“Kenapa kau tak menggunakan tubuh Ibu gadis ini?” tanya Archie. Mereka pergi dari danau, berjalan menuju Selatan untuk mencari rute kembali ke atas.
“Aku tak mau menggunakan jasad orang yang terluka atau cacat. Itu bisa mengakibatkan perubahan fisik tubuhku menjadi permanen seperti luka atau cacat pada tubuh yang ku gunakan,” balas Iustella—panggil saja Abaddon dengan sebutan itu.
“Begitu, ya.”
“Ngomong-ngomong kita sedang mencari apa?” tanya Iustella yang tidak tahu apa tujuan mereka.
“Jalan pulang, memangnya apa lagi?” balas Archie kesal karena mereka belum menemukan jalur untuk dapat naik ke atas.
Iustella menghentikan langkah. “Kenapa kau tak bilang dari awal?”
“Kau sendiri tak mau bertanya,” balas Archie. Iustella memutar bola matanya—kesal, kemudian mengeluarkan pedangnya lalu menggenggam tangan Archie dan terbang ke atas. Akhirnya mereka sampai ke atas dengan mudah.
“Kenapa kau tak melakukannya sejak tadi?” tanya Archie kesal.
“Kau tak mengatakan apa pun ke mana tujuan kita tadi,” sahut Iustella acuh. Dia kemudian merubah wujudnya kembali ke sosok anak kecil. “Akan memakan lebih banyak mana jika aku terus mempertahankan wujudku tadi.”
“Lalu bagaimana jika kau kehabisan mana?”
“Itu takkan terjadi. Ada satu mantra terlarang yang hanya dapat dirapalkan oleh Iblis, membuat mana yang kupunya tak akan habis karena mantra itu meregenerasi mana yang telah kugunakan.”
“Wow, itu keren. Artinya kalian tak akan bisa kalah, ya?” Iustella tidak menjawabnya.
Hari sudah gelap dan mereka bergegas pulang. “Kuberitahu satu hal, bahwa pedang ini akan berubah jika orang yang memiliki pedang ini layak,” kata Iustella.
“Apa maksudmu?” sahut Archie penasaran.
“Pedang ini telah dikutuk. Hanya mereka yang layak yang dapat mengangkat dan menggunakannya,” jelasnya.
“Lalu kenapa kau bisa menggunakan pedang itu?”
“Aku merapalkan mantra,” terangnya. “Jika bukan karena kutukan dan mantra, aku bahkan takkan bisa menyentuh pedang ini.”
“Apa keistimewaan pedang itu sampai ada yang mengutuknya?” tanya Archie penasaran.
“Ceritanya panjang. Sekitar 1000 tahun yang lalu lahir—“
“Tunggu!” Archie memotong kalimat. “Naiklah, akan kugendong,” katanya seraya menawarkan punggungnya.
Iustella membalas, “Mengapa aku harus melakukannya?”
“Karena kau berada dalam tubuh seorang gadis kecil bandel yang tak mau memakai alas kaki, dan sebagai orang yang lebih tua aku harus memperlakukanmu layaknya seorang adik!”
“Aku tak peduli itu,” sahutnya.
“Aku juga, tapi cepatlah ... hari sudah gelap.” Iustella pun digendong Archie layaknya seorang kakak beradik yang akur. “Lanjutkan lagi ceritamu tadi,” pinta Archie.
* * *
980 tahun yang lalu.
Arcadia D’Apholeon, seorang bangsawan dan satu-satunya witch-swordman atau ahli sihir sekaligus pedang yang berhasil menguasai dunia dan membawa kedamaian untuk semua orang.
Keberhasilannya tersebut tidak diraihnya dengan mudah, karena pada masa itu dunia mengalami bencana yang disebabkan oleh para Iblis. Dunia ini sejatinya dikuasai oleh Iblis. Mereka disembah bagaikan Dewa oleh masyarakat agar selalu memberi ketentraman dan keberkahan hidup. Arcadia punya gagasan bahwa Iblis tidak seharusnya disembah karena sudah ada Dewa yang memberikan mereka kehidupan dan segala apa pun yang mereka butuhkan. Dia menentang para Iblis dan enggan untuk menyembah mereka hingga kabar tersebut sampai ke telinga Lucifer, raja dari segala raja Iblis.
Untuk pertama kalinya, ada manusia yang masuk ke dalam neraka tempat para Iblis bersemayam. Arcadia dipanggil Lucifer untuk dimintai penjelasan mengapa ia enggan menyembah para Iblis. Kedatangan Arcadia ke neraka tentu membuat para Iblis bergejolak saling berebut ingin membunuhnya, namun mereka dilarang oleh Lucifer.
Arcadia menghadap Lucifer dengan wujud asli Lucifer yang mengerikan bersama para Iblis lain berada di sekitarnya, seperti Asmodeus dengan ribuan anjingnya, Abaddon yang nampak tenang namun tidak melepaskan tatapannya dari Arcadia, dan Belphegor dengan cakarnya yang sepertinya siap menyerang Arcadia kapan pun jika diperintah.
Arcadia tidak gentar dengan situasi yang tidak menguntungkan tersebut, bahkan ... tidak nampak keraguan terukir di wajahnya saat menghadap sang raja Iblis.
“Arcadia D’Apholeon. Selamat datang.” Lucifer menyambutnya dengan baik.
“Sebuah kehormatan untuk bisa menghadap Raja Iblis,” balas Archie. Dia melihat sekilas para Iblis di sekitarnya. “Sepertinya aku tak perlu repot-repot memperkenalkan diri di sini,” sambungnya.
“Langsung saja ke inti pembicaraan sebelum mereka tak kuat menahan hasrat untuk menghabisimu. Mengapa kau menolak untuk menyembah kami?” tanya Lucifer.
“Oh, sebentar.“ Arcadia mengeluarkan pedang warna putih keemasan miliknya kemudian menancapkannya ke tanah di neraka. Sebuah cahaya terang menyilaukan keluar dan menyebar ke seluruh penjuru neraka, membuat para Iblis tidak dapat bergerak. “Hanya untuk antisipasi, karena aku tak mau terbunuh di tempat menyedihkan ini.”
Lucifer yang juga terkena mantra misterius tersebut. Dia lalu mengeluarkan api berwarna hitam yang membakar sekujur tubuh dan juga singgasananya. Api hitam itu ternyata mampu menghapus mantra apa pun. “Mengesankan,” ujarnya.
Lucifer berdiri meninggalkan takhtanya dan berjalan ke sana kemari berulang kali. “Sangat mengesankan,” katanya seraya bertepuk tangan dan beberapa kali mengangguk.
“Aku kemari bukan untuk bertarung dengan kalian.” Arcadia menjelaskan tujuannya bersedia hadir ke neraka. “Dunia akan lebih tentram apabila kalian tak keluar dan membuat kekacauan,” ujarnya kemudian dilanjutkan, “Aku telah menyegel kalian di sini agar tidak bisa keluar lagi.”
“Mohon bantuannya,” bisik Arcadia pada sesuatu. Arcadia mengeluarkan sebilah pedang lain yang ukurannya lebih kecil dari pinggangnya, pedang itu diselimuti angin yang sangat kencang.
SLING!!!
Arcadia mengayunkan pedangnya.
FUF!!!
KREK!!!
Tebasan Arcadia dari jarak jauh berhasil memotong tanduk sebelah kiri Lucifer. Dia memanfaatkan kekuatan roh angin untuk melakukan serangan tersebut. Lucifer memegang tanduk di kepalanya. “Kau tau apa yang sudah kau lakukan, manusia?” Lucifer nampak marah.
“Aku lebih tau apa yang akan terjadi jika aku tak melakukannya,” balasnya tegas. Dia mengangkat pedangnya dengan sebelah tangan dan mengarahkannya ke Lucifer—bermaksud menantangnya. “Kita selesaikan di sini, karena aku punya impian di atas sana yang menunggu untuk diwujudkan.”
“Hanya namamu yang akan kembali ke atas nanti,” sahut Lucifer.
* * *
“Pertarungan itu menguras banyak mana Arcadia hingga dia hampir tak bisa berdiri,” kata Iustella lalu melanjutkan, “Aku dan yang lainnya tidak bisa berbuat apa pun selain melihat pertarungan sengit mereka.”
“Apa dia mati?” tanya Archie.
“Jika bukan karena roh angin yang mengeluarkannya dari sana, mungkin saja dia sudah mati sebagai seorang pahlawan legendaris.”
Obrolan mereka berjalan alot, sementara itu Matahari sudah tidak menampakkan diri digantikan tugasnya oleh Bulan. Jalan ke rumah sebentar lagi sampai. “Singkat cerita, Arcadia berhasil memimpin dunia setelah para Iblis ditaklukkan. Sementara Lucifer menaruh dendam dengan Arcadia karena telah mengurungnya di dalam neraka. Dia mengutuk pedang Arcadia yang menyegel dirinya dan yang lain, dalam 1000 tahun ke depan mantra yang mengurung mereka akan lenyap dan Iblis akan kembali membuat kekacauan di dunia.”
“Dia hebat!” ujar Archie penuh semangat. “Suatu saat, aku akan menjadi sepertinya! Dan kau ... harus membantuku.”
“Jangan bercanda, aku punya urusan sendiri.”
“Oh, ya? Apa urusanmu?”
“Itu tidak penting. Lepaskan tanganmu, aku akan berubah bentuk.”
Mereka hampir sampai di desa, terlihat beberapa warga desa tengah bersiaga saat melihat ada orang misterius berjalan dalam kegelapan mendekati desa. Hal itu lumrah terjadi di setiap daerah terpencil, yakni patroli oleh beberapa orang untuk menjaga keamanan desa.
“Siapa di sana?” seru Karl, pria yang baru saja menjadi seorang ayah. Dia dan dua orang lainnya mendekati orang dalam kegelapan itu membawa obor. “Rupanya Archie, ya?” kata Karl setelah mengetahui siapa sosok tersebut.
“Maaf aku pulang selarut ini,” ujar Archie.
“Dari mana saja kau?”
“Aku tertidur di hutan setelah berlatih,” balasnya.
“Baiklah kalau begitu. Cepatlah kembali ke rumah, Freya mengkhawatirkanmu.”
* * *
4 tahun berlalu.
Usia Archie sudah matang dan siap untuk melakukan petualangan. Selama empat tahun ini Archie tetap rutin berlatih namun kali ini ia memfokuskan diri untuk berlatih menggunakan pedang dan merapalkan mantra. Ia sering berlatih mengayunkan pedang di belakang rumah setiap sore hari dan dibantu Lupo beberapa kali. Teknik pedang Archie berkembang dengan baik, dia dapat melakukan manuver-manuver dan beberapa gerakan lain dengan efisien. Namun Archie sampai saat ini masih belum dapat merapalkan mantra dan menggunakan mana.
Iustella mengatakan bahwa ada sesuatu dalam tubuh Archie yang membuatnya tidak bisa mengeluarkan mana. Dia juga mengatakan tentang sebuah tempat yang digunakan para Iblis untuk mendapatkan mana dalam jumlah luar biasa banyak. Tempat itu bernama Stagnum Mortis atau kolam kematian, dinamakan demikian karena air kolam di sana mendidih dan mengeluarkan uap panas yang mustahil bagi siapa pun untuk dapat mendekat. Dikatakan oleh Iustella terdapat sebuah pohon keabadian di tengah-tengah kolam yang konon ... barang siapa memakan buah pohon tersebut akan hidup abadi.
Dia juga bercerita bahwa pernah ada seseorang yang melakukan tindakan gila, yakni berani masuk ke Stagnum Mortis. Diceritakan bahwa orang tersebut hanyalah masyarakat biasa yang ingin membuktikan ketulusan cintanya pada seorang wanita dengan mencari keberadaan buah abadi. Dia melakukan tindakan nekatnya ini dengan perbekalan minim. Dan ketika sampai di pulau tempat Stagnum Mortis berada, tubuhnya kurus kering dan hampir mati. Beruntung di pantai pulau tersebut ada beberapa kelapa muda yang jatuh tertiup kencangnya angin, dan pria tersebut langsung membelahnya dan meminum air kelapa.
Pria tersebut kemudian melanjutkan pencariannya ke seluruh bagian pulau. Butuh waktu 40 hari bagi pria itu untuk menemukan Stagnum Mortis. Dikatakan bahwa Stagnum Mortis adalah tempat misterius yang tidak dapat dicari dengan kesungguhan tekad. Satu-satunya cara menemukan tempat tersebut adalah dengan menyerah setelah berusaha mencari keberadaan Stagnum Mortis itu, dan setelah menyerah ... pulau tersebut tiba-tiba dipenuhi kabut hasil uap air dari Stagnum Mortis, dan siapa pun yang tengah mencari tempat itu akan dengan sendirinya berada tepat di hadapan Stagnum Mortis.
Sang pria yang kegirangan telah berhasil menemukan tempat itu tanpa pikir panjang langsung menerjang dan mencari keberadaan pohon keabadian. Tapi baru seperempat perjalanan, tubuhnya mengalami reaksi panas yang luar biasa hebat. Darahnya mendidih hingga membuat kulit tubuhnya berwarna merah seperti telah mengelupas. Tidak disadari oleh pria tersebut bahwa uap panas Stagnum Mortis membuat tubuhnya menampung mana hingga diluar batas kemampuannya. Tubuhnya yang tidak mampu menahan mana dalam jumlah besar akhirnya mengalami reaksi. Dan pria itu tidak pernah kembali ke pelukan sang pujaan hati.
Tempat misterius itu adalah tujuan utama Archie saat ini. Tapi dia memutuskan untuk tidak langsung menuju Stagnum Mortis dan memilih untuk mengembara mengelilingi Asland terlebih dahulu. Rencana Archie untuk mengembara sebenarnya tidak mendapatkan izin Freya, namun Archie bersiteguh untuk tetap pergi demi mencapai impiannya. Akhirnya, dengan berat hati, Freya melepaskan Archie yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
* * *
Keesokan harinya.
Semua persiapannya selesai. Archie berpamitan ke Freya dan yang lain. Freya memberikan sebuah mantel rajutannya sendiri pada Archie. “Kenakan mantel ini jika kau kedinginan, ya?”
Archie langsung memakai mantel warna biru buatan Freya. “Akan kupakai ini setiap saat dan kemana pun aku pergi. Terima kasih,” ujarnya, dibalas senyuman Freya yang menitikkan air mata karena sulit melepas kepergian Archie.
“Pergilah ke Thereos,” kata Lupo memberi saran. “Banyak pengembara singgah di sana untuk mengisi perbekalan, tapi berhati-hatilah karena banyak penjual bertindak curang di sana. Belilah sesuatu yang bisa ditawar dan yang benar-benar kau butuhkan untuk perjalananmu.”
“Ya, terima kasih. Kalau begitu aku berangkat.”
Perjalanan mewujudkan impian Archie pun dimulai!
* * *
Setelah satu hari perjalanan dengan berjalan kaki, Archie sampai di distrik Thereos. Dia terpukau melihat tempat itu karena ini adalah kali pertama bagi Archie pergi ke luar desa dan mengunjungi salah satu distrik terbesar dengan populasi masyarakatnya yang banyak. Dia berjalan ke gerbang utama distrik dan masuk ke antrean panjang untuk diperiksa satu per satu barang bawaannya.
Archie diperbolehkan masuk ke dalam namun dilarang membawa pedangnya dan diminta untuk menitipkannya di tempat penitipan barang. Dia kemudian bergegas berbelanja kebutuhannya. Singkat cerita, ia selesai membeli semua kebutuhannya, termasuk peta dan beberapa bahan pokok dan hendak kembali ke tempat penitipan barang untuk mengambil pedangnya. Tempat itu rupanya lebih ramai dari sebelumnya, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba ramai.
“Hei, kawan. Ada apa di sana?” tanya Archie pada seseorang di dekatnya.
“Tuan Leonidas dan pasukannya kembali,” balasnya.
Atensi Archie tertuju pada teriakkan seseorang di ujung sana. Pria gemuk botak yang berdiri atas altar dan sedang berteriak menanyakan sesuatu yang suaranya tidak terlalu jelas karena jaraknya yang terlalu jauh dari Archie. Dia mencoba mendekat.
“Pedang berkarat ... siapa pemiliknya?” tanya pria berkepala plontos dengan tato ular di kepalanya tersebut. Archie spontan mengangkat tangannya. Beberapa orang langsung menatapnya. “Oh, kau rupanya. Kemarilah, Nak.”
Orang-orang di sekitarnya memberi jalan, Archie berjalan mendekati altar. “Jadi ... kau pemilik pedang itu ya, Nak?” Archie mengangguk. “Bisa tolong kau ambil pedangmu dan bawa kemari?” sambungnya.
“Untuk apa?” Archie mempertanyakan hal yang dirasanya tidak perlu ia lakukan.
Di dekatnya ada orang yang berbisik padanya. “Psstt! Jangan menentang ucapannya, beliau adalah Tuan Leonidas, komandan pasukan Thereos. Lakukan saja apa yang diperintahkan.”
Archie tidak memperdulikannya dan kembali bertanya, “Mengapa aku harus mengambil barang milikku dan membawanya kemari? Kenapa tak kau ambil sendiri jika membutuhkannya, Tuan?”
Respon Archie membuat orang-orang di sekitar altar diam dan memperhatikan percakapan mereka. “Apa aku mengenalmu, Nak? Sepertinya wajahmu tidak asing.”
“Aku dari desa Ilinos, namaku Archie Affordia,” balasnya memperkenalkan diri.
“Ahhh ... ya, ya, ya. Aku mengingatmu sekarang. Kau anak si perempuan penjahit itu, ‘kan?” Archie bergeming.
Leonidas tertawa sinis. “Jika ada yang bertanya baik-baik padamu ... JAWABLAH!!!” bentaknya di akhir kalimat yang membuat beberapa orang di sekitar altar terkejut.
“Aku takkan menjawab itu, tapi tadi Tuan memintaku mengambil pedang, ‘kan? Baiklah.” Archie pergi ke dalam dan mengambil pedangnya lalu ditancapkannya di tengah altar lalu berkata, “Kurasa Tuan menginginkan pedangku. Jadi saya menantang Tuan dan siapa pun yang ada di sini. Jika ada dari kalian yang dapat mencabut pedang ini dari altar, kalian boleh memilikinya.”
“Untuk apa kami harus melakukannya?” tanya seseorang di kerumunan.
“Percayalah padaku, Tuan-tuan. Pedang ini harganya sangat mahal karena ini adalah pedang legendaris milik seseorang,” ujar Archie mencoba menarik antusiasme orang-orang. Dia menatap ke arah Leonidas. “Tuan? Silahkan menjadi yang pertama,” sambungnya.
Leonidas berjalan ke tengah altar, menggenggam gagang pedang kuat-kuat sampai otot di kepalanya terlihat kemudian menariknya. Berulang kali dia berusaha sekuat tenaga menariknya namun hasilnya nihil, orang-orang tidak percaya dengan hal tersebut. Leonidas menatap tajam ke arah Archie yang tersenyum kecil ke arahnya kemudian kembali berusaha mencabut pedang yang ia inginkan itu.
Setelah berkali-kali mencoba, ia akhirnya menyerah setelah genggamannya terlepas karena telapak tangannya berkeringat, bahkan sekujur tubuhnya pun juga berkeringat. Lalu satu per satu pria maju mencoba untuk mencabut pedang milik Archie. Sudah bisa ditebak, tetap tidak ada yang dapat mencabut pedang itu dari altar.
“Tak ada lagi?” tanya Archie memastikan apakah masih ada orang yang ingin mencoba. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi yang maju ke depan, Archie berjalan ke tengah altar dan mencabut pedangnya dengan begitu mudah, membuat orang-orang merasa heran dan mulai berspekulasi.
“PENYIHIR!!!” teriak seseorang dalam kerumunan.
Tatapan orang-orang terhadap Archie berubah drastis, beberapa dari mereka mulai menyorakinya dan mengira bahwa ia adalah seorang penyihir yang selamat dari pembantaian.
“Tuan Leonidas, bunuh dia!” pinta seseorang yang kemudian mendapat suara yang sama dari yang lain. Memanfaatkan kesempatan tersebut, Leonidas menantang Archie untuk bertarung dan bertaruh. “Hei, Nak. Begini saja. Kita bertaruh, bagaimana?”
“Apa maksud Tuan?” tanya Archie memastikan.
“Kau ingin lekas pergi dari sini, ‘kan? Aku akan membantumu, tapi dengan satu syarat, Nak. Bertarunglah denganku.”
“Untuk apa aku harus bertarung dengan Tuan? Apa keuntungannya?”
“Ya, ya ... aku tau kau pasti akan bertanya seperti itu. Jika kau menang, akan kuberikan bekal tambahan untuk perjalananmu dan seekor kuda. Bagaimana?”
“Dan jika aku kalah, maka aku harus memberikan pedangku pada Tuan?”
“Pintar!”
“Baiklah. Aku setuju,” sahut Archie.
* * *
Mereka berada di luar distrik—di padang rumput yang luas—dan disaksikan oleh kerumunan orang yang ingin melihat duel tersebut. Leonidas berkata, “Peraturannya sangat mudah. Jatuhkan senjata lawanmu, maka kau akan menang.”
Archie mengeluarkan pedang dari selongsong di punggungnya. Leonidas juga mengeluarkan senjatanya, yakni sebuah gada dengan ujung berbentuk bulat besar dengan duri-duri tajamnya. Orang-orang bersorak untuk Leonidas. Mereka berpikir mana mungkin seorang anak remaja dapat mengalahkan komandan aliansi Thereos yang terkenal kuat. “Majulah, Nak.” Leonidas mempersilahkan Archie untuk menyerangnya duluan. Namun Archie tidak bergerak dari tempatnya berdiri lalu melakukan kuda-kuda. “Apa yang akan kau lakukan dari jarak sejauh itu?”
Archie tersenyum kecil. “Aku hanya perlu menjatuhkan senjata Tuan, ‘kan?” katanya. Dia mengayunkan pedangnya ke atas, mengambil ancang-ancang. “Tolong bantu aku, Iustella,” bisiknya kemudian langsung menebaskan pedangnya tepat ke arah Leonias yang jauh di depan.
Orang-orang menertawakan Archie dan menganggapnya aneh. Leonidas pun tidak mengerti apa yang baru saja dilakukan oleh Archie lalu berniat untuk menyerang Archie. Namun gada dalam genggamannya tiba-tiba terlepas. Kejadian itu mengejutkan semua orang yang menonton dan tentu saja Leonidas sendiri.
“Ah, sepertinya tangan Tuan masih berkeringat, ya? Ngomong-ngomong Tuan sudah menjatuhkan senjatanya, jadi saya pemenangnya.”
Leonidas menunduk terdiam beberapa saat. Dia kemudian mengepalkan kedua tangannya geram, meraih gada dan langsung menerjang Archie. “Yang tadi adalah kesalahan teknis, Nak. Pertarungannya baru saja dimulai!”
Archie refleks menghindari serangan tersebut dengan berguling ke depan, kemudian melakukan manuver serangan yang berhasil melukai punggung Leonidas dan membuatnya merintih kesakitan. Serangan Archie mampu menembus baju perisai milik Leonidas dengan mengincar celah di antara baju besi yang dikenakannya.
Leonidas pun mengarahkan pukulan gadanya ke belakang tempat di mana Archie berada. Namun saat hendak melakukannya, Archie sudah terlebih dahulu menendangnya dan membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir menjatuhkan gadanya. Archie berdiri dan membersihkan debu yang menempel di mantelnya lalu berkata, “Bukankah Tuan sudah berbuat curang?”
“Curang? Nak, kuberitahu sesuatu padamu ... semua adil dalam cinta dan perang. Pelajari itu!”
“Baiklah kalau begitu. Aku takkan menahan diri kali ini,” ujar Archie. Sorot matanya menjadi tajam dan menakutkan. Dia sedikit membuka kancing bagian atas mantelnya. “Sekali lagi, Iustella.”
Kini Archie mulai serius. Dia berlari ke arah Leonidas dan hilang seketika dari hadapannya. “Di belakang Anda, Tuan,” ujar Archie dari arah belakang dan langsung menyerang titik buta Leonidas—melukainya kemudian menghilang lagi.
“Sial! Gerakanmu cepat sekali, Nak,” gerutunya.
“Terima kasih atas pujiannya,” sahut Archie yang langsung mengayunkan pedangnya tepat di depan kepala Leonidas yang hampir saja membelahnya menjadi dua bagian jika Leonidas tidak menghindar.
“BOCAH SIALAN!!! KAU MEMBUATKU MALU!!!” Leonidas naik pitam.
“Bukankah Tuan tadi mengatakan bahwa semua adil dalam cinta dan peperangan?” Archie meledek Leonidas.
GGRRR!!!!!
AAAARRRGGGGHHHH!!!!
Leonidas menyerang Archie membabi buta. Dia diselimuti kemarahan dan rasa malu karena kalah dari anak kecil sepertinya. “AKAN KU BUNUH KAU DI SINI, NAK!!!”
“Terima kasih atas bantuannya, Iustella. Akan ku akhiri ini sendiri,” ujar Archie kemudian memasukkan pedangnya kembali ke selongsong di punggungnya. Dia merunduk untuk menghindari serangan Leonidas dan menunggu saat yang tepat, kemudian langsung memberikan pukulan uppercut yang membuat Leonidas terjungkal ke belakang.
Leonidas pingsan karena pukulan telak Archie. Orang-orang tidak percaya Archie dapat mengalahkan Leonidas. Melihat komandannya pingsan, beberapa prajuritnya menghampirinya dan membopongnya kembali ke dalam distrik.
Archie menghampiri salah seorang pasukan Leonidas dan menanyakan di mana dia bisa mengambil hadiahnya kemudian bergegas pergi.
* * *
“MANA?! DI MANA ANAK ITU?!” tanya Leonidas setelah siuman. Dia mendapatkan luka ringan, tapi masalahnya adalah harga dirinya sebagai pemimpin aliansi yang telah dihancurkan oleh Archie.
“Mmm ... dia pergi ke Selatan, Komandan,” balas seorang anggotanya.
GGRRR!!! Dia sangat geram. “Siapkan pasukan! Kita pergi ke Ilinos besok,” perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RE : IUSTELLA
FantasySeribu tahun setelah seluruh benua berada di bawah bendera yang sama, sihir kembali lenyap dari udara. Semua orang spiritual kehilangan kekuatan mereka, menyebabkan kekacauan di setiap tatanan masyarakat yang ada. Para raja tak lagi diberkahi para D...