoknya mau naik rona-rona!" ia memberenggut kesal. Lucu.

Petugas lalu menghentikan putaran kincir besar itu. Kinan ada di sana, bersiap menunggu gilirannya naik tiba.

"Duduk yang tenang, Gadis manis. Pintunya jangan di buka ya, soalnya dikuncinya cuma pakai cantelan."

Kinan mengerti. Ia bahkan mengulangi ucapan petugas itu dalam hati. Ia hanya perlu duduk tenang menikmati pemandangan. Tidak boleh aneh-aneh karena nanti bisa jatuh. Seram.

Mesinnya dihidupkan lalu keranjang-keranjang mulai berputar dengan sendirinya. Ah, keranjang? Kinan bahkan tidak tahu nama benda itu apa.

"Dah, Ma..." Raut wajahnya terlihat menggemaskan. Tangan kecilnya melambai kegirangan pada sang Mama. Mungkin benar, bahagia itu memang terletak pada kesederhanaan, seperti melihat lukisan sabit pada wajah yang tersayang.

"Hati-hati, Sayang."

Kinan senang. Senang sekali. Mamanya perlahan terlihat mengecil di bawah sana. Ia menebak-nebak. Sudah di posisi jam 12 belum, ya?

Sebelum kemudian...

Aduh, ia meringis kecil. Tiba-tiba Kinan terkantuk ke depan. Kenapa putarannya berhenti? Kenapa orang-orang mulai berteriak? Dan apa itu, mamanya melambai-lambai tapi terlihat... panik? Mamanya meneriakkan sesuatu tapi ia tak dengar. Beberapa petugas terlihat berlarian.

"Tenang, Bu. Hanya mati lampu. Kami akan nyalakan diesel. Sebelumnya juga sering begini. Ibu tidak perlu panik."

Ibu mana yang tidak akan panik melihat anaknya terkurung di atas sana dan waktu tiba-tiba memberhentikan putaran kincirnya. Kinan kecil ada di posisi paling atas. Dan ia sendirian. Bagaimana kalau ...

Tidak.

Ternyata hal itu cuma terjadi sebentar. Kinan mulai merasakan dirinya diputar kembali. Keranjang yang ditempatinya mulai membuat gerakan-gerakan mendayung kecil lagi. Ah, mungkin petugasnya ngantuk dan tidak sengaja menekan tombol off pada mesin pemutar atau bagaimana? Kinan hanya tersenyum kecil di atas sana.

Setelah selesai membayar, ia keluar dengan langkah ringan. Benar, masa kecil memang yang paling menyenangkan. Tapi membuat kerinduan paling besar jika kembali dikenang.

🐝

Kinan duduk sebentar di bangku pinggir jalan. Tidak berhenti tersenyum dari memandang plastik yang saat ini ada di pangkuannya. Ia bahkan sudah tidak sabar pulang.

Taksi terlihat berhenti di seberang. Mungkin semesta tahu, bukan, semesta pasti selalu tahu kalau saat ini Kinan sedang butuh tumpangan. Ia mengangguk, memberi jawaban pada sopir yang sebelumnya terlihat bertanya dengan isyarat telunjuknya. Ia menyeberang dengan hati-hati. Sedikit takut melihat bus besar lewat di depannya. Anak rambutnya diterbangkan angin yang diciptakan pergerakan bus itu. Kinan tersenyum. Memeluk erat buku yang sudah berteriak ingin dibaca pemiliknya.

Sementara itu, dari tempat ia berdiri tadi, seorang laki-laki terlihat memungut sesuatu. Sesuatu yang bila dilihat dari dekat ternyata adalah sebuah mainan kunci.

Ini, punya gadis itu? ia tersenyum.

🧚🧚🧚

Note :
- Rona-rona = bianglala

Masbagik, 8 Mei 2020

Salam sayang🧚,

Peri kecil ayah- Tari

KINANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang