"Kamu mikirin apa sih, hmm? Sampe tes interview bisa gagal?!"
Mata cewek di hadapanya menjuling bengis, disertai degusan sebal. "Mikirin kamu!! Terus dengan tega, kamu nggak ada rasa peduli sedikit... aja sama aku?"
Cowok yang sedang berdiri di hadapannya mulai sadar akan kesalahannya yang tak disengaja ia perbuat. Atau bahkan tak ia sadari. Ia mendudukan badannya di kursi sebelah cewek manis itu. "Mikirin aku? Aku nggak kenapa-napa, jadi kamu nggak perlu mikirin aku. Kalau kamu nggak mikirin hal aneh-aneh, hasilnya nggak akan kayak gini, kan? Kamu nggak fokus."
Gadis itu memutar bola matanya jengah. Kapan sih cowok ini sadar, batinnya. "Aziz, kamu tahu kan kalau aku nggak bisa buat nggak mikirin kamu. Aku udah terbiasa buat selalu peduliin kamu,"
"Tapi aku nggak suka, Ken. Plis, apa sih yang kamu harapin dari aku? Aku nggak ada apa-apanya."
"Justru karena kamu nggak ada apa-apanya, makanya aku peduli sama kamu. Aku nggak bisa buat nggak peduliin kamu, saat kamu keteteran ngerjain tugas kuliah gara-gara kamu nggak punya buku. Saat kamu selalu berangkat telat, karena nggak ada yang ngingetin kamu. Kamu tahu nggak sih, Ziz, kalau aku itu sayang sama kamu!"
"Ken....." Aziz terbelalak kaget. Bagaimana bisa cewek ini berujar semudah itu? Sedangkan dirinya sendiri selalu maju-mundur untuk jujur. Ah, dia tahu karena apa.
Melihat reaksi pemuda yang dihadapannya itu hanya mampu memanggil namanya saja, lalu mengantupkan kembali mulutnya. Egonya mulai tersulut. Ia sudah tak bisa lagi menahan semuanya.
"Apa?? Kamu mau bilang kalau ini adalah sebuah kesia-siaan karena menyukai kamu? Sebuah kebodohan karena aku mikirin orang yang nggak punya rasa perhatian dan nggak peka kayak kamu? Hm, iya?"Niken menghela nafasnya lelah. Ia benar-benar lelah. Sebelum berkata lagi, cewek itu menyelipkan poni panjangnya terlebih dulu. Serta mengatur nafasnya.
"Aku udah ngerti, Ziz. Bahkan saat dari di awal aku mulai peduli sama kamu. Kamu itu awan yang nggak bisa diraih. Yang nggak bisa digenggam. Kamu egois.""Niken cukup!" Ada nada tegas di sana, dan itu cukup bagi Niken untuk tahu apa maksud dari kata cukup tersebut.
Dengan segala rasa dan airmatanya, gadis itu pun memilih melangkah pergi. Meninggalkan muara kasih sayangnya yang ia pendam selama.
Mungkin memang benar, jika ia hanyalah intermezo dalam hidunya. Bukan sejatinya kasih yang ia tunggu.Aziz hanya mampu memeras rambutnya kesal ketika melihat punggung gadis yang diam-diam ia impikan mulai menjauh.
Andai kamu halal buatku, Ken, aku sungguh akan meluk kamu seerat-eratnya. Membisikan kalimat yang tak bisa kuungkap. Maaf atas kepengecutanku.
...
..
.Sudah banyak bukti yang memenangkan suatu pepatah lama 'Saat kita telah kehilangan suatu hal di saat itulah kita baru menyadari kita pernah memiliki suatu hal yang sangat penting.'
"Ngapain kamu ke sini?" Niken melirikkan matanya sebentar ke arah cowok yang tiba-tiba duduk di hadapannya. Sebenarnya ia sudah menyadari akan kehadiran cowok itu sedari awal. Hanya saja ia berpura untuk acuh. Ia sudah memantapkan hati untuk tidak lagi menaruh rasa peduli dengan apapun mengenai Aziz, dan ia tidak mau tergoyah.
Aziz tersenyum senang karena Niken masih mau menyapanya, artinya dia masih bisa termaafkan.
"Nyariin kamu," jawabnya kalem. Ia tak keberatan jika Niken berkata ketus kepadanya, asal tak mengacuhkannya."Ngapain nyariin aku?"
"Aku kangen sama kamu,"
Untuk sesaat jawaban dari Aziz sempat membuatnya berhenti bergerak. Berhenti nafas bahkan berhenti berdetak. Lalu dengan cepat ia kuasai lagi keadaan.
Ini hanya intermezo, tekannya. "Cieee sekarang ada yang udah bisa ngegombal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Word
Short StorySetiap tubuh yang berjiwa pasti di dalamnya tertanam rasa. Apapun itu. Bahkan janin yang baru berusia mingguan pun mempunyai sebuah rasa. Rasa memahami tiap apa yang ia dengar. Lalu bagaimanakah dengan jiwa yang telah terenggut? Jasad yang telah t...