⚫Part 40. |New Version|

726 28 0
                                    

Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

_________________

‍‍Dengan rasa canggung aku memasuki ruang inap Ayah dengan Nehan yang berada di belakangku.

Mata ku bersibobok dengan bola mata Ayah, dengan langkah pelan dan sedikit canggung aku menuju tempat ia berbaring lalu duduk di kursi tepat berada di sampingnya.



Hening.




Aku tidak tahu kalimat apa yang pantas untuk aku lontarkan sekarang, karena jujur saja bila aku masih ingat dengan jelas perlakuan beliau tempo lalu yang masih membekas sehingga membuat lidah dan otak harus berfikir ulang meski hanya mengucap kalimat kabar.

Aku tersentak kaget lalu dengan gerakan pelan mengangkat kepala saat tangan yang saling bertautan karena gugup digenggam oleh tangan Ayah yang tidak dipasang selang infus.

Aku melihat dia yang sudah mulai berkaca seraya menatapku, bahkan dia berusaha mengelus rambut ku.

Aku hanya bergeming di tempat sembari mencerna apa yang ada dihadapkan ku kini.
Ini seperti sebuah mimpi yang mejadi nyata melihat Ayah dengan lembut menyentuh suara hitam ini dengan mengusap sayang.

Dengan canggung aku bergerak memeluk tubuh kekar Ayah yang masih terbaring.

Aku tidak tahu alasan aku melakukan hal itu, aku hanya mengikuti kata hati yang memerintahkan dan memberi sinyal bila ia ingin memeluk Ayah untuk saling berbagi rindu.

Nyaman. Salah satu kata yang mendeskripsikan rasa pelukan Ayah kini. Dulu aku sangat mendamba untuk berada di dalam pelukan ini, aku pikir aku tidak akan pernah merasakan rasa nyaman ini. Aku semakin mengeratkan pelukan ini dan entah kenapa air mata sudah tertumpah tanpa aku sangka.

"A--Ayah sakit apa? Kenapa Ayah gini?" Aku melepas pelukan itu lalu menatap matanya yang menyiratkan kesedihan terpendam.

Nampaknya dia tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, buktinya tanpa aku duga ia mengusap lembut salah satu pipi milik ku lalu menghapus jejak air mata yang masih terdampar di sana.

Aku bergeming mendapat perlakuan seperti itu.

"Kamu darimana?" Tanya Ayah dengan suara lirih yang lagi-lagi membuat aku menangis lalu meletakkan kepala ku di atas perut ratanya.

"Ayah." Bukannya menjawab aku malah menangis di sana layaknya anak kecil, aku sangat emosional melihat kenyataan yang terpampang nyata didepan mata. Sangat jauh dari ekspetasi.

"Sudah jangan nangis! Kamu kemari bawa siapa?" Awalnya aku memang berniat meminta restu dan pergi dengan enteng tanpa beban, namun rasanya sekarang berbeda, ada sesuatu dari dalam hati yang nampak berat dan juga mengganjal di sana.

Aku tidak sebodoh itu bila tidak menyadari bila Ayah memang sengaja mengalihkan perhatianku, apa dia pikir aku tidak mencemaskan keadaannya? Apa dia pikir aku tidak pantas meskipun hanya untuk merawatnya?

"Hai Nak kemarilah! Kamu pacar Tanisha?" Aku dapat mendengar bila Ayah sedikit bergetar saat mengatakan kata itu, aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya seperti ini.

"Saya Nehan Om." Terdengar suara Nehan yang memperkenalkan diri.

"Kamu kekasih Tanisha?"

"Iya, jika Om merestui Saya ingin menikahi putri Om."

"Jika kalian saling mencintai tentu saja, siapa aku yang berhak melarangnya?"

Siapa aku yang berhak melarangnya?

Mendengar kata itu aku reflek berdiri lalu menatap Ayah dengan pandangan sendu dan tidak percaya dengan apa yang sudah Ayah katakan barusan. "Apa aku tidak salah dengar?" Aku menjeda ucapan ku. "Kenapa Ayah selalu menyakiti aku? kenapa Ayah bicara seperti itu, apa aku terlalu hina hingga Ayah sendiri enggan menganggapku?" Aku menangis dan Nehan mencoba menenangkan ku.

Tangis ku semakin menjadi saat tidak ada seorangpun yang mau membuka suara kepadaku. Sakit sekali melihat semua ini, aku memang pergi untuk bahagia, tapi aku juga tidak mau berbahagia di atas penderitaan mereka.

"Kalian tahu bagaimana rasanya? Sakit. Sakit sekali, apa kalian bisa sedikit saja mengerti diri ini? Apa harus selamanya aku yang harus mengerti kalian?!"

"Nehan kita pulang! Aku muak disini!! Aku muak!" Teriakku lalu menarik tangan Nehan keluar dari ruang inap Ayah.





"Hei sudah. " Kini aku duduk di bangku taman rumah sakit ditemani Nehan.

"Han, kenapa semua orang benci aku? Kenapa semua orang engga pernah mau ngertiin aku?"

Nehan membawa raga ini ke dalam dekapannya. "Aku disini, jangan takut oke?"

"Tapi dia Ayah aku Nehan, aku tahu dia engga pernah menganggap aku ada, tapi apa aku tidak seberharga itu bagi dia hingga dia berkata seperti itu?" Aku menjeda ucapanku. "Dan bisakah dia sedikit saja berbohong demi kebaikan ku? Apa dia tidak pernah merasa bersalah telah melukai hati ini berkali-kali? Setidaknya hanya sekali dalam seumur hidup. Dia memang tidak punya hati." Tangisku pecah saat itu.

"Jangan berbicara begitu."

"Aku tahu Ayah kamu salah karena berbicara seperti itu kepada kamu, namun itu lebih baik daripada dia perduli namun itu hanya sandiwara, itu bakal jauh lebih sakit lagi, lebih baik kamu merasa sakit di awal daripada nanti, engga ada kebohongan yang baik Sha." Aku mencerna baik ucapannya.

"Udah ya? Jangan nangis lagi, kamu jelek banget nangis kayak gini."

Aku memukul pundaknya pelan seraya menghapus air mata. "Kamu ih!"

Aku mendaratkan kepala ini ke atas pundak Nehan, tak lama tangan Nehan mengusap lembut surai rambut ini dengan sayang. Nyaman sekali ketika aku berada di dekatnya, dia itu memang orang yang baik dan pengertian, aku sangat beruntung memilikinya.

"Han makasih udah mau nemenin aku selama kurang lebih sembilan tahun ini, aku engga bakal tahu gimana kalo seandainya engga ada kamu. Kamu itu layaknya lentera yang membunuh kegelapan."

"Aku juga makasih ya?"

"Kok?"

"Soalnya kamu udah mau percaya dan mau ngadepin cowok aneh kayak aku." Kekehnya.

"Iya kamu gila, anehnya aku bisa sesayang ini sama kamu, kamu pake pelet apa sih?"

"Mana aku tahu, tapi aku gila gini juga buat bisa bikin kedua sudut bibir ini jadi tertarik ke atas gini." Tunjuknya kepada kedua sudut bibir ku lalu menariknya.

"Sweet banget sih pacar aku yang satu ini."

"Iya lah. Kamu beruntung tuh bisa pacaran sama aku." Aku tertawa mendengarnya.

"PD banget sih Mas nya, tapi serius deh aku beruntung banget bisa sama kamu. I love you."

"Love you to." Nehan mencium pipi ini membuat aku terkejut dengan perlakuan tidak biasa darinya barusan.

"Nehan rumah sakit! Asal main cium aja, emang aku cewek apaaan!" Aku menepuk lengannya.

"Cewek-nya Nehan."

Aku tertawa mendengar perkataannya. Aku benar-benar mencintai lelaki yang menjelma menjadi kekasih ku ini, aku harap dia memang lelaki yang menjadi dikirim Tuhan untuk menjadi pendamping hidup ku.




I love you Nehan Cokroaminoto.









Kamu itu hangat namun juga menyejukan.

|

Dari Tanisha untuk semua.





----------------------

Salam.
VK

Dari Tanisha Untuk Semua [New Version]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang