II. Laki-laki Asing

83 5 6
                                    

"Makasi ya, Pak."

Sedan biru itu perlahan menjauh dari jarak pandangnya, semakin jauh, kemudian ditelan oleh tikungan.

"Kak, kok baru balik? tadi ke mana dulu?"

"Eh? aku tadi ke Gramed. Emang Mang Jo nggak bilang, Bi?"

"Mamang tadi sempat pulang, katanya ngambil berkas ibu yang ketinggalan. Tapi nggak bilang apa-apa soal kakak. Mungkin dia lupa."

"Kayaknya, sih. Aku naik ya, Bi. Capek. Mau langsung tidur."

Rasanya selalu berat untuk kembali ke rumah. Berat untuk dipaksa menerima berita yang tak ingin ia dengar. Contohnya sekarang ini, mamanya yang lagi-lagi sibuk dengan dunianya. Sampai hal-hal penting seperti itu bisa dilupakan. Berkas itu terlalu penting untuk mama tapi kenapa bisa lupa? Kinan ingin mengerti. Kinan juga ingin dimengerti. Tapi rupanya mama terlalu sibuk menaklukkan dunia, sampai lupa di sini ada kinan yang ingin juga diperhatikan. Kinan yang juga ingin dibahagiakan.

Bersama buku yang ada di pelukannya, Kinan terpejam. Berharap saat ia bangun nanti keadaan bisa berubah menjadi seperti dulu : mama yang selalu ada untuknya dan ia yang senang memeluk mama.

Bersama angan-angan itu, Kinan mulai masuk ke dalam dimensi yang paling disukainya. Di tempat ia ingin abadi, selamanya.

🐝

Menjadi murid kelas 3 dalam jenjang menengah memang selalu menyebalkan. Pasti akan banyak try out dan ujian-ujian yang menguras otak. Untungnya, ini masih semester satu. Yang kata kakak kelasnya dulu masih bisa untuk curi-curi waktu. Untuk apa? mencuri waktu; ngumpul bareng teman, nonton bioskop, liburan sekelas, pokoknya sesuatu menyenangkan semacam itu.

"Nan!"

Pemilik suara yang sudah ia hapal benar di luar kepala itu menghampirinya. Mereka berdua jadi berjalan bersisian.

"Lho? Tumben dateng awal bener, kerasukan apa Lo?"

"Yee... Kok Lo tega gitu si sama sobat Lo ini. Hehe kan gue pengen diajarin buat tugas yang semalem dikirim Pak Ketu tapi gue keburu ngantuk."

Teman dekatnya itu memang paling bisa membuat alasan. Masuk akal pula.

"Bener nih ya? Diajarin doang?."

"Iya, bawel ah Lo mah! Udah ah, yuk ke kelas!"

Hana merangkul teman baiknya itu. Rasanya seperti sedang membagi sedikit beban yang menumpuk di pundakku. Terima kasih, Hana. Ucap Kinan tulus yang hanya bisa disuarakan dalam hati.

🐝

"Gue ngantin, nih. Yakin nggak mau ikut? Atau lo mau nyusul?

"Enggak deh. Gue mager."

"Oke dah. Gue duluan, ya. Jangan ngelamun, Nan. Arya lagi nggak masuk kelas. Haha..."

Huh. Hana senang sekali menjodohkannya dengan Arya, murid paling dingin yang duduk di pojok deretan bangku depan. Arya juga adalah laki-laki yang sudah dua tahun lebih ini menjabat sebagai ketua kelas mereka. Hana bilang, Kinan cocok sama Arya yang dingin tapi keren. Kinan bisa jadi warna dalam hidup Arya yang monoton itu. Ya nggak, Girl? Waktu itu kami sedang makan bersama di kantin, Hana yakin betul aku dapat melukis warna pada kanvas milik Arya. Tapi, Hana hanya tidak tahu saja kalau kini, hidup Kinan bahkan hanya terdiri dari satu warna: hitam. Warna yang dulu paling ia benci namun sekarang paling cocok rasanya jika disandingkan dengan dunianya. Menyedihkan.

Kinan berjalan keluar kelas. Memilih menyudahi lamunannya itu.

Sambil melihat kelas IPS 4 yang sedang berolahraga, ia memakan bekalnya di bangku panjang depan kelas. Tadinya sempat berpikir ingin ke taman belakang, tapi takut-takut Pak Tohir tidak jadi tidak masuk. Kinan takut membayangkan beliau tidak jadi izin dan malah masuk kelas sementara ia di taman disibukkan dengan lamunannya.

Kinan menyendok pelan nasi dengan topping nugget dan telur dadar itu. Menikmatinya bersama harapan bahwa yang membuat bekal hari ini adalah mamanya. Bukan lagi-lagi Bi Asih.

Di kelas seberang sana, ada sorot mata yang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Jenis tatapan yang sama, seperti terakhir kali mereka bertemu. Kinan hanya tidak tahu saja, bukan. Ia hanya tidak pernah menyadarinya.

🐝

Kak, Mamang nggak bisa jemput. Ada perintah dari ibu.

Setelah membalas okay, aku bakal nyari tumpangan ke Mang Jo, Kinan mepercepat langkahnya. Ia tidak mau ketinggalan metromini yang sering dinaiki teman-temannya. Yang setelah sekian lama baru kembali akan dinaikinya.

"Kinan!"

Kinan terlihat mencari sumber suara.

Ah, di sana rupanya..

Ternyata, panggilan itu berasal dari seorang laki-laki yang saat ini ada di dekat pohon dekat halte depan sekolah. Sosok laki-laki itu... bagaimana mungkin tahu namanya? Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? Tapi Kinan rasa tidak. Ia ragu. Laki-laki itu begitu asing. Penampilannya saja bukan sekelas anak SMA. Ia lebih mirip anak kuliahan yang Kinan tebak baru selesai ngampus.

Saya? ucap Kinan tanpa suara sambil menunjuk dirinya sendiri. Mencoba meyakinkan kalau-kalau saja ada dua nama Kinan di sekolah ini. Tapi Hana pernah bilang cuma ada satu Kinan di sini. Ya, dan dia adalah yang cuma itu.

Laki-laki itu mengiyakan dan menyuruhnya mendekat. Kinan agak sedikit mempercepat langkahnya. Menoleh kanan-kiri kemudian menyeberang jalan dengan hati-hati.

"Benar Kinan, ya?"

"Mmm.. iya, Kak. Kita kenal?"

Laki-laki itu tersenyum. Manis. Eh? sadar, Nan. Kamu ini mabok atau bagaimana? Ia mengambil sesuatu dari dalam kantongnya.

"Mainan kunci saya? kok bisa?" Kinan berujar saja tanpa ia sadari.

"Kemarin. Di toko buku."

"Eh? jadi kita pernah ketemu sebelumnya? btw, thanks, Kak. Ini penting banget buat saya."

Bukan kita yang bertemu, Kinan. Hanya saja kemarin Aku. Aku yang menemukanmu.

Laki-laki itu sadar mereka berdua sedang diperhatikan. Buktinya, waktu rasanya tiba-tiba dihentikan. Banyak dari siswi yang melihat ke arahnya dengan tatapan memuja dan tengah berbisik. Sementara itu, gadis di depannya ini terlalu fokus, menunduk memainkan mainan kunci miliknya. Tidak sadar saja dia kalau kini mereka berdua sedang jadi pusat perhatian.

Ia tersenyum, mengangkat dagu Kinan agar beralih menatap ke arahnya.

"Don't mention it. Pulang naik apa?"

"I-itu.. sopir saya nggak jemput, jadi.." mungkin metromini.. sambung Kinan dengan suara pelan.

Tuhan, kenapa ia jadi gugup begini?

"Kalau pulang bareng saya gimana? mau?"

Kinan sedikit terkejut. Setelah sekian lama, baru sekarang ia ditawari pulang oleh seorang laki-laki asing yang... entah kenapa rasanya benar.

"Kenapa? Saya bukan orang jahat, Kinan. Daripada kamu naik metromini, desak-desakan di siang hari begini pasti nggak nyaman. Kamu juga kelihatannya nggak biasa. Jadi, sama saya aja, ya?"

Kinan mengangguk setuju. Benar juga kata cowok ini, batinnya. Tapi semesta, siapa orang ini? Kenapa harus tiba-tiba begini? Kinan bahkan belum siap untuk pertemuan baru.

Setelah sekian lama juga, untuk pertama kalinya, aku berhasil tenggelam dalam sorot mata seorang gadis yang bahkan baru hari ini kuketahui namanya. Semesta, tolong buat hari ini berakhir lama. Tak sengaja laki-laki itu mengucap hal yang pantang untuk tak dikabulkan semesta.

Semesta menyatukan mereka dalam satu waktu yang dikira tiba-tiba padahal tepat. Dikirimkannya gerimis agar laki-laki itu bisa menahan sang gadis lebih lama. Agar ia bisa memberi kesan menyenangkan padanya yang sudah lama lupa caranya tersenyum bahagia.

🧚🧚🧚

Masbagik, 21 Juli 2020

Salam sayang🧚,

Peri kecil ayah- Tari

KINANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang