III. Tuan Cahaya

68 4 2
                                    

"Neduh di sini dulu, ya?"

Kinan mengangguk kembali.

Mereka berdua memilih mampir di sebuah warung yang tidak jauh dari sekolah. Tetes air dari langit itu mengharuskannya untuk tidak membiarkan gadis di depannya ini kedinginan. Disampirkan jaket yang sejak tadi dikenakannya pada Kinan, dan reaksi tubuh Kinan menegang. Matanya melotot kecil sebelum kembali menunduk. Mungkin dia malu.

Tuhan, kenapa dia begitu menggemaskan?

"Kinan mau pesan apa?"

"Teh anget tawar aja, Kak."

Setelah mengantre untuk mendapatkan pesanan mereka, ia membawanya ke bangku tempat ia dan...

Gadis itu terlihat mengayunkan kakinya agar terkena rintik hujan. Membiarkan sepatu dan kaos kaki putih miliknya sedikit basah. Laki-laki itu menggeleng pelan tapi juga tersenyum. Menghampiri gadis itu dari belakang berniat mengejutkannya tapi gagal karena Kinan sepertinya menyadari kehadirannya dan berbalik.

Ia meletakkan pesanan miliknya dan Kinan di tengah-tengah mereka.

"Jadi kenapa lebah, Kinan?"

"Maksudnya?"

"Mainan kuncimu. Kenapa bentuknya lebah?"

"Oh ini, sebenernya aku suka yang kunang-kunang. Tapi waktu itu belum ada. Trus aku ngambilnya ya ini aja, lebah. Kan bentuknya agak mirip dengan kunang-kunang yang kuinginkan."

Mereka berdua sepertinya sadar kalau Kinan keliru, dia bukan lagi berbicara menggunakan saya melainkan... aku?

"M-maksud saya---"

Sebelum Kinan melanjutkan perkataannya, laki-laki itu lebih dulu menyela.

"Namaku Gevan. Gevandra Arbhanu."

Ia tersenyum sebentar sebelum melanjutkan perkataannya.

"Nggak ada yang salah dari ngomong aku-kamu, Nan. Toh, aku cuma beberapa tahun di atasmu karena kebetulan dulu pernah ikut program aksel. Selebihnya, kalau aku nggak salah kira, mungkin umur kita cuma beda dua atau tiga tahun."

"Kakak anak aksel? Keren ih!"

"Kamu bukan adikku."

"Iyyadeehh.. nggak lagi aku panggil gitu."

"Kinan, sekarang coba bilang kenapa namamu Kinan dan apa yang sedang kamu sembunyikan?"

Deg. Kinan dibuat terdiam.

Semesta, siapa orang baru ini? baru kali ini ada orang yang bisa membacaku di pertemuan pertama kami. Bahkan, Hana yang sudah lama bersamaku tidak mampu melakukannya. Ge, siapa sebenarnya kamu ini? mengapa kamu tahu arti namaku?

"Kamu kok tahu? hmm.. apa ya... memangnya ada yang sedang aku sembunyikan? jangan sok tahu deh!"

Aku sudah bilang belum kalau kamu itu seperti buku yang terbuka? mudah sekali bagiku untuk membacamu, Kinan.

"Aku anak Psikologi kalau-kalau kamu mau tahu." Aku terkekeh kecil karena memergokinya mengatakan yang tak sebenarnya. Tapi kubiarkan. Mungkin baginya ini terlalu cepat.

"Ih, serius? mmm... Ge, Bhanu artinya cahaya, kan?"

Kinan, kamu tertangkap berusaha mengalihkan pembicaraan.

Detik ini. Gantian aku yang dibuatnya bungkam.

Di pertemuan kedua kita ini, setelah sorot mata milikmu, kini kamu berhasil mencuri sesuatu yang menjadi bagian penting dari hatiku, Nan. Kamu tahu siapa aku. Dan... seperti apa kamu memanggilku tadi? Ge? oh Kinan, bukankah itu terlalu spesial? bahkan Ibuku sendiri tak memanggilku dengan suku pertama namaku itu. Tidak dengan panggilan seistimewa milikmu. Kamu memang berbeda, Nan.

Mereka berdua beradu pandang. Gevandra tak berusaha menjawab karena ia tahu itu tak perlu. Mereka berdua seakan berusaha merayu semesta agar mau membocorkan alasan mengapa keduanya harus dipertemukan. Mengapa setelah ini, pertemuan selanjutnya harus selalu mereka adakan.

🐝

"Terima kasih, Tuan. Untuk tumpangannya."

"Sama-sama, Nona. Kalau begitu aku pulang, ya? nanti kukabari kamu kalau sudah sampai rumah."

Kinan tersenyum dan menggumamkan hati-hati pada langkah Gevan yang perlahan hilang. Ia lupa sudah berapa lama tidak sesenang ini.

Bunga-bunga di pekarangan rumah menyambutnya. Mereka seakan tahu kalau sang pemilik sudah berhasil dibuat bahagia, yakni oleh seorang pemuda yang bahkan baru hari ini dituliskan bab pertamanya oleh semesta.

🐝

Kinan memejamkan matanya. Membiarkan ingatannya kembali pada pertemuan tadi. Ge-van-dra Ar-bha-nu. Kinan mengeja baik-baik nama itu dalam hati. Juga mengingat sekali lagi bahwa tadi mereka berdua sempat bertukar nomor ponsel. Lekuk sempurna tercipta di wajahnya. Sebelum akhirnya membiarkan kantuk membawanya memasuki alam mimpi yang kini mungkin akan penuh dengan permen kapas warna-warni.

Aku baru saja sampai, Nan. Kamu sudah tidur, ya?

Notifikasi dari handphone di sampingnya itu tidak berhasil mengusik lelapnya. Mungkin saja peri-peri mimpi sedang asyik mengajaknya bermain di sana, mungkin.

🧚🧚🧚

Masbagik, 11 Mei 2020

Salam sayang🧚,

Peri kecil ayah- Tari

KINANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang