ㅡpertengkaran di depan rumah

63 11 2
                                    

Daun-daun di depan halaman rumah berpagar hitam itu berguguran. Musim kemarau nampaknya sudah datang menyapa.

"Kemarin aku mendengar pertengkaran itu lagi."

Pohon pucuk merah yang berdiri kokoh di ujung halaman berbisik kepada pohon bambu di sampingnya.

"Mereka yang ada di depan rumah kita itu?"

"Iya, aku mendengarnya dengan sangat jelas. Lalu, setelah berteriak. Manusia itu berlari keluar rumah dengan wajah masam."

Siang hari itu angin meniup cukup kencang hingga membuat pohon bambu bergerak ke kanan dan ke kiri seperti menari.

"Mereka kenapa bertengkar terus? Bukankah manusia itu makhluk yang lebih sempurna dibandingkan kita? Mereka dianugerahi akal sehat dan nurani, bukan? Seharusnya lebih mudah memecahkan masalah."

Pohon pucuk merah menjatuhkan beberapa helai daunnya lagi.

"Seharusnya memang begitu, tapi entah kenapa manusia yang tinggal di sana lebih senang mengumpat dan marah-marah. Padahal mereka adalah keluarga. Aku tidak mengerti dan merasa aneh. Besoknya, aku melihat manusia pemarah itu pulang ke rumahnya tengah malam dengan manusia lainnya lagi. Wajahnya manis dan terlihat sangat bahagia. Tapi, begitu manusia lainnya itu lagi pergi. Ia menendang pintu rumahnya sambil berteriak-teriak. Lalu, keluarlah manusia tua dan renta dari rumah itu membukakan pintu dengan senyum tipisnya."

Pohon bambu termenung begitu mendengar jawaban pohon pucuk merah. Pohon bambu terlihat sedang berusaha mencerna tiap perkataan yang dilontarkan oleh pohon pucuk merah.

"Kenapa manusia pemarah itu lebih baik dalam memperlakukan orang asing? Dibanding keluarganya sendiri? Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukankah manusia punya akal sehat? Seharusnya ia lebih menyayangi keluarganya, bukan? Seperti aku yang selalu siap sedia memberikan tempat bagi anak-anak pucuk lainnya untuk tumbuh. Kami saling berbagi, kami saling mencintai, karena kami keluarga."

Pohon pucuk merah mendelik begitu melihat seekor burung pipit bertengger di dahan pohonnya yang kokoh. Ia lalu kembali melihat ke arah pohon bambu.

"Entahlah, seharusnya kita saling mencintai karena kita semua keluarga. Tapi, manusia pemarah itu hanya baik pada orang asing daripada keluarganya sendiri. Apakah ia mengerti arti bahagia dan cinta kalau begitu?"

Kini, pohon pucuk balik bertanya pada pohon bambu.

"Aku rasa tidak, ia hanya tahu bagaimana caranya agar terlihat bahagia dan dicintai. Tanpa mau membahagiakan dan mencintai."

Pohon pucuk seperti tersadar, dan lalu,

"Ya, kamu benar."

"Manusia, penuh kepalsuan, ya?"






Afnan Syahirain
96' Buitenzorg

AfeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang