Beberapa hari setelah mereka pulang dari liburan di Bandung, seperti biasa mereka bersembilan berkumpul dan bermain bersama. Bisa dibilang Syndrom Kids merupakan prioritas mereka.
Hari ini cuaca sedikit mendung, terlihat tak bersahabat. Namun tetap mereka bersembilan tak perduli, menurut mereka jikalau badai menerjang mereka akan tetap lewati demi bisa berkumpul bersama.
Seperti biasa mereka melakukan hal random. Namun akhir-akhir ini mereka memiliki project untuk memulai menjadi parody dari boyband kpop Stray Kids, karena itu akhir-akhir mereka menjadi sering latihan bersama.
Arvion mematikan lagu Voices dari Stray Kids di ponselnya, kemudian berjalan pelan menghampiri sofa lalu duduk di sana, "istirahat dulu aja," ujar Arvion seraya mengatur nafasnya yang tak teratur.
Yang lainnya mengangguk setuju karena mereka juga merasa lelah karena sudah tiga kali putaran lagu Voices.
"Mantap nih, udah sembilan dua persen lah ini," ucap Jefran, tangannya tergerak mengibas-ngibaskan tangannya kebiasaannya jika merasa kepanasan.
Rafiga mengangguk membenarkan, "hooh nih. Tapi si Aldeo kemana ya? Tumben belum dateng."
"Nah, tu dia," sambar Saba, kemudian beralih pada Jufan di sampingnya, "lu tau kaga dia kemana?"
Jufan mengedikan bahunya, "mana gua tau lah."
"Meh, palingan ngebo cweh," balas Keynan yang juga sedang mengibas-ngibaskan dirinya sendiri.
Setelah hampir lima belas menit mereka beristirahat, mereka kembali untuk latihan. Namun, saat itu Aldeo tak kunjung datang membuat beberapa di antara mereka kesal karena jika satu orang tidak ada, formasi mereka menjadi kurang benar dan acak-acakan.
"Anjir, kemana si tu anak!" kesal Janu.
"Udah aku telpon, Kak. Tapi ngga diangkat," kata Alden memberi tahu.
Arvion berdecak, "kemana sih, tumbenan anjir ini tuh."
"Nah, mana ini kayaknya udah mau ujan," sambung Jufan.
Tak berapa lama setelah itu, suara langkah kaki terdengar, itu memang Aldeo. Mereka merasa lega setelah melihat Aldeo, dan rasanya ingin mengumpati manusia satu itu.
"Eh lo kemana aja sih babi!" serang Jefran langsung saja.
"Nyoh, guwah nungguin loe nie," timpal Keynan.
Melihat reaksi Aldeo yang hanya diam membuat Alden merasa aneh. Lantaran, Aldeo hanya diam berdiri di tempatnya. Setelah itu melangkah perlahan menghampiri mereka. Sekarang Alden dapat melihat satu amplop di tangan Aldeo.
"Maaf," Satu kata Aldeo.
Semuanya mengernyit heran, tak mengerti dengan maksud Aldeo.
"Maaf apaan si? Belom lebaran," serang Janu yang sudah merasa tak enak.
"Tau lu, gajelas," timpal Saba.
Namun, Aldeo tetap terdiam. Perlahan namun pasti, tangannya yang menggenggam sebuah amplop terulur. Jufan segera meraih amplop itu dan yang lainnya bergerumun untuk bisa membaca isi amplop tersebut.
Perlahan namun garet senyum di bibir mereka perlahan memudar. Tangan dan kaki mereka mulai bergetar. Hati mereka mencelos. Jantung mereka mulai berdetak cepat. Kaget, sangat kaget, dan tak percaya.
Jufan melempar kertas tersebut ke tanah, amarah mulai menyeruak, "Apa maksudnya ini?! Apaan?!"
Sementara yang lain hanya diam tertunduk, tak tau harus berbuat apa lantaran mereka rasa ini adalah sebuah mimpi. Mereka mengabur, sedikit menyendiri untuk mencoba memahami realitas.
Dan Aldeo hanya diam, tertunduk. Ia juga tak tahu lagi harus berbuat apa. Karena, hal ini sudah disiapkannya matang-matang.
"Maksud lo apaan hah?!"
Urat-urat mulai terlihat di wajah Jufan.
"LO INGET JANJI KITA GAK?!"
Sekali lagi, Jufan berteriak. Untuk kedua kalinya, yang pertama saat Alden mencoba pergi.
Arvion menghampiri Jufan, mencoba meredakan amarah Jufan, "udah, Fan. Kita bicarain baik-baik."
"Maaf, maafkan gua."
Semuanya menoleh pada Aldeo. Mereka yang mencoba menggantikan realitas ke ekspetasi mereka, sayangnya realitas lebih kuat. Mencelos hati mereka.
"Maafkan gua, gua harus pergi."
"Ga akan pernah bisa!" Kali ini Saba bersuara, "lo ga boleh pergi!" lanjutnya.
Aldeo menghela nafas, sebenarnya dia pun tak mau hal ini terjadi. "Gua harus pergi, gua 'berbeda' dari kalian."
"Gua udah bilang, 'berbeda' yang lo maksud itu bukan jadi penghambat buat kita," geram Janu.
"Gua tetap harus pergi."
Semuanya terdiam, menghirup udara sebanyak-banyaknya demi mengontrol emosi mereka. Mereka tak tahu, apakah ini juga takdir?
Jufan menatap Aldeo, "lu lupa soal apa yang pernah kita omongin bareng-bareng? Soal takdir, soal janji, soal kita yang ngga akan kaya gini lagi?"
Aldeo menggeleng, "gua ingat, maaf. Dan, mungkin ini juga takdir buat kita."
"Ngga!" bantah Keynan, "takdir kita itu buat bersama-sama, bukan pisah kaya gini!"
Aldeo tersenyum, "kalian inget kan? Gua pernah bilang, takdir itu di luar nalar kita. Takdir bisa berubah kapan aja, atau mungkin takdir gua untuk bersama kalian cuman sampai segini. Maaf...."
Sekali lagi mereka seperti di bom yang menggores kulit mereka, bahkan hati mereka. Ada apa ini? Kenapa menjadi seperti ini?
"Makasih buat semuanya, gua sangat bersyukur ditakdirkan untuk bersama kalian walau hal itu ngga selamanya. Makasih, udah buat gua bahagia. Dan maaf, takdir gua dan kalian cuman sampai di sini."
Angin berhembus cukup kencang, seolah meledek mereka bersembilan. Meledek jika mereka terlalu percaya dan berharap akan takdir.
Perlahan namun pasti, Aldeo mulai melangkah jauh. Pelan, pelan, semakin tak buram, semakin abu, dan hilang. Hanya gerakan bibir yang dapat mereka pahami, hanya dua kata yang bibir itu ucapkan.
"Selamat tinggal."
Mereka bisa apa? Menangis? Marah? Apa lagi? Mereka tak tahu harus apa. Takdir yang selama ini mereka percayai, kenapa menjadi begini.
Takdir yang menyatukan mereka, lantas takdir juga yang memisahkan mereka.
Apa ini adil untuk mereka? Ya. Karena takdir bisa berubah kapan saja, dan apapun itu.
Namun tetap, apakah tuhan di atas sana tega memisahkan insan yang saling mengasihi, mengayomi, melindungi?
Mereka bersembilan ingin marah dengan takdir yang diberikan tuhan, namun apa itu berguna? Tidak, sama sekali.
Tapi, mereka bersembilan merasa takdir memainkan mereka. Disaat tekad mereka sudah kuat. Tekad untuk tetap bersama, tekad untuk takkan mengucapkan kata 'selamat tinggal'. Tapi takdir memainkannya, takdir berkata lain.
End
_____Thanks for reading, Piggy.
Next, last chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
[ I ] Syndrom Kids
RandomTakdir yang menyatukan. Takdir yang memisahkan. Mereka bersembilan hanya manusia biasa yang mempunyai tekad untuk selalu bersama, tekad untuk bahagia bersama, tekad untuk berjuang bersama, tekad untuk takkan berpisah. Namun, kejamnya takdir memainka...