Sudah beberapa minggu sejak mereka bersembilan menyebut diri mereka adalah Syndrom Kids. Terdengar aneh memang, tapi mereka tak perduli, mereka benar-benar tak perduli dengan komentar orang-orang sekitar.
Setiap hari mereka pasti menyempatkan diri untuk sekedar berkumpul di markas mereka. Seperti hari ini, mereka pun kembali berkumpul. Namun bedanya untuk hari ini Rafiga datang terlambat karena harus membantu sang Ayah di kedai ramennya.
Mereka tak pernah bosan walau setiap hari hanya berkumpul bersama, karena mereka pasti akan mencari apapun yang bisa membuat mereka tertawa bersama. Seperti kali ini, Jefran jadi bahan ejekan di antara mereka.
"Bacot babi!" umpat Jefran yang sudah kesal. Bagaimana tidak, sejak tadi dirinya diejek karena Saba yang selalu mencoba mendekat padanya, hal itu lah yang membuat dirinya kesal.
"Ututu, anak ketjil jangan ngamuk-ngamuk dongs," kata Keynan yang malah semakin menyulut emosi Jefran.
Saba yang sejak tadi tak henti-hentinya tertawa akhirnya mencoba untuk meredakan tawanya, matanya terlihat sudah berair, "udah weh, kasian Jefran," Namun setelah itu ia kembali tertawa.
"Edan lo semua ya," Jufan yang sama saja seperti lainnya.
Disaat mereka kembali tertawa, pandangan Janu tak sengaja melihat Alden yang hanya diam tersenyum canggung melihat kelakuan teman-temannya yang lain. Entahlah Janu hanya merasa aneh karena sejak awal Janu merasa bahwa Alden masih terlihat masih awkward di antara yang lainnya.
Janu tergerak untuk menghampiri Alden, ia duduk di sebelah Alden membuat Alden sedikit terkejut dengan kehadiran Janu.
"Ada apa, Kak?" tanya Alden.
"Ngga ada, cuman mau duduk di sini aja."
Alden hanya mengangguk canggung, ia tak tahu harus berbuat apa. Lantas ia kembali menyaksikan keasyikan yang dibuat oleh teman-temannya.
Melihat itu Janu jadi gemas sendiri, "Den, kok lu diem aja?" Akhirnya Janu bertanya.
Alden terlihat kebingungan dengan pertanyaan Janu, "Diem gimana maksudnya, Kak?"
Janu mengangkat kedua bahunya, "ya lu dari tadi cuman kayak senyum-senyum gimana gitu. Kenapa, Den? Lu masih canggung sama kita?"
"E-engga ko, Kak. Aku udah nyaman sama kalian," jawab Alden, sedikit merasa takut.
"Kalo lu nyaman sama kita kenapa lu ngerasa takut gua tanya gini ke lu?"
"E-engga ko, Kak. Be-beneran!"
"Eh lu berdua kenapa?"
Suara Arvion membuat keduanya menoleh pada Arvion, sedangkan Arvion kebingungan melihat Alden yang seperti ketakutan dan Janu yang terlihat serius.
"Lu berdua berantem?" tanya Arvion lagi.
Janu mengangkat kedua bahunya santai, "kaga, gua cuman nanya sama dia."
"Kalo lu nanya kenapa Alden sampe keliatan takut gitu?"
"Ya mana gua tau."
"Weh-weh ada apaan ini?" suara Saba mengalihkan perhatian mereka bertiga. Saba menghampiri ketiganya, mengundang yang lainnya ikut menghampiri juga.
"Elah gua bilang juga gada apa-apa. Gua cuman nanya sama Alden kenapa udah berminggu-minggu, tapi dia masih keliatan canggung atau malu-malu sama kita," jelas Janu akhirnya.
Mereka semua kini menoleh pada Alden, membuat Alden merasa bersalah dan merasa tak enak.
Jufan menghampiri Alden lalu berjongkok di sebelahnya, "apa iya, Den?" tanya Jufan hati-hati, dan Alden membalasnya dengan anggukan.
"Kenapa? Apa lu ada sesuatu yang buat lu kayak gini?" sambung Jufan.
Alden mendongakkan kepalanya, "iya, Kak. Aku minta maaf, soalnya aku nggak tau haru ngapain, aku juga nggak biasa main kayak gini. Aku dari kemaren udah pengen berubah ko, Kak."
"Gapapa, ga usah minta maaf. Kita juga yang salah karena ga peka soal lu, Den," kata Saba yang dibalas anggukan setuju dari yang lainnya.
"Iya, kalo gitu lu jangan malu-malu lagi mulai hari ini, intinya kalo ada apa-apa bilang sama kita. Kalo ada game atau apa lu ikut aja, oke?" sambung Jufan.
Terlihat Alden tersenyum lega, "makasih semuanya, Kak. Aku bakal coba ngga malu-malu lagi, hehe."
"Iya, sorry ya kalo gua tadi bikin lu takut," kata Janu seraya menepuk bahu Alden.
Mereka akhirnya memilih untuk bermain game bersama, yang pasti untuk kali ini Alden ikut di dalamnya. Tak lam setelah itu Rafiga datang menyapa mereka.
"Hello men, gua dateng!" Rafiga yang datang dengan sumringah.
"Bubar, orang aneh dateng," intrupsi Aldeo yang juga didengar oleh yang lainnya.
Rafiga yang mendengar itu hanya mengelus dada sabar. Kemudian mengejar Aldeo dan menghajarnya, tentu saja itu hanya candaan saja. Setelah itu mereka kembali memainkan game yang lengkap diikuti oleh sembilan orang.
Hari ini mereka bersenang-senang bersama dengan perasaan lega, begitupun Alden yang ternyata cukup cepat untuk mengubah situasi, dirinya sekarang sudah merasa canggung atau apapun itu lagi.
Hari ini mereka tertawa lebih lebar dari biasanya. Hari ini benar-benar sangat menyenangkan hingga rasanya ingin sekali menghentikan waktu agar mereka bisa terus seperti ini.
Saat ini, mereka benar-benar merasa takdir memihak mereka.
[|•|]
Don't stop in this chapter Piggy, next!
KAMU SEDANG MEMBACA
[ I ] Syndrom Kids
De TodoTakdir yang menyatukan. Takdir yang memisahkan. Mereka bersembilan hanya manusia biasa yang mempunyai tekad untuk selalu bersama, tekad untuk bahagia bersama, tekad untuk berjuang bersama, tekad untuk takkan berpisah. Namun, kejamnya takdir memainka...