Kesatu

52 9 6
                                    

Mata tajam milik Alden terus menilik setiap sudut gedung yang baru saja ia pijakki. Hawa dingin mulai menyerang kulit terluarnya, langkahnya pun kini menjadi ragu.

"Duh, ini sebenernya di mana?" gumamnya.

Walau merasa takut, kaki Alden terus melangkah semakin dalam memasuki gedung yang terlihat tua ini. Remang-remang Alden mendengar sesuatu yang bergerak menambah ketakutan. Namun tetap saja, Alden terus melangkah ke dalam.

"Yang kesembilan datang."

Alden melonjak kaget, hampir saja dirinya terjatuh saat mendengar suara tak jauh darinya. Dan benar saja, ada pemuda yang ternyata sedang berdiri sambil menyender di pilar yang Alden lewati.

"Kamu si-siapa?" Walau takut, Alden berusaha bertanya.

Pemuda itu berjalan menghampiri Alden lalu mengulurkan tangan kanannya, "gua Keynan, lu pasti orang yang dapet undangan aneh itu, kan?"

Alden menjabat uluran tangan tersebut, "i-iya, kakak juga dapet itu?"

Keynan hanya mengangguk seraya melepas jabatan tangan mereka.

"Sebenernya itu apa kak? Aku nggak ngerti," tanya Alden.

"Gua juga ga ngerti. Mendingan kita ke dalem aja."

"Ngapain ke dalem, Kak?" Alden sedikit bergerak mundur, was-was dengan ajakan Keynan.

"Di dalem udah ada tujuh orang yang lain, gua ke delapan dan lu kesembilan. Inget undangan itu cuman buat sembilan orang aja?"

Alden mengangguk.

"Nah, yaudah ayo masuk."

Keduanya pun berjalan lebih dalam ke dalam gedung itu. Semakin dalam mereka berjalan semakin terlihat cahaya yang masuk. Akhirnya mereka tiba di tempat tujuan mereka.

Alden memandang ragu kepada tujuh pemuda yang kini sudah melihatnya intens, ia merasa aneh sekarang.

"Ini yang kesembilan," Suara Keynan memecah keheningan.

Sementara ketujuh pemuda yang lain hanya diam saja, tak membalas perkataan Keynan sekalipun. Mereka kembali ke aktifitas semula — walau hanya diam saja — begitu pula Keynan yang memilih duduk di atas batu yang berada tak jauh dari posisi semulanya.

Alden merasa aneh, ia juga merasa bingung karena tak tahu harus berbuat apa. Maka dari itu dia pun hanya diam berdiri seraya memikirkan apa yang terjadi dengannya.

Keadaan ini terjadi hingga setengah jam lamanya, hingga salah satu pemuda yang duduk di sofa lama di tengah ruangan ini bersuara memecahkan keheningan.

"Btw, kalian kenapa ada di sini?" tanyanya, itu Saba.

"Undangan?" balas salah satu pemuda yang memainkan kerikil dengan ragu, itu Jufan.

"Tapi, gua diajak lu," timpal pemuda yang mengarah pada Jufan, itu Janu.

"Sebagian besar karna undangan," pemuda lain bersuara, itu Arvion.

Pemuda yang tadinya terduduk di samping Saba kini berdiri dari duduknya, "jadi ini maksudnya apaan sih?" suaranya terdengar kesal, itu Jefran.

"Penipuan?" balas pemuda yang sedari tadi duduk menyandar tembok, itu Rafiga.

"Gua rasa bukan," balas pemuda lain, itu Aldeo.

Mereka terlihat kebingungan, termasuk Keynan dan Alden.

"Gua nggak tau itu apaan, gua juga nggak ngerti kenapa gua mau aja ke sini," Keynan bersuara, terlihat seperti pasrah dengan keadaan.

"Gua juga gitu," sambar Jefran diikuti yang lainnya.

Janu membenarkan posisinya menghadap Jufan, "kenapa lu tau gua? Lu kenal gua?"

Jufan yang mendengar itu mengusap tengkuknya yang tak gatal, "gua ga kenal lu, gua juga heran kenapa bisa gitu."

"Gua juga sama," timpal Arvion, kemudian menoleh pada Rafiga, "kok gua malah nyamperin Rafiga dulu?"

Rafiga mengedikkan bahu, "gua gatau."

Akhirnya mereka semua menceritakan kejadian saat setelah mereka mendapatkan undangan aneh tersebut. Yang mana mereka merasakan hal aneh yang bahkan mereka saja tak mengerti kenapa, dan badan yang seperti dikendalikan orang lain.

"Jadi intinya di sini, kita semua kaya kena sihir," Arvion menyimpulkan.

"Sihir apaan yang kaya gitu?" tanya Jefran yang mengundang gelak tawa Saba. Lantas Jefran menatap tajam Saba, "ngapain lu ketawa?!"

Saba menghentikan tawanya, "kaga, lucu aja. Kalian percaya sama gituan?"

Keadaan kembali hening, mereka mencerna kembali perkataan Saba yang memang ada benarnya.

"Atau mungkin, ini takdir?"

Mereka semua menoleh pada Aldeo, si tersangka yang bersuara itu malah cengengesan membuat yang lain menatapnya heran.

"Bisa aja kan? Takdir yang nuntun kita ke sini," jelas Aldeo yang malah membuat kedelapan pemuda yang lain garuk-garuk kepala kebingungan.

"Takdir apaan njir? Jadi takdir ngerasukin bada kita gitu?" tanya Janu yang mengundang gelak tawa yang lainnya, kecuali Jufan.

Jufan diam seolah sedang memikirkan sesuatu, hingga akhirnya dia pun bersuara.

"Mungkin bener apa yang dibilang Aldeo."

Eksitensi kedelapan pemuda itu kini beralih pada Jufan, meminta penjelasan lebih atas apa yang dia ucapkan barusan.

"Karena takdir itu gada yang tau, takdir itu sangat 'suprise' buat kita umat manusia, dan takdir itu bisa diluar nalar kita. Jadi, mungkin aja ini emang takdir kita? Kita dipertemukan di sini."

Semuanya mencerna baik-baik penjelasan yang disampaikan Jufan, ada yang mengerti ada pula yang masih belum mengerti, seperti Jefran.

"Ah gua ga ngerti!" kesal Jefran menendang kerikil yang tak bersalah dihadapannya.

"Sama, Kak, hehehe," timpal Alden malu-malu.

Keynan berdiri dari duduknya dan memandang kedelapan pemuda lainnya, "walau gua masih ga ngerti, tapi gua rasa kita jalanin aja semua ini."

"Gua setuju," ucap Saba.

Arvion berdiri dari duduknya lalu memandang kedelapan orang pemuda di sana dengan senyum yang mengembang.

"Walau kita baru ketemu dan saling kenal, gua percaya kita ini takdir. Ayo kita lewatin hari besok, dan sampai kapanpun itu."

Mendengar ucapan Arvion mengundang senyuman yang mengembang di setiap bibir dari kedelapan orang itu. Mengundang tekad yang baru saja ditanam.

Untuk saat ini, mereka mulai yakin pada takdir.

[|•|]

Don't stop in this chapter, next!

[ I ] Syndrom KidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang