⚫Part 28. |New Version|

423 28 2
                                    

Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

_________________

‍‍‍‍Ghafi tersenyum sekilas kala melihat aku sedang menatapnya lalu ia duduk di kursi yang ada di sebelahku setelah meletakan buket bunga di atas nakas. Ghafi, dia orang yang membuat tubuh ini bergeming tidak lain dan bukanlah Ghafi, aku kaget dan tidak menyangka bila dia tiba-tiba datang.

"Udah makan?" Tanyanya yang tidak aku jawab, aku masih bingung dengan kehadirannya. Aku senang dia datang namun bukan dia yang aku ingin dan cari sekarang.

"Lo ngapain disini? Dan darimana lo tahu gue disini?" Tanyaku.

"Aku dapat kabar dari Raffan, jadi setelah pulang sekolah aku langsung kesini." Jelasnya.

"Raffan udah sadar?" Tanya ku sesaat setelah mendengar kata Raffan terlontar dari mulut.

"Iya, kamu kenapa ikut-ikutan dirawat sih? Aku jadi sendirian di sekolah." Adu Ghafi layaknya anak kecil membuat hati ini gatal sekali ingin untuk tertawa.

"Namanya juga sakit, engga tahu kapan datang." Balasku.

"Permisi nona Tanisha, ini makan siangnya." Seorang suster membawakan makanan yang belum aku coba saja sudah tahu bila rasanya tidak lebih dari kata hambar.

"Terima kasih."

"Mau saya suapin atau pacarnya?" Tanya suster tadi membuat pipi ku terasa panas.

Apaan suster ini.

"Biar saya saja Sus." Tanpa meminta persetujuan dari ku Ghafi mengambil alih tempat makan itu membuat Suster cantik itu tersenyum.

"Baiklah, saya permisi dulu." Pamitnya seraya berjalan keluar.

Ekor mata ku melirik Ghafi yang nampak mengaduk makanan itu dengan sendok sebentar lalu menyodorkan tepat di depan mulutku.

Dengan sedikit menahan perih tangan ku terangkat guna mengembalikan sendok itu ke tempat semula. "Gue bisa sendiri"

Kepala Ghafi menggeleng. "Jangan sok kuat, aku tahu kamu sedang sakit, jangan debat lagi ya? " Pintanya dengan senyum manis, manis sekali, layaknya sebuah mantra sihir yang mampu membuat seluruh tubuhku terasa mati dan hanya terpusat pada wajah tampan itu.

Aku tidak bisa mengelak bila dia memiliki wajah yang lumayan tampan, bahkan tanpa penolakan seperti biasanya aku dengan mudah membuka mulut menerima suapan darinya.

Sepanjang aku makan Ghafi tidak hentinya mengeluarkan guyonan  pada ku membuat hari ini terasa lebih berwarna, bahkan aku saja tidak merasa sakit lagi sekarang, dia itu seperti obat yang paling mujarab, jika biasanya aku akan menelan obat tidur dan memilih tidur guna menghilangkan rasa perih, kali ini mata ku rasanya ingin selalu terbuka hanya untuk melihat wajah itu dan menikmati waktu bersama dia seraya tertawa bebas tanpa beban, meski kadang aku merindukan sosok Rayan.

"Aku pulang ya?" Pamit Ghafi yang entah kenapa membuat hati ini terasa keberatan, jika aku boleh egois aku ingin dia selalu bersamaku dan menemaniku, apalagi aku pasti akan kesepian di dalam ruangan ini jika ia pergi, katakan aku manja. Ini bukan aku, aku sudah terbiasa dengan yang namanya kesendirian namun kali ini aku ingin bersamanya.  Aku tidak mau sendiri lagi. Sekeras apapun aku mencoba melupakan namun perasaan itu pasti hadir saat kita menghabiskan waktu bersama. Dan nampaknya sekarang aku paham kata mereka yang selalu mengatakan 'Cinta Datang Karena Kebersamaan' namun apa secepat itu aku melupakan Rayan? Benarkan ini cinta?

"Ghafi!" Panggil ku saat tangannya hendak menarik pintu, dia reflek berbalik lalu kembali berdiri di samping ku.

"Ada yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?" Tanyanya membuat kepalaku menggeleng lemah.

Aku benci diri ku seperti sekarang, namun hati dan otak sedang tidak bisa diajak bekerja sama kali ini.

"Hei! Kenapa? Sakit?" Tanyanya kembali setelah beberapa menit aku hanya diam tidak menanggapi.

"Engga jadi, gue juga engga tahu kenapa, lo pulang aja!" Akhirnya hanya kata itu yang keluar.

"Oh! Ya udah kamu baik-baik ya? Aku janji besok bakal kemari lagi. " Seulas senyum terbit begitu saja tanpa aku pinta.

"Nah gini dong senyum, kamu jadi tambah cantik." Pujinya membuat ku sedikit terkekeh.

"Aku engga suka kamu sakit, tapi kalo sakit bisa bikin kamu tersenyum dan ketawa kecil kayak gini aku suka."

"Engga usah alay deh, sana lo pergi! " Usirku.

"Iya. Sampai ketemu" Pamitnya seraya mengelus sekilas rambut ini.

Aku menegang hingga punggung itu hilang terhalang pintu, reflek aku tersenyum dan tertawa layaknya orang sakit jiwa. Sepertinya aku sudah mulai gila, tapi rasanya aku senang sekali hari ini. Ini bukan kali pertama aku merasakan hal ini, namun tentu saja akan sangat berbeda karena kedua lelaki itu memang berbeda.

Di satu sisi aku masih mencintai Rayan yang selalu menghujani diri ini dengan cinta meski itu hanya bualan semata, namun aku merasa senang dan bebas saat bersama dirinya, di sisi lain aku merasa tenang saat bersama Ghafi, dia itu sosok yang tenang dan juga dewasa membuat aku merasa nyaman saat bersamanya.

Aku menutup kedua bola mata ku sesaat menghilangkan rasa gugup setelah disentuh Ghafi tadi, sentuhan kecil nan singkat namun berhasil membuat seluruh tubuh mati rasa beberapa menit. "Masa gue jatuh cinta sama Ghafi, tapi baru beberapa hari hubungan gue kandas." Gumam ku.




🔥🔥🔥

"Tanisha." Aku terkekeh dalam pelukan hangat Nenek, dalam wajah cantik yang perlahan mengkeriput itu tercetak jelas perasaan khawatir  bahkan beliau nampak tidak bosan mencium dan memelukku sedari tadi.

"Ibu, udah itu Tanisha pasti kesakitan." Ujar Tante Lesya.

"Sayang, kamu engga kenapa-napa kan?" Aku menggeleng membuatnya bernafas lega.

"Ibu engga peka banget sama orang sakit, kamu udah baikan Sha?" Tanya Tante Lesya yang hanya aku balas anggukan.

"Eh, kamu sendirian? Ayah kamu dimana?" Ada sirat kemarahan dari ucapan nenek, aku hanya menggeleng guna menjawab. Jujur saja, aku sangat kecewa karena kehadiran Ayah yang aku tunggu malahan tidak datang, namun aku juga tidak bisa menyalahkannya bukan? Bisa saja dia sekarang sedang menemani Raffan yang juga sedang sakit, aku tidak boleh egois.

"Kakak gimana sih, anak sakit tapi ngilang, heran deh." Gerutu Tante Lesya.

"Engga apa-apa Tan, bisa jadi Ayah nemenin Raffan, dia juga lagi sakit." Belaku.

"Nemenin Raffan dari Hongkong! Orang tadi aku ke sana aja cuma ada keluarga besar Kak Farras kok." Aku terdiam, aku kecewa dengan Ayah, namun aku juga harus berfikir dengan logika bukan hati, bisa saja dia sedang sibuk dengan pekerjaan karena dia sangat mencintai pekerjaan itu dari segalanya.

"Mungkin lagi kerja, Ayah engga suka terlalu lama ninggalin kerjaan Tan." Belaku, entahlah rasanya aku tidak suka jika ada yang mengatai Ayah ku, aku tidak suka.

"Udahlah Sya, kayak engga tahu keponakanmu aja, mana mau dia jelek-jelekin Ayah kesayangannya, dia kasih makan racun juga pasti Tanisha mau makan." Ucap Nenek yang membuat Tante Lesya mendengus nampak tak suka.

---------------------

Kalo suka, Vote dong:)




Salam.
VK

Dari Tanisha Untuk Semua [New Version]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang