3.1 Delusi

16 0 0
                                    


 White Room

*** Tidak Pelu menangis, tidak ada orang mati disini.***

Dengan wajah yang tertunduk dia menutup telinganya erat-erat, di tengah ruangan yang putih bersih nan sepi dia duduk sendiri. Dan dia mencoba mengingat kembali sesuatu yang pernah terjadi. Dia terus tertunduk dan menutup kupingnya sembari bergumam. " LA-RI... LARI... LARI... Aku-harus...LA-RI." Dia terus bergumam sampai seseorang datang menghampirinya.

TAK... TAK... TAK...

Suara langkah kaki itu mengema dan mulai mengampirinya.

"Anastasya." Laki-laki berumur 17 tahun itu berjongkok dan menunggu respon gadis kecil berusia 10 tahun yang ada di hadapannya. Gadis itu hanya diam.

"Ini aku, Sean. Apa kamu mengingat apa yang terjadi padamu?"

Sean menunggu dengan sabar selama beberapa detik, gadis itupun mulai membuka mulut mungilnya. "Yang terjadi?" Anastasya mengangkat wajahnya perlahan, rambut panjangnya yang berantakan pelahan jatuh menutupi wajahnya. Anastasya pun menatap Sean dengan tatapan kosong.

Setelah beberapa detik, dia kembali membuka mulutnya.

"Yang terjadi adalah... Kamu terlambat! Mr. Sean Lerman, kamu terlambat!... Hiks..." Teriakan gadis itu menggema diiringi tangisan yang pecah.

Hal itu membuat Sean terkejap kaget. Dia atuh terduduk mendengar teriakan Anastasya. Sementara Anastasya kini sudah berdiri dihadapannya dan memandangnya dengan punuh air mata. " Mr. Lerman... Mereka mati karenamu..." Sambungnya.

Sean berdiri dan menatap gadis itu. "Kamu menyelahkanku?" Ucap Sean sambil membenarkan jas hitamnya. "Memangnya dengan menyalahkanku mereka bisa bangun kembali? Memangnya dengan menyalahkanku kepala Ayahmu bisa tersambung lagi? Lalu untuk apa air mata itu, Anastasya? Ibumu tidak akan bangun kembali dengan air mata itu." Ucap Sean yang kini menatap tajam Anastasya yang hanya menunduk.

Sean membungkuk dan berbisik pelan di telinga gadis itu. "Anastasya... Tidak perlu menangis, tidak ada orang mati disini."

Anastasya tertegun dengan perkataan Sean. Mendadak rasa sedihnya hilang. Dia diam dan berfikir. Semua yang dikatakan Sean benar. Menyalahkan orang lain sekarang, tidak akan menghidupkan siapapun. Yang seharusnya dia lakukan saaat itu bukanlah lari, melainkan melainkan menyelamatkan mereka. Setidaknnya dia bisa membawa Ibunya lari bersamanya, bukanna meninggalkannya. Tapi apakah itu mungkin dilakukan pada dirinya yang berusia 10 tahun?

Sean menegakkan tubuhnya dan menatap gadis kecil di hadapannya. Sementara anak itu terkulai lemas sambil memundurkan langkahnya. Ia mundur dan terjatuh dikursinya. Dia duduk denga tidak bergairah dan menundukan wajahnya.

Rambut panjangnya turun perlahan menutupi wajahnya. Dia tidak lagi sanggup mentap Sean karea malu dengan perkataannya. Dia malu karena sudah menyalahkan Sean yang tidak tau apa-apa, dan menyalahkan orang lain karena kesalahannya sendiri.

Sean menatap anak itu sebentar, lalu meninggalkannya sediri di ruang isolasi tersebut.

.

.

.

Aris POv

Apa aku terlalu kasar padanya? Apa aku yang seperti anak kecil? Argh, Anastasya kau dimana?! Kau benar-benar bisa membuatku gila. Aku harus menemukanmu sekarang!

Sekolah ini terlalu luas, kita juga baru sampai disini. Jadi, kemungkinannya sangat kecil jika dia pergi terlalu jauh. Em... Sepertinya aku mendengar sesuatu di taman.

"LA-RI... LARI... LARI... Aku-harus...LA-RI."

"Anastasya!" Aku menghampirinya perlahan, dia duduk dengan merapatkan kaki dan memegang kupingnya erat-erat. Dia terus menggumam seperti orang yang mengalami depresi berat. "Hei, apa yang kau lakukan disini? Dan apa yang terjadi padamu? Apa aku menyakitimu?" Lanjutku.

Dia berhenti bergumam.

"Yang terjadi adalah... Kamu terlambat! Mr. Sean Lerman, kamu terlambat!... Hiks..."

Dia berteriak dengan sangat kencang, aku terkeut dan memundurkan langkahku. Ada apa dengannya? Dia terlihat sangat marah. Entah, karena apa dia menjadi seperti ini. Dia menangis, berteriak, dan juga membawa-bawa nama Mr. Lerman. Apa yang teradi antara mereka berdua? Mungkinkah?

" Mr. Lerman... Mereka mati karenamu..." Sambungnya.

Aku tertegun mendengar apa yang baru saja dia katakan. Mana mungkin seorang direktur Core Businees membunuh seseorang. Maksudku, membunuh dengan tangannya sendiri adalah hal yang mustahil.

"Anastasya, apa benar Mr. Lerman melakukannya?" Tanyaku memastikan.

Gadis itu diam dan menatapku dengan tertegun. Dia tidak lagi menangis dan histeris seperti tadi.

Aku berusaha menenangkannya yang nampak ketakutan. Aku menghampirinya dan memeluknya. Aku berbisik lembut di telinganya "Anastasya, kenapa kamu menangis? Semuanya akan baik-baik saja, trust me."

Aku mengelus kepalanya dengan lembut, dia tidak membalas pelukanku dan malah memundurkan langkahnya. Dia mundur dan terjatuh dengan lemas.

Aku memperhatikannya sebentar, dia tapak tenang walaupun masih ketakutan. Aku menghampirinya dan mengelus pipinya. Aku rapihkan rambutnya yang berantakan dan mengaitkannya di kuping. Aku menatapnya dan menarik dagu lancipnya, aku menciumnya. Aku menciumnya dengan perlahan dan membiarkan bibirku berlama-lama di dahi lebarnya.

Feelings DeletingWhere stories live. Discover now