Tentang Percaya

11 2 0
                                    

Selamat membaca bab baru Memoria....









***

Ada kalanya saat kita memiliki teman, teman itu tak perlu tahu segalanya tentang kita. Walau seberapa dekatnya dia dengan kita, kita tak ada kewajiban menceritakan segalanya. Tanpa terkecuali untuk teman hati.

Saat kita sudah benar-benar menaruh rasa percaya pada seseorang, bukan berarti semua tentang kita harus kita ceritakan pada orang itu. Jangan pernah menceritakan seberapa dalam luka kita pada mereka. Karena pada dasarnya, orang yang kita percaya pun semu. Sewaktu-waktu, mana ada yang tahu jika orang yang sudah kita percayai memilih pergi? Di saat kita sudah menceritakan segalanya? Yang ada, kita malah dibuat lebih sakit karena kepergian orang itu yang sudah membawa luka kita. Dan orang itu sendiri, kini malah menambah luka.

Seberapa dekat pun gue dengan Bani, gue tak pernah menceritakan segala kehidupan pribadi padanya. Gue seperti ini bukan berarti tak percaya Bani. Ini semua hanya karena gue takut, takut sewaktu-waktu justru Bani, orang yang gue percayai memilih pergi dan malah memberi luka.

Mungkin gue memang akan terluka jika Bani pergi. Tapi gue akan jauh lebih terluka ketika sudah menceritakan segala perih yang gue miliki, tapi setelah itu Bani pergi dengan membawa luka itu. Gue tak mau jika nanti di masa depan bertemu Bani lagi, Bani melihat gue dengan pandangan prihatin, bahkan mungkin kasihan. Dan gue tak mau itu semua terjadi.

Bani pernah bercerita kalau Kia korban dari keluarga yang Broken Home. Orang tuanya bercerai sewaktu Kia masuk SMA. Mereka memang sering bertemu untuk sekadar menyenangkan hati Kia lewat acara makan-makan atau semacamnya, tapi mereka juga lebih sering bertengkar di hadapan Kia. Dan itu salah satu alasan yang membuat Bani sangat menjaga Kia, karena Kia sering mendapat luka dari kedua orang tuanya.

Tapi Bani pun tak pernah tahu, jika gue sama dengan Kia. Korban dari rasa egoisnya orang tua. Orang tua gue memang tak pernah bercerai, tapi mereka selalu bertengkar hebat di hadapan gue dan Justin. Bahkan kadang tak segan-segan melakukan KDRT. Tapi gue tak pernah menceritakan itu semua pada Bani, bahkan pada orang lain. Kenapa? Karena gue tak pernah mau ada orang lain yang tahu luka gue.

Makanya gue selalu berpikir, hanya Justin yang gue miliki satu-satunya di keluarga ini. Karena gue benar-benar sudah tak peduli pada keluarga yang lain, pada orang tua gue.

🍁🍁🍁

Suasana di kelas sudah sepi, karena kelas sudah berakhir sekitar satu jam lalu. Dan di sini hanya ada gue, Sebastian dan Mahesa. Jangan heran kenapa gue selalu bersama mereka, karena gue memang tak pernah berteman sebegitu dekatnya dengan orang lain selain dengan dua makhluk ini. Gue sendiri juga heran, kenapa gue bisa betah berteman dengan mereka.

"Anjir, Pal. Bagus nih bagus kalo di foto dari arah sini. Pantulan cahaya mataharinya itu loooh... terang-terang gimanaaaaa gitu."

"Yaudah, coba lo fotoin gue."

"Dih! Lo yang foto mah mana keliatan cahayanya. Ketutupan badan gajah lo, noh!"

"Kumat lo kayak si Sai! Badan gue gak gendut kali."

Sebastian tertawa. "Canda kali. Sensian lo kayak si Sai. Pms lo, ya?"

"Udah cepetan, mau fotoin gue gak sih!"

"Iya iya, elaaahh. Berdiri di sini."

Gue mendesis melihat kelakuan mereka. Ini apaan coba malah sibuk foto daripada pulang? Padahal di kampus sudah sepi.

"Sai, sini deh foto dulu. Cakep nih foto di sini," ajak Sebastian.

Gue cuma memutar bola mata malas melihat tingkah mereka.

MemoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang