Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
._________________
Tanah yang masih basah dan dihiasi kelopak bunga bertaburan di atasnya, lalu para manusia yang mengelilingi gundukan tanah yang masih basah itu mengenakan baju berwarna hitam menjadi penanda bila aku sedang menyaksikan sebuah pemakaman.
Pemakaman dari orang yang tidak aku duga sebelumnya, hancur rasanya melihat semua ini, aku kira baru kemarin dia menyemangati diri ini, aku kira baru kemarin dan sekarang orang yang menjadi alasan ku ingin tetep hidup sudah tiada, orang yang senantiasa menguatkan ku telah berpulang tanpa aku duga sebelumnya.
Mata sembab ku menyisir tempat ini, mata ini secara reflek menatap sosok yang dulu aku sebuah sebagai 'Ayah yang paling aku sayangi' itu dengan pandangan datar, meski mata ini tertutup kacamata hitam aku masih dapat melihat dengan jelas bila dia nampak terpukul dengan kepulangan orang terkasihnya, cinta pertamanya. Ibu, yang juga berarti Nenekku.
Tanpa ada hujan dan angin, datang sebuah panggilan yang menyatakan beliau meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku sampai jatuh pingsan karena tidak kuat mendengar kenyataan, orang yang aku jadikan alasan untuk tetep bertahan nyatanya malah meninggalkan. Takdir yang dituliskan sangat kejam bukan pada ku, seolah aku ini seorang pendosa yang pantas mendapat ganjaran untuk selamanya.
Disini semua keluarga saling menguatkan, saling berpelukan, sedangkan aku? Aku memang berada di sekitar mereka, namun aku merasa sendiri. Aku berada di tengah keramaian namun justru aku kesepian.
Tes.
Lagi-lagi aku menangis, aku benar-benar tidak terima dengan kenyataan yang terpampang jelas di depan mata, takdir sungguh sangat menyiksa, semua yang aku punya sudah di ambil secara paksa, aku tidak punya keluarga, aku tidak punya sahabat dan aku tidak punya harapan untuk terus hidup. Aku ingin segara mengakhiri ini dan menyusul Nenek di atas sana.
"Nona, kita pulang sekarang?" Tanya Mbak Asih membuyarkan lamunan ku dan tersadar bila satu per satu pelayat telah pergi meninggalkan pemakaman.
Aku menggelengkan kepala. "Tunggu semua pergi baru kita pergi!"
"Kamu tidak pergi?!" Sebuah suara menjadi fokusku kini.
Di pusara Nenek hanya tinggal aku, Ayah dan Mbak Asih, bisa dengan jelas aku melihat beliau yang nampak kacau namun bukan itu yang menjadi pusat pikiran ku sekarang.
"Ibu dari Ayah masih Nenek aku bila Ayah lupa." Aku melepas kacamata ini dan berkata dingin kepadanya.
"Kurang ajar sekali kamu! Semakin tidak tahu diri! Pergi kamu! Bahkan menghadiri pemakaman ini saja sudah tidak layak untuk kamu! Kamu tidak kasihan kepada pengasuh kamu itu! Sudah Cacat, merepotkan pula!" Tangan ku mengepal kuat, apa dia tidak bisa memilah kata kala berucap, apa dia tidak pernah merasa bersalah kala melihat keadaan putrinya? Atau malah dia menjadi bahagia? Apa dia lupa aku masih bagian dari dirinya.
"Aku kira kepergianku dari rumah akan sedikit menyentil hati Ayah, namun sepertinya aku memang anak yang tidak Ayah harapkan, sampai kita bertemu setelah sekian lamapun Ayah tetaplah Ayah yang egois dan keras kepala."
"Dasar anak tidak tahu di untung! Tapi baguslah jika kamu sadar! Kamu tahu jika kamu hanyalah boneka saya, jadi untuk apa saya terluka apalagi tersentil seperti yang kamu ucapkan tadi."
Aku tertawa getir. "Aku lupa satu kenyataan, bahwasanya anda tidak miliki hati." Kala mengatakan itu entah kenapa satu bagian dari diri merasa tidak terima.
"Mbak, kita pergi!" Titah ku yang langsung ia turuti.
Aku tidak mau membuat Nenek sedih melihat kami yang saling bermusuhan di depan tempat peristirahatan terakhirnya, sudah cukup aku membuatnya terbebani dengan hadirnya diri ini.
"Tanisha!" Gerakan Mbak Asih yang akan membantuku masuk mobil terhenti kala melihat Viola dengan pakean hitam berdiri tak jauh dari kami.
"Mbak masuk duluan, aku mau bicara berdua." Titah ku yang langsung beliau turuti.
Aku menatap sosok itu dengan tatapan tidak terbaca.
"Kenapa?" Tanyaku yang sudah mulai bosan dengan keheningan yang tercipta.
"Lo beneran suka sama Ghafi?" Aku tersenyum kecut ke arahnya.
"Penting banget yah gue jawabnya?"
"Engga gitu Sha, gue cuma takut----"
Aku memotong ucapan Viola cepat. "Lo takut kenapa? Takut gue ambil Ghafi? Engga! Gue engga setega itu jika itu yang lo pikir, lo jangan khawati. Lagipula dunia juga akan menentang kita, engga mungkin bila kita bersama." Jelasku.
"Sha lo itu orang yang baik dan cantik, gue yakin pasti banyak orang yang nganteri buat dapatin lo. Maaf gue engga bermaksud gimana, gue cuma engga mau lo semakin tersiksa." Dia menjeda ucapannya. "Gue juga minta maaf karena semua ini berawal dari rencana gue, gue yang bikin rencana ini, biar lo bisa terbuka pikirannya dan lebih dekat dengan Raffan melalui perantara Ghafi, gue bener-bener minta maaf."
Aku tersenyum. "Lo engga perlu minta maaf, disini engga ada yang salah, salahkan saja hati yang mudah----" Aku tidak melanjutkan ucapanku, terlalu sakit meski hanya untuk mengenang.
"Sha gue minta maaf." Tangis Viola sembari memeluk tubuhku. "Lo jangan sedih, lo harus bahagia. Apalagi setelah meninggalnya Nenek, lo jangan putus semangat, masih ada gue disini." Aku menangis dalam pelukan itu.
"Gue engga tahu harus gimana lagi La, gue hidup hanya buat beliau, tapi dia malah yang--- ninggalin gue---gu-gue pingin gantiin posisinya La, lebih baik gue yang tiada daripada Nenek."
"Sha lo ngomong apa sih?! Lo tahu engga kalo diluaran sana masih banyak yang pingin hidup kayak lo, lo harusnya bersukur!" Viola melepas pelukan itu lalu menatapku tidak percaya.
Aku tahu aku salah, aku tahu jika aku tidak pandai dalam bersyukur, aku selalu mengeluh, namun apa ada yang mengerti diri ini? Apa ada yang mengerti bila hati dan raga ini sudah terlalu lelah, bahkan berdiri di atas kaki sendiri saja aku tak mampu, dan orang yang aku usahakan malah pergi meninggalkan. Lalu apa dengan lagak polos aku akan melangkah tanpa terjatuh? Sedangkan saat aku terjatuh nanti tidak akan ada yang perduli?
Aku tidak sekuat itu untuk melakukan."Kalo gue bisa gue sendiri yang bakal sukarela bertukar nyawa, lo ngomong gini karena lo engga tahu rasanya jadi gue, gue akui kalo gue engga bisa bersyukur sama apa yang udah Tuhan kasih, lo enak punya segalanya, keluarga yang utuh, kasih sayang yang berlimpah, harta, cinta, dan lo sempurna." Aku menjeda ucapan ku sembari mengusap cairan bening itu. "Sedangkan gue? Gue engga punya itu semua, ditambah kondisi gue sekarang ini, lo enak tinggal bilang sabar, kuat dan berjuang. Tapi gue sendirian, gue sendirian Viola," Viola hanya bergeming sembari menatap ku.
"Lo engga tahu rasanya jadi gue dan gue engga mau lo ngerasain apa yang gue alamin, karena cukup gue yang ngerasain." Tangisku.
Tanpa mengucap satu kata lagi Viola berlari dengan derai air mata meninggalkan diri ini yang juga menangis dalam kesendirian.
Akan ada masanya aku pergi guna menyelamatkan hati yang kian hari kian mati karena lara yang tidak bisa selamanya aku Terima.
|
Dari Tanisha untuk semua.
-----------------------------
Salam.
VK
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Tanisha Untuk Semua [New Version]✔
Подростковая литератураKamu itu terlahir karena kesalahan, dan kamu hanya boneka yang Saya kendalikan guna mendapat apa yang tidak bisa Saya dapat kan! Kamu boneka---- Kita itu istimewa, karena kita harus berjuang sebelum mendapatkan kebahagiaan------ seseorang yang terla...