Tahun 1200.
1000 tahun berlalu. Dominasi sihir di dunia telah lenyap. Para penyihir yang dulunya diagung-agungkan dan disegani, kini kehilangan magisnya karena mana telah sirna dari Bumi tanpa sebab. Hal tersebut membuat kekacauan massal di penjuru dunia. Raja-raja tidak lagi dihormati oleh rakyatnya karena dianggap manusia biasa seperti mereka dan tidak lagi diberkati oleh dewa. Para penyihir tidak dapat merapalkan mantra, beberapa dari mereka dibunuh akibat kemarahan masyarakat. Dan semua penemuan yang memanfaatkan kekuatan mana berakhir menjadi tumpukan sampah dan dibuang begitu saja.
Perlahan, api peperangan tersulut di berbagai penjuru dunia. Orang-orang saling menaruh curiga satu sama lain. Terbentuk aliansi di setiap daerah dan terjadi peperangan di mana-mana, baik untuk memperebutkan daerah kekuasaan atau hanya untuk mengetahui siapa di antara mereka yang lebih kuat. Di zaman ini, kekuatan adalah segalanya. Mereka yang lemah akan disingkirkan atau dipaksa bergabung dengan aliansi yang lebih kuat.
* * *
“PENCURI!!!!” teriak Bernman, pria gendut penjual buah persik. “Siapa pun, hentikan bocah bajingan itu!!!” sambungnya. Dia berusaha mengejarnya namun sia-sia karena pencuri itu sudah hilang ditelan kerumunan di pasar. Teriakannya hanya mendapatkan atensi orang-orang tapi tidak ada satu pun orang membantunya. “SIAL!!!!” Bernman sangat kesal, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan memutuskan untuk kembali.
Sementara itu, merasa sudah aman dari kejaran Bernman, si pencuri berhenti di bawah pohon akasia di tengah padang rumput yang hijau—letaknya tidak jauh dari pasar. “Hah, dasar pelit! Hanya karena ku curi satu buah, kau tidak akan rugi besar, gendut!” gerutunya. Dia menyeka persik di genggamannya dan memakannya dengan lahap. Setelah selesai dengan urusan perutnya, dia menguap dan merebahkan tubuh kemudian perlahan matanya mulai terasa berat dan ia pun tertidur.
Saat tertidur, telinganya samar mendengar seperti ada orang di sekitarnya. Suara tersebut semakin mendekat dan tidak asing di telinganya.
“Lihat? Dia ada di sini seperti dugaanku,” ujar seorang anak perempuan. Sepertinya dia sedang kesal. Tatapannya sinis saat melihat anak yang sedang tertidur santai di hadapannya.
“Iya,” sahut perempuan lain di dekatnya.
“Cepat bangunkan dia,” perintah perempuan pertama. Dia seperti ingin segera pergi dari tempat itu.
“Mau apa kalian?”
Sontak kedua perempuan tadi terkejut saat hendak membangunkannya namun dia tiba-tiba bangun. “Demi Dewa dan Dewi, Archie!!!” bentak salah satu dari mereka.
“Hahahaha,” balas Archie tertawa puas. Dia mengusap rambut putihnya yang kotor. “Ada urusan apa kalian kemari, Alice, Tatia?”
Alice, yang paling dekat dengannya menjawab, “Kau dicari Ibumu,” ujar gadis perawan berkacamata dan berambut pirang. “Lebih baik kau segera pulang.”
“Berapa kali harus kukatakan ...” kata Archie. Dia berdiri. “Wanita itu adalah adik kandung Ibuku, itu alasan kenapa wajah mereka mirip. Ibuku sudah lama mati,” sambungnya. Archie bergegas pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan terima kasih.
“Huh! Apa kubilang? Orang itu tidak tahu caranya berterima kasih,” seru Tatia kesal. Ia melipat kedua tangannya di dada, memasang wajah cemberut. Sementara Alice seperti sudah menebak bagaimana Archie akan menanggapinya, dia tidak kesal.
Archie menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya dibunuh oleh aliansi Derkens saat terjadi penjarahan di desa mereka—Troya. Perbedaan kekuataan yang telak membuat desa mereka dihancurkan. Setiap lelaki di desa tersebut dibunuh dan wanitanya—baik dewasa mau pun remaja—dibawa untuk dijadikan budak seks atau dijual. Hanya Archie yang selamat karena saat kejadian, ia sedang mencari kayu di hutan sebelah Barat desa.
Dia mengetahui kenyataan pahit bahwa desanya telah dihancurkan, ayahnya dibunuh dan ibunya diculik. Archie menderita kelaparan selama 3 hari. Kabar kehancuran desanya sampai ke telinga Freya, adik dari Elena Affordia—Ibu Archie. Setelah itu Archie dibawa dan dirawat Freya untuk tinggal di desanya, Ilinos, daerah kumuh di pinggiran distrik Thereos—salah satu dari empat distrik dengan aliansi paling kuat.
Awal kedatangannya ke desa disambut tatapan penuh kebencian masyarakat. Datang dengan kereta karavan—meminta bantuan Lupo sepupu Freya, mereka dihadang oleh beberapa orang di balai desa. “Ada apa ini?” tanya Lupo.
“Maaf, Lupo. Tapi anak itu tidak bisa tinggal di sini,” ucap salah seorang pria.
“Ya, itu benar. Kami tak mau dia di sini,” sahut pria lain yang kemudian menjadi unjuk rasa penolakan Archie di desa. Kegaduhan tersebut mengundang lebih banyak orang datang. Penolakan Archie di desa semakin besar. Sorakan untuk mengusir Archie terdengar dari segala penjuru. Lupo mencoba meredakan amarah warga, sedangkan Freya tetap di dalam karavan bersama Archie.
“Lupo ...” panggil pak tua Dalgo. “Kami tak mau desa ini terancam bahaya, kau tau itu.”
“Aku minta kalian untuk tenang dulu,” pinta Lupo pada semuanya. “Aku bisa menyembunyikannya saat Leonidas dan pasukannya datang.”
“Warga tak mau mengambil resiko, Lupo,” balas Dalgo.
“Kumohon. Anggap ini sebagai balas budi desa 5 tahun lalu.”
Warga bergeming. Keputusan mereka bulat tetap menolak Archie untuk tinggal di Ilinos. Saat Lupo diam tengah berpikir, Freya turun dari karavan bersama Archie yang masih berusia 4 tahun. Orang-orang langsung menatap tajam ke arah Archie yang ketakutan dalam pelukan Freya.
“Kenapa kalian keluar?!” tanya Lupo dengan nada keras. Dia agak marah. “Masuklah, aku bisa urus ini.”
Freya menggelengkan kepala sinyal menolak untuk kembali ke karavan. “Pak Dalgo dan saudara-saudariku sekalian ...” seru Freya dengan lantang. Atensi warga sedari tadi sudah tertuju padanya dan Archie. “Satu permohonanku pada kalian. Kumohon ... kumohon dengan sangat, agar kalian bersedia menerima anak ini, anak kakak kandungku.”
Warga masih bergeming. “Kemarin, desanya dihancurkan oleh aliansi lain. Ayahnya dibunuh dengan sadis, dan Ibunya sekaligus kakakku, diculik oleh mereka. Hanya dirinya yang tersisa di desa setelah kembali dari hutan untuk mencari kayu,” sambung Freya dengan suara bergetar. “Dia terlalu kecil untuk paham apa itu kematian dan kehancuran. Dia ... dia masih kecil. Jadi kumohon pada kalian untuk—“
Saat tangis Freya pecah, Lupo memeluknya dengan erat. “Sekali lagi, kumohon pada kalian.”
“Maaf, Lupo. Keputusan kami tidak bisa diganggu gugat, kami tidak peduli dengan perasaan kalian dan anak itu.”
“Jika perasaan kalian tidak bisa menerima anak ini, kali ini kumohon gunakan sifat kemanusiaan kalian,” kata Lupo dengan tegas. “Jika kalian yang ada di posisinya, dan semua orang menolak kalian di mana pun kalian berada ... bagaimana perasaan kalian?”
Para warga tertegun. Mereka saling menatap satu sama lain. Beberapa warga sorot matanya mulai berubah, sebagian dari mereka mulai berubah pikiran tapi masih ragu untuk mengutarakan karena takut akan dicaci oleh yang lain. “Baiklah. Dia boleh tinggal dengan pengawasan ketat.” Pak Dalgo pergi setelah berkata demikian.
Jawaban tersebut tentunya mendapat kecaman dari warga. “Hei, Dalgo! Kau bicara apa?” seru seorang warga yang marah.
“Sepertinya dia sudah pikun ... lagipula usianya sudah tua,” sahut warga lain yang juga tidak terima dengan keputusan Pak Dalgo.
Sementara itu, Lupo dan Freya sangat bersyukur mendengar jawaban tersebut. Pak tua Dalgo merupakan salah satu sesepuh desa, tidak heran mengapa orang-orang menghormatinya.
“Dalgo,” Matheus memanggil dari belakang—dia juga merupakan sesepuh desa. Dalgo berhenti. “Kau yakin?” sambungnya mempertanyakan keputusan Dalgo menerima Archie tinggal di Ilinos.
“Usiaku paling tua di desa ini. Aku telah mengalami dan belajar banyak pengalaman berharga. Karena itulah, aku tau perbedaan antara manusia dan hewan. Ketika hewan sibuk berkelahi dan melukai satu sama lain untuk menjaga teritorial mereka, manusia akan berpikir rasional untuk saling menerima, bukan justru berperilaku seperti hewan.” Dalgo melangkah pergi dari balai desa. Matheus membeku mendengar jawaban tersebut.
* * *
6 tahun kemudian.
“Ada apa, Freya?” tanya Archie.
“Tolong kembalikan barang ini ke balai desa. Katakan pada Pedro aku minta maaf tak bisa mengembalikannya sendiri.” Freya memberikan benda pinjamannya yang sudah terbalut kain.
“Di mana Carlos?” tanya Archie. Carlos adalah anak Freya, usianya 3 tahun lebih muda dari Archie.
“Dia ada di dalam. Aku sudah memintanya untuk mengantarkan barang tapi dia tidak mau,” balas Freya. “Jadi aku minta tolong padamu kembalikan ini ke gudang, ya.”
“Ya, tentu!” Archie bergegas lari untuk mempersingkat waktu.
“Sudah mendapatkan cukup mana untuk menjadi penguasa dunia, Archie?”
Sebuah suara membuat langkah kakinya terhenti saat baru sampai di depan rumah. Suara familiar tersebut berasal dari lantai 2 rumah—kamar Carlos.
“Belum. Tapi aku tak akan menyerah!” Archie bergegas menuju balai desa.
Carlos mengerutkan dahi—kesal. Dia membenci Archie semenjak Lupo menceritakan kisah heroik ayahnya dan mulai terobsesi menjadi pemimpin dunia layaknya kisah 1000 tahun silam tentang seorang ksatria sekaligus pengendali sihir terkuat yang berhasil menaklukkan dan memimpin seluruh dunia serta membawa kedamaian untuk seluruh orang di masa itu.
Archie sampai di gudang balai desa. “Hai, Pedro. Freya bilang ingin mengembalikan ini.” Archie meletakkan barang di meja.
“Archie, ya? Letakkan saja barangnya di situ,” kata Pedro yang sibuk menata barang di salah satu sudut gudang. “Jangan lupa tulis barang apa yang kau kembalikan di buku.”
“Oke, sudah. Kalau begitu aku pergi dulu, ya?”
Pedro yang membelakangi Archie hanya mengacungkan jempolnya ke udara.
* * *
Archie berjalan-jalan di hutan—letaknya cukup jauh dari Ilinos. Dia sering pergi ke hutan sejak pertama kali tinggal bersama Freya, saat warga desa masih menaruh rasa curiga padanya. Jauh di dalam hutan, terdapat air terjun favorit Archie untuk melatih fisiknya.
Kondisi Archie sempat memburuk. Bertahan hidup selama 3 hari ketika desanya dihancurkan membuat tubuhnya kurus kering. Freya tidak kuasa menahan tangis melihat kondisinya kala itu. Namun sekarang sudah berbeda, Archie Affordia tumbuh dengan baik. Wajahnya menawan dengan kolaborasi rambut putih perak mengkilau dan warna biru laut pada matanya yang mampu mengelabuhi siapa pun, mengira bahwa Archie adalah tipe orang bersikap dingin—padahal tidak. Meskipun mempunyai tatapan dingin, Archie sebenarnya merupakan sosok orang dengan jiwa kepemimpinan yang tinggi dan juga tegas.
Tubuh proporsionalnya tentu tidak ia dapatkan dengan instan—apalagi setelah mendengar kisah heroik ayah Lupo, Archie berlatih rutin hampir setiap hari. Dia akan berlari dari rumah menuju hutan, melewati pasar di mana terkadang dia akan mencuri buah-buahan untuk bekal. Archie sangat menyukai buah persik, itulah mengapa ia sering mencuri dagangan Bernman. Setelah sekitar 45 menit berlari, Archie sampai di tepian hutan. Dia kembali berlari menuju air terjun, kali ini dengan rintangan bebatuan dan pohon untuk melatih kelincahannya. Sesampainya di air terjun, dia akan bertapa di bawah guyuran air terjun yang deras, kemudian dilanjutkannya dengan menahan nafas di dalam air selama mungkin.
Archie tidak menyadari bahwa belakangan ini ada seorang anak perempuan misterius yang mengawasinya saat berlatih. Archie seringkali menjumpai jejak kaki anak kecil di sekitar air terjun. Pasti ada orang lain di sekitar sini, pikirnya. Archie memutuskan untuk menelusuri jejak tersebut. Akan tetapi pencariannya selalu berakhir nihil karena dia tidak mendapat tanda-tanda keberadaan anak misterius itu.
Esok harinya seperti biasa Archie berlatih di air terjun. Dia sudah sampai di tepian hutan untuk beristirahat sejenak melepas penat. Terdengar suara yang cukup keras dari pedalaman hutan, membuat atensi Archie mencari sumber suara tersebut. Dia berlari ke arah sumber suara tadi berasal.
Betapa terkejutnya Archie melihat seekor beruang cokelat yang tengah mengamuk dan mencoba meruntuhkan sebuah pohon besar. Dia penasaran mengapa beruang tersebut marah pada sebuah pohon, Archie mendekat perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara. Dia bersembunyi di semak-semak dan mengamati pohon besar tersebut. Archie tersentak ketika menyadari seorang anak perempuan berada di atas pohon. Bagaimana dia bisa naik ke sana? batinnya. Jiwa kepahlawanan Archie muncul, dia berinisiatif untuk menolong gadis kecil tersebut dan mengambil batu yang ukurannya sebesar genggaman tangan. Archie melemparkan batu tersebut ke punggung beruang dan berlari. Beruang yang naik pitam langsung mengejar Archie dan meninggalkan anak perempuan tadi.
Archie berencana memancing beruang itu ke tebing dan menjatuhkannya. Dia sadar akan resiko jika rencananya gagal, yakni mati jatuh bersama beruang itu ke sungai di dasar tebing. Archie sudah berdiri di ujung tebing, mengumpulkan keberaniannya dan berteriak untuk memancing beruang agar berlari ke arahnya.
“DI SINI, BERUANG BODOH!!!” teriaknya seraya menepuk-nepuk tangan sekeras mungkin untuk menarik perhatiannya. Beruang itu semakin mendekat, kerikil di sekitar Archie bergetar bersama dengan tanah yang dipijaknya seiring beruang yang kian dekat. Sang beruang melompat, menunjukkan cakarnya yang tajam. Dan pada detik-detik menegangkan tersebut, Archie berguling ke depan untuk menghindari terkaman beruang.
Seperti skenario yang telah diprediksi, beruang tersebut akhirnya jatuh ke sungai bersama puing bebatuan yang dipijaknya. Archie berdiri membersihkan debu yang menempel di bajunya. “Itu ... adalah salah satu dari sekian kisah kepahlawananku di masa mendatang,” ujarnya bangga melirik ke dasar tebing.
Archie segera kembali ke pohon di mana anak kecil tadi bersembunyi. “Hei, Nak. Sekarang sudah aman, keluarlah,” pintanya.
Gadis kecil manis itu melirik ke bawah, memastikan keadaan benar-benar aman. Tidak ada sepatah kata pun terucap di bibirnya yang membuat Archie bingung harus mengatakan apa. “Lompatlah. Aku akan menangkapmu,” kata Archie meyakinkan anak itu untuk turun. Dan tidak seperti anak kecil pada umumnya—yang mungkin akan ketakutan dan menangis, dia langsung melompat tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan di matanya. “Wow, kau anak yang pemberani. Siapa namamu?”
“Ketemu.”
Archie tidak mengerti maksud ucapan gadis itu. “Apa maksudmu?” tanya Archie, akan tetapi tidak mendapat respon apapun dari anak tersebut. “Siapa namamu? Dari mana asalmu?” tanya Archie diikuti pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak mendapatkan satu jawaban pun oleh gadis itu. Archie mulai pasrah. “Apa hanya kata ‘ketemu’ yang bisa kau ucapkan?”
Sedikit ada peningkatan, anak tersebut merespon pertanyaan Archie dengan senyum manis. “Kurasa itu jawaban untuk ‘iya’,” sahut Archie tersenyum kecil. “Sepertinya tak ada pilihan lain selain membawamu pulang bersamaku. Sangat berbahaya untuk anak kecil sepertimu berada di hutan sendirian.”
Mereka pun pulang ke rumah. Archie menggandeng tangan anak tersebut dan mereka berjalan beriringan. “Hei, mana alas kakimu?” tanya Archie saat menyadari anak tersebut tidak mengenakan alas kaki. Dia hanya balas menatap Archie dengan wajah polosnya. “Kakimu bisa terluka, ini ... pakailah punyaku.” Archie memberikan alas kakinya yang sekali lagi hanya dibalas tatapan polosnya. Archie mengenakan sandal ke kakinya. Gadis itu mengamati sandal tersebut kemudian melepaskannya. “Ada apa? Kau tak suka? Mungkin karena ukurannya terlalu besar ya?” Archie memikirkan alternatif lain, yakni dengan menggendongnya.
Di perjalanan, Archie bercerita banyak tentang dirinya—tentang masa lalu dan tekadnya untuk menciptakan kedamaian di dunia—untuk memecah keheningan di antara mereka. Tidak ada keraguan dalam setiap kalimat yang dilontarkan Archie mengenai ambisinya. Dia juga menjelaskan beberapa gagasan logis jika berhasil memimpin dunia, seperti sistem kepemerintahan yang akan diusungnya dan pembagian wilayah.
* * *
Mereka akhirnya sampai di pemukiman desa. Archie heran mengapa orang-orang memperhatikannya—tidak seperti biasanya. Warga desa telah menerima keberadaan Archie seiring waktu berjalan.
“Archie?” sapa Enneth, gadis rambut cokelat yang menyukainya. “Dari mana kau mendapatkan itu?” sambungnya sambil menunjuk ke arah punggung Archie.
“Mendapatkan? Oh, maksudmu gadis ini? Aku bertemu dengannya di hutan. Dia diserang oleh beruang dan aku menyelamatkannya,” balas Archie.
“Gadis apa? Yang kutanyakan adalah pedang berkarat di punggungmu itu.”
Archie mengangkat kedua alisnya—bingung. Dia baru menyadari kalau beban yang ia bawa lebih ringan dari sebelumnya. Tidak ada lagi hembusan nafas yang dia rasakannya di sekitar leher—gadis kecil itu tiba-tiba hilang. Archie mencoba meraih apa yang ada di punggungnya. “Se-sejak kapan aku membawa pedang ini? M-mana gadis itu?” Archie kebingungan.
Archie spontan menelusuri kembali jalan pulangnya untuk mencari gadis itu. Dia bahkan kembali ke pohon tempat mereka bertemu dan ke tebing di mana beruang itu jatuh, namun tidak ada jejak kaki di kedua tempat tersebut. Archie ingin berteriak memanggil nama gadis itu tapi dia tidak tahu nama anak itu. “Siapa namanya? Kurasa bertanya pun takkan mendapatkan jawaban.”
Saat Archie berada di ambang keputusasaan, cahaya terang tiba-tiba keluar dari punggungnya. Dia meraih pedang berkaratnya—sumber cahaya tersebut. Cahaya itu semakin menyilaukan, Archie pun melempar pedangnya ke semak-semak. Setelah cahaya itu meredup, Archie mendekat ke semak-semak.
Betapa terkejutnya ia saat si gadis kecil tiba-tiba muncul dari semak-semak. “Hei, di sana kau rupanya!” kata Archie. “Kau lihat pedangku di situ?”
Dia menggelengkan kepala dan keluar dari semak-semak. Tubuhnya menyusut dan berubah menjadi wujud pedang yang Archie buang tadi. Pedang itu terbang dan mendarat di genggaman Archie kemudian menarik paksa tubuhnya pergi entah ke mana.
“Hei, hei, kau mau membawaku ke mana?” tanya Archie. Dia tidak dapat melepaskan genggamannya. Semakin ia mencoba, genggamannya justru semakin kuat. “Jangan bercanda!!!” bentak Archie saat melihat ia dibawa ke tepian tebing. Ia meronta-ronta untuk melepaskan genggamannya, namun usahanya sia-sia.
“AAAA!!!!” Archie jatuh bersama pedangnya. “Hei, kau! Kau ingin membunuhku ya?”
Tubuhnya terjun bebas. Dia panik. Kemudian mencoba bersikap tenang dan melihat ke bawah. Terdapat sebuah pohon dengan batang yang besar. Bila ia berhasil membuat dirinya terbang ke pohon itu dan menancapkan pedangnya ke batang pohon, Archie akan selamat meski kemungkinan besarnya dia akan mengalami cedera.
JREKKK!!!—suara pedang tertancap di pohon.
Archie berhasil menancapkan pedangnya ke pohon, tubuhnya menabrak pohon cukup keras. Dia hampir kehilangan keseimbangan dan melepaskan genggamannya. Archie menengok ke bawah untuk memastikan apakah ia bisa turun. Dia melepaskan pedangnya perlahan-lahan dan turun dengan hati-hati.
BRUK!!!
Archie melompat setelah merasa ketinggiannya aman untuk mendarat. Lompatannya terbilang tinggi sampai membuatnya harus berguling ke depan agar kakinya tidak cedera. Archie membersihkan debu dan ranting pohon yang menempel di pakaiannya. “Sial, sekarang bagaimana caraku pulang?” gerutunya.
Pedang yang menancap bereaksi dan melepaskan diri—terbang menjauh. Melihat pedang tersebut terbang, Archie mengikuti arahnya pergi—mengingat ia tidak tahu arah jalan pulang. Pedang itu masuk ke danau dan menghilang. Tiba-tiba sebuah guncangan dahsyat membuat air danau beriak diikuti suara mengerikan keluar dari dalam danau. “Suara apa itu?” kata Archie.
Sosok monster berukuran besar muncul ke permukaan dan meraung sangat keras hingga membuat air danau meluap dan telinga Archie kesakitan. Hewan raksasa itu kesakitan karena pedang Archie menusuk punggungnya. Monster bergigi tajam itu mencoba melepaskan pedangnya dengan menghantamkan punggungnya ke tepian danau berulang kali hingga membuat tanah di sekitar danau berguncang.
“Makhluk mengerikan apa itu?” ujar Archie, “Aku tak pernah melihat hewan seperti itu seumur hidupku.”
Pedang itu melepaskan diri dan terbang ke arah Archie. Monster itu marah saat melihat pedang yang melukai dirinya dalam genggaman Archie—ia menganggap bahwa Archie yang telah melukainya—kemudian berenang dengan cepat ke arahnya. Archie yang mengetahui hal tersebut berusaha lari namun pedangnya melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. “HEI, YANG BENAR SAJA?!”
“Ahh, kali ini aku akan mati.” Archie pasrah dengan situasinya. Dia hanya melihat ke arah monster dihadapannya yang semakin dekat. Tapi entah pikiran apa yang tiba-tiba merasukinya, Archie menarik ucapannya dan menggenggam pedangnya kuat-kuat. Tidak! Mati bukan pilihan, aku akan membunuh monster ini bagaimana pun caranya untuk tetap hidup, pikirnya membulatkan tekad. Pedangnya mengeluarkan kekuatan misterius yang menyelimuti seluruh pedang. Archie merasakan aura mengerikan dari dalam pedang, dia melihat sepasang mata merah menyala saat berkedip.
Tapi sekarang bukan saat yang tepat. Archie tidak memperdulikan sosok mata merah misterius itu, karena di hadapannya ada sosok monster yang hendak menerkamnya hidup-hidup. “Aku tidak tau kekuatan apa ini, tapi kuharap bisa membunuh makhluk itu,” kata Archie menatap ke arah monster itu. Makhluk itu melompat dari danau untuk menerkam Archie. Dia mengangkat pedang dan mengayunkannya.
SLASH!!!
CRACK!!!!
Kekuatan misterius pedangnya berhasil membelah kepala hewan raksasa itu hingga hampir terlepas dari tubuhnya. Darah bercucuran membanjiri semua tempat hingga membuat air tepian danau berubah warna merah darah. Pedangnya kembali bercahaya dan berubah kembali ke wujud gadis kecil manis berambut pirang bermata biru.
“Kau berhasil,” kata gadis kecil itu. Archie terkejut mendengar akhirnya ia mau berbicara. “Makhluk mengerikan ini adalah Mosasaurus, hewan purba yang dipanggil dan mendiami danau ini.”
“Tunggu, apa maksudmu dipanggil?” Archie menatap makhluk yang baru saja ia tebas.
“Seluruh mana sudah di makan oleh para Iblis yang telah bebas, tapi masih ada orang-orang yang mampu menggunakan mana dan merapalkan mantra. Mereka adalah orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Iblis.”
“Tunggu, tunggu, tunggu!” Archie memotong kalimat. Banyak hal yang baru ia ketahui tentang alasan mana hilang tanpa sebab dari dunia. “Kau bilang Iblis? Dan mereka memakan seluruh mana yang ada di dunia ini?”
Gadis manis bergaun putih itu balas mengangguk. “Iblis apa?” tanya Archie melanjutkan.
“Iblis-iblis yang keluar telah bertransformasi ke wujud manusia,” kata gadis kecil tersebut. “Aku salah satunya,” sambungnya.
Kalimat terakhir gadis manis itu membuat Archie tersentak dan terdiam sesaat. Dia tidak mempercayai gadis manis itu. “Mana mungkin seorang Iblis mempunyai fisik gadis manis sepertimu? Gurauanmu sungguh lucu, Nak.”
Mendengar ucapan Archie, mata gadis tersebut berubah menjadi merah menyala—Archie merasa tidak asing dengan mata tersebut. Tubuhnya mengeluarkan api yang langsung menyelimuti seluruh tubuh gadis itu. Wujudnya berubah menjadi sosok gadis remaja berparas cantik dengan rambut panjang terurai paduan warna kuning dan merah. Ia memiliki tanduk utama berwarna hitam dan besar, serta beberapa tanduk kecil di sekitarnya. Gadis itu memiliki sayap api yang dapat ia gunakan untuk terbang, dan setiap kepakan sayapnya mampu membuat apa pun yang ada di sekitarnya terbakar—jika ia menginginkannya.
“Aku adalah Abaddon, Iblis terkuat kedua setelah Lucifer,” kata gadis itu memperkenalkan diri. Ia memiliki suara manis. Abaddon membawa sebuah pedang berkarat di tangan kanannya, itu adalah pedang yang sama yang digunakan Archie sebelumnya. Sementara tangan kirinya terdapat sebuah sarung tangan besi yang juga berkarat—terlihat seperti sebuah perisai bagi Archie.
“Ini wujud Iblis sebenarnya?” tanya Archie heran dengan wujudnya yang tidak sesuai ekspektasi—tinggi, besar, wajah jelek dan mengerikan. “Kau masih berwujud manusia, maksudku manusia hybrid.”
“Untuk suatu alasan, aku tak bisa berubah ke wujud asliku,” jelas Abaddon.
“Kenapa?” tanya Archie lagi.
“Kau banyak bertanya, manusia,” balasnya agak kesal. Ia merentangkan jari dan mengarahkannya ke arah jasad Mosasaurus kemudian membakarnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Archie untuk kesekian kalinya. Gadis itu hanya melirik sinis ke arahnya. “Baiklah, baiklah. Maaf banyak bertanya,” ujarnya seraya mengangkat tangan.
Gadis itu menghela nafas lalu menjawab, “Aku menghilangkan jejaknya. Makhluk ini tak seharusnya ada di zaman kalian.”
Archie tidak terlalu mengerti tapi ia acuh saja dengan hal tersebut. Archie bertanya, “Kau tadi bilang kalau makhluk ini dipanggil, bukan? Apa maksudnya?”
“Mungkin sebelum aku mengetahui keberadaan makhluk ini, Asmodeus atau Leviathan pernah kemari dan memanggilnya untuk suatu alasan. Tapi setelah mendapatkan apa yang mereka cari, mereka tidak mengembalikan makhluk ini ke tempatnya semula,” jelas Abaddon.
“Mereka berdua temanmu?”
“Iblis tak berteman satu dengan yang lain. Kami hanya saling mengenal dan akan saling bertarung jika bertemu,” sahut Abaddon.
“Lalu bagaimana kau bisa tau jika nanti bertemu dengan salah satu dari mereka?” tanya Archie.
“Iblis dapat merasakan mana yang ada, dan yang memiliki mana adalah kami dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan kami,” balas Abaddon, “Termasuk dirimu.”
“Aku?” Archie menunjuk dirinya sendiri memastikan ucapan gadis Iblis yang sedang berbicara dengannya. Ia menatap kedua telapak tangannya. “Berarti aku bisa merapalkan mantra?” tanya Archie bersemangat.
“Untuk saat ini kau tak bisa melakukannya. Perlu latihan untuk mengendalikan mana dalam tubuhmu.”
“Kalau begitu, ayo kita latihan?” pinta Archie penuh semangat.
“Kita? Apa maksudmu? Aku adalah Iblis Abaddon, sang penghancur. Jika aku mau, aku bisa membunuh dan memakan mana-mu. Aku tak peduli apa pun tentangmu,” sahutnya.
“Kalau kau tak peduli denganku, kenapa kau tak membunuhku saja setelah aku menolongmu dari serangan beruang itu?” tanya Archie dengan nada agak tinggi dan melanjutkan, “Kau Iblis ‘kan, kenapa takut dengan seekor beruang?”
“Aku sengaja melakukannya agar kau menolongku, maksudku Iustella,” balasnya.
“Jadi itu namamu? Iustella?”
“Itu nama anak kecil ini.”
Archie bungkam sesaat, lalu kembali bertanya, “Kenapa kau ada dalam tubuh anak itu?”
“Aku menemukan jasadnya di hutan dalam pelukan wanita tua, kurasa dia ibunya. Beruang yang kau bunuh telah menyerang mereka sebelumnya. Anak ini tewas karena kelaparan sedangkan ibunya mengalami hal yang sama akibat luka parah di punggung.”
Mendengar penuturannya, Archie menunduk. Ia sedikit terkejut mengetahui fakta yang lebih pahit dari masa lalunya sendiri.
“Aku melihat semua kejadian itu dari ingatan anak ini. Ia menangis selama 5 hari tanpa ada pertolongan sampai akhirnya mati kelaparan,” sambung Abaddon, “Kau bisa memanggilku Iustella, agar tidak ada orang curiga dengan nama Abaddon.”
Archie mengangguk tanda setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
RE : IUSTELLA
FantasySeribu tahun setelah seluruh benua berada di bawah bendera yang sama, sihir kembali lenyap dari udara. Semua orang spiritual kehilangan kekuatan mereka, menyebabkan kekacauan di setiap tatanan masyarakat yang ada. Para raja tak lagi diberkahi para D...