Empat

38 1 0
                                    

Hari bersejarah Afan dan Azana sedang berlangsung. Begitu tampak tawa membahagiakan dari keduanya. Pernikahan impian Azana sejak kecil telah terwujud.

Sejauh mata memandang, kemewahan terlihat dimana-mana. Printilan kecilpun tak ketinggalan menggunakan brand terkenal.

Bunda Aruna menepi sebentar. Dia begitu bahagia karena Afan sangat bahagia. Tapi, di bagian terdalam, seakan tak nyaman berdiri disana. Dia tak ingin berlama-lama. Semua kemewahan diluar dugaannya. Melebihi bayangannya.

****

Setelah pesta mewah itu usai, Afan memeluk bundanya. Air matanya ikut jatuh. Dia bahagia bundanya masih punya banyak waktu untuk bisa menyaksikan hari pentingnya.

"Bunda, terima kasih untuk semua cinta dan pengorbanan bunda buat Afan." Bisik Afan di telinga bunda Aruna.

Rasanya bunda Aruna juga ingin menangis sekuat yang dia bisa. Tak tau bagaimana mengartikan tangisnya. Entah begitu bahagia karena anaknya resmi menjadi seorang suami, entah merasa sedih karena dia akan berjauhan dengan anaknya yang tetap akan menjadi bocah di matanya. Tapi deraian itu berusaha ditahannya.

"Gak perlu berterima kasih nak. Semuanya memang tugas bunda sayang." Ucap bunda Aruna sambil mengelus punggung Afan.

"Bunda, Aza minta maaf kalo ada salah sama bunda. Terima kasih bunda udah mau pesta ini terlaksana." Azana menyambung pembicaraan.

"Sama-sama sayang. Semoga Aza kedepannya bisa sama-sama belajar dengan Afan ya nak." Bunda Aruna beralih memeluk Azana.

"Bunda, abis ini kami langsung ke rumah Afan sama Azana ya bun." Afan berucap sambil memeluk bundanya.

Mendengar Afan pamit seperti itu rasanya bunda Aruna begitu runtuh. Anaknya yang selalu dicium dan dipeluk setiap pagi akan tinggal berlain atap.

Jika harus egois, dia ingin selalu bersama Afan. Tapi, semuanya harus berubah sejalan dengan statusnya yang juga telah berubah.

Sesaat kemudian, bunda Aruna terisak di pelukan Afan. Tak mampu dia menahan semua sesak di dada.

"Maafin bunda harus menangis sayang. Bunda gakuat nak."

"Gapapa bunda. Lepasin aja, jangan sampe di tahan."

Afan tak punya banyak kata untuk menenangkan bunda Aruna. Karena dia sendiri paham, hanya satu yang bisa menenangkan bundanya dengan Afan tetap di rumah masa kecilnya.

Setelah tangis bunda Aruna mereda, Afan dan Azana mengantarkan bunda Aruna pulang.

Sepanjang perjalanan bunda Aruna seakan tak ingin melepas tangan anaknya.

****

Malam pertama bunda Aruna tanpa Afan disisinya dibasahi air mata. Paginya yang selalu manis dengan ciuman dan pelukan Afan, mulai sekarang akan begitu sulit didapatkannya. Sebenarnya tak pernah mudah, tapi dia harus ikhlas.

Tiba-tiba telpon bunda Aruna berbunyi.

Ternyata sosok yang dia rindu.

"Assalamualaikum bunda. Lagi ngapain bun?" Ucap Afan dari rumah barunya.

"Waalaikumussalam sayang. Bunda lagi tiduran nak." Jawab bunda Aruna menahan tangis.

"Afan kangen sama bunda. Mau dipeluk bunda." Suara Afan terdengar berat.

"Afan, sekarang kamu udah punya istri nak. Jangan bunda-bunda terus ya sayang." Ucap bunda Aruna dengan suara yang terdengar bergetar.

Demi BaktikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang