11. Tiga Alasan menjadi pembantunya

664 75 0
                                    

"Ke mana perginya semua ekspresi di wajahmu?"
—Rain—
***

"Kamu lupa siapa aku?"

Ah, aku lupa bilang, karena rumor jelek yang menyertaiku, ada satu hal lagi yang biasanya disandingkan denganku; kutukan.

Orang-orang percaya, aku akan memberikan kutukan kepada siapa pun yang memandang mataku. Saat di SMP, ada seorang anak perempuan yang punya masalah dengan Naya, dan dia nekad menekanku untuk memprovokasi Naya. Sepulang sekolah, dia dilempari telur busuk dan telur. Itu ulah Adit. Berkat itu, orang-orang semakin takut kepadaku.

Dhea, salah satu yang paling takut kepadaku, tapi sok berani. Biasa, tipikal antagonis.

Adt memperparah gosip dengan mengatakan, jika mereka menuruti keinginanku setelah tanpa sengaja menatap mataku, kutukan akan dihapus. Sekarang, Dhea telah melihatku, bahkan aku mencarinya, artinya, aku ingin memberi kutukan.

Meskipun ini sudah di SMA, dan biasanya takhayul seperti itu akan perlahan hilang, tapi bagi Dhea yang telah melihatku selama tiga tahun, takhayul itu jelas berakar kuat di dalam hatinya.

Dhea gugup, lalu mengepalkan tangan dan dengan patuh jongkok di depanku. Dia mendongak, air matanya jatuh ke pipi.

"Mengonggong seperti anjing," ujarku.

Bibir Dhea bergetar, air matanya semakin banyak. "Bintang, jangan kelewatan!" teriaknya, tertahan. Dia tidak berani berkata lantang di depanku.

Aku diam, menatapnya, menunggunya menunggu instruksiku. Mungkin karena ketenanganku, Dhea makin ketakutan.

Dhea menelan ludah, memejamkan mata, lalu menggonggong, "Mong... Mong... Mong..."

Aku berhasil merekam suaranya yang seperti anjing kecil, tapi tidak puas. "Berputar dan menggonggong."

Dhea menuruti perintahku. Masih dalam posisi berlutut dengan kedua tangan di rumout, dia berputar, lalu menggonggong. Kemudian, dia tidak sanggup lagi jongkok, dan berakhir duduk menangis di rerumputan taman.

Aku sedikit mendekat kepadanya, dan berbisik, "Aku tidak pernah melarangmu mendekati Adit selama ini, kan? Kamu tahu apa yang kubenci?"

Dhea mendongak, wajah telah sepenuhnya ketakutan.

Karena dia tidak menjawab, atau mungkin lupa, aku berbaik hati mengingatkannya, "Jangan mengusik Naya."

Dhea pun seolah tersadar dengan perilakunya di jam istirahat pertama tadi, yang menghina Naya secara tidak langsung. "Ma-maaf..."

Aku beranjak dari sana, meninggalkan gadis yang menangis tersedu-sedu.

Beberapa langkah aku berjalan, si Niken tiba-tiba menamparku.

"Beraninya kamu memperlakukan sepupuku seperti itu!" teriaknya, murka.

Ah, iya, gadis ini tidak mengenalku, jadi dia tidak tahu. Aku diam saja di sana.

Sebenarnya sangat sakit tamparan di pipi ini, bahkan menimbulkan perih, tapi wajahku memang susah berubah. Karena ketenanganku ini, Niken ketakutan. Sebenarnya aku biasa saja menatapnya, tapi Niken malah ketakutan.

Dhea bangkit, menahan Niken yang dia pikir akan menyiksaku lagi. "Jangan, Niken. Ini salahku. Jangan terlibat dengannya. Jangan lihat matanya."

Oh, ya, ampun, ini sedikit menusuk hatiku.

Aku mengembuskan napas, lanjut jalan menuju kelas. Sekilas aku melirik Rain yang kedua tangannya masuk kantong celana, dan senyum tipis menghiasi wajah tampannya. Aku tidak memerhatikan ekspresi yang dipasangnya.

Bukan Figuran [COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang