CHAPTER 6

1.9K 275 16
                                    

"Shodaqallahul Adzim." Suara Malik Hakim pun berakhir disana. Pagi hari di setiap Jumat, sekolah mereka biasanya selalu diawali dengan tadarus Al-quran. Mereka yang pandai mengaji mendapatkan jatah giliran setiap minggu untuk mengisi kegiatan ini. dan Malik biasanya selalu terpilih oleh guru, setidaknya 1 bulan sekali. Di minggu yang kedua.

Surah Al-Kahfi yang baru saja dibacanya membuat hati Lea berdesir. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah hanya dia seorang yang berdebar saat mendengar suara Malik Hakim yang bergema ke seluruh sudut sekolah melalui speaker yang tersemat di atas gedung. Ataukah semua siswi wanita yang mendengarnya merasakan hal yang sama?

Lea, berandai-andai. Kelak ketika mereka menikah nanti, ia ingin mendengar suara ngaji Malik Hakim setiap hari. Pagi dan malam. Suaranya menetramkan jiwa. Membuat Lea tersenyum-senyum tanpa sadar.

"Bukannya nyimak bacaan dan ikut ngaji, malah senyam-senyum enggak jelas lo daritadi Le!" protes Anantha, yang duduk disampingnya.

"Biarin!" tukas Lea. Seraya menutup Qurannya dan memasukkan kembali ke dalam tas.

"Lo, beneran naksir Malik, Le?"

"Kalo iya memang kenapa?" Lea, bertanya balik. Ia membuka jilbab instannya yang hanya ia pakai setiap hari jumat lalu menyisir rambutnya.

"Saingan lo banyak,"

"Enggak masalah buat Gue."

"Masalahnya adalah dia naksir lo atau enggak?" Ghaitsa, mendekat dan ikut masuk dalam pembicaraan mereka.

"Kalau Gue lihat sih dia itu anaknya enggak suka sama cewe yang enggak pakai jilbab deh Le." Ghaitsa melanjutkan ucapannya, "Ketua rohis juga kan dia?"

Bibir Lea, mengerucut ke depan "Masa sih? Jadi Gue harus pakai jilbab dulu, gitu?"

Ghaitsa mengangkat bahu, "Ya habis, Gue enggak pernah lihat dia senyum kalau sama siswi yang macam kita ini. Coba kalau sama si Humairah anak IPS 2. Gue sering lihat mereka gobrol trus ketawa bareng."

Wajah Lea berubah muram.

"Ya bisa jadi karna mereka kan satu anggota Rohis, Sa." Sela Anantha.

"Tha-tha bener tuh," sambung Lea

"Kalau bener naksir Umay, gimana?" Ghaitsa menggoda Lea,

"Ya ampun, Sa, Loe pagi-pagi udah ngeselin banget ih... balik sana ke tempat duduk Lo! Hush-hush," Ujar Lea dengan nada manja sekaligus kesal.
***

Malik Hakim, menutup Al-Quran di tangannya. Setelah selesai membaca surah Al-Mulk, kini pria itu berdiri dan bangkit. Lea, yang masih terlena akan suara bacaan pria itu belum sempat memalingkan wajahnya sehingga tatapan mata mereka bertemu seketika Malik bangkit dari duduknya. Lea memang selalu terlena padanya. Dari dulu hingga saat ini, tidak ada yang berubah.

Malik, melemparkan senyum kepadanya dan Lea hanya membalas dengan datar. "Sudah sholat Le?" Tanya Malik.

"Sudah,"

Biarpun terlihat serampangan dan urakan seperti yang selalu Malik Hakim tuduhkan. Namun Lea, tidak pernah meninggalkan kewajibannya tersebut sejak ia duduk di kelas 2 SMA. Saat Bapak, tiba-tiba sakit keras dan hampir tidak sadarkan diri. Bapak terkena diabetes dan paru-paru. Saat itulah Lea, benar-benar bersimpuh dan memohon kepada sang Khalik agar diberikan kesempatan hidup bersama Bapak lebih lama.

"Ngaji?"

Sorot mata Lea berubah mendengar pertanyaan Malik Hakim yang selanjutnya.

"Sudah juga," jawab Lea asal.

"Kapan? Kok aku enggak dengar?"

"Barusan, sudah diwakilkan sama kamu kan?"

Malik Hakim mendengus kesal "Jangan bercanda untuk urusan ibadah Le,"

"Aku juga enggak bercanda soal pisah kamar kalau kita sudah pindah rumah," Lea, sempat mengemukakan pendapatnya siang kemarin saat perjalanan pulang mereka meninjau rumah, yang tentu saja di tolak secara tegas oleh Malik.

"Kemarin ijab-qobul nya sah kan yah? Aku denger para saksi semuanya bilang sah, gitu."

Sebelah alis mata Lea terangkat, ekspresinya mengisyaratkan kalau dia tidak mengerti "Maksudnya?"

"Iya, kita nikahnya sah kan? Terus kenapa bersikeras minta pisah kamar segala sih? Kita kan enggak lagi kumpul kebo, Le."

"Tapi Aku enggak nyaman, Lik!" ujarnya marah. "Aku enggak nyaman harus tidur disamping kamu dan mendengar suara dengkuran kamu."

Wajah Malik terlihat sedikit menegang mendengar penolakan Lea secara terang-terangan. "Tapi kamu istriku sekarang, Le" balas Malik dengan suara lembut, ia mencoba bersikap sangat sabar terhadap Lea yang kini berubah menjadi temperamental jika itu berhubungan dengannya.

Lea, bangkit dari tempat tidur. Berdiri sejajar dengan Malik, "Kita nikah demi Sakura kan? Bukan karena kita saling menginginkan satu sama lain!" Lea, melangkah dan berniat keluar dari kamar, namun Malik berhasil menahan salah satu lengannya.

"Gimana kalau bukan semata karena Sakura? Gimana kalau karna aku memang menginginkanmu?" Tanya pria itu serius. Sorot mata Lea berubah menjadi sayu, entah mengapa ucapan yang barusan ia dengar berhasil membuat hatinya kembali terluka alih-alih merasa bahagia.

"Hal itu mustahil, Lik. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau enggak mungkin kamu suka sama gadis serampangan, urakan dan liar seperti aku?" Lea melepaskan tangan Malik dari lengannya.

"15 tahun lalu, saat Anantha mengejar langkah kamu yang baru saja menolakku mentah-mentah. Kamu bilang begitu kan sama dia?!" tutur Lea, bibirnya membentuk senyuman tipis "Hanya karena penampilanku yang terlihat, penilaian kamu sama aku itu berlebihan. Berlebihan menilai rendahnya!" sambung Lea dengan ekspresi datar.

Malik Hakim, berdiri terpaku saat akhirnya tidak mampu ia menahan Lea untuk tetap berada di dalam kamar. Sebegitu kasarnya kan ia pada wanita itu dulu? Sebrengsek itu kah dia terhadap Lea? Lea yang dulu dimatanya hanyalah gadis centil dan manja. Kini berubah menjadi Lea yang temperamental dan begitu dingin.

------Bersambung-----

CINTA AZALEA, SUDAH TERBIT DI GOOGLE PLAYSTORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang