9. Antara Kenangan dan Khayalan

659 76 0
                                    


Kalau suka, kenapa nggak senyum?
─Adit─
***

“Akhirnya aku melihat ekspresi lain di wajahmu.”

Aku menghidu aroma Oceanic dari leher Surya. Itu pasti aroma parfumnya. Aku suka wanginya yang segar dan alami seperti angin laut. Untuk beberapa alasan yang tidak kupahami, aku merasa nyaman di dekatnya.

Pada detik ini, Adit dan Naya kembali.

Aku melirik ke arah datangnya mereka, ekspresi kedua protagonis kita sangat rumit. Segera aku berdiri normal dan menjauh dari brankar Surya.

Naya mendekat, melayangkan jitakannya ke Surya. "Kamu berani gangguin adikku?!"

Surya tertawa. "Aku yang digodanya. Nggak lihat tadi posisi kami?" Sebelah alisnya naik, senyumnya jahil.

Naya kembali melayangkan jitakannya. "Aku percaya adikku nggak kayak gitu. Pasti kamu yang membuatnya kayak gitu."

Surya tidak tertawa lagi, tapi memegang kepalanya. "Nay, kepalaku pusing..."

Lalu detik berikutnya, Surya pingsan.

Jitakan Naya memang mengerikan, tapi tidak sampai membuat orang jadi pingsan, kan?

Aku terpaku di tempat, menatap tubuh kaku Surya yang tidak bergerak.

"Oy, Surya, jangan bercanda."

"Ayo bawa aja, Nay," kata Adit, yang sudah memapah Surya.

Dia bercanda, 'kan? Tadi baik-baik aja kok.
Aku sendiri entah mengapa merasa sangat takut, dan kondisi Surya yang tadi tidak bergerak terus membayangiku.

Dia tidak bergerak.

Dia tidak bergerak.

Dia tidak bergerak.

Kalimat itu terus menggema dalam pikiranku.

Aku mengikuti Naya dan Adit, tapi koridor depan UKS, anehnya berubah...? Sejak kapan koridor sekolah jadi jalanan gelap?

Ini di mana?

Aku jalan dengan ragu, tapi kemudian berlari.

Harus cepat. Aku harus mencari seseorang. Aku harus menolongnya. Tapi, kenapa tidak ada siapa pun?

Aku berhenti berlari, memilih berjalan perlahan. Semua gelap. Napasku mulai sesak. Aku meraba-raba ruang hampa di depanku.

Aku di mana?

Aku mencoba melangkah lagi, tapi terasa berat. Aku tetap memaksa melangkah. Hingga terdengar suara ambulance.

Aku mendengar suara bising kendaraan...

Suara ribut televisi.

Derap langkah orang banyak.

Aku mendengar...

"Aaaaaa...."

"Pembunuh! Mati saja kau...."

"Aku benci sama kamu...."

"Aku nggak mau lihat kamu lagi..."

Berulang kali suara itu bergema memekakan pendengaranku.
Lalu....

Tik... Tik.... Tik... Tik... Tik... Tik...

Seperti detik jam.

Awalnya pelan, semakin lama malah semakin kuat dan cepat. Aku mulai takut melangkah. Aku menutup telinga. Tapi suara itu terus berebut tempat di kepalaku.

Bukan Figuran [COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang