Makan bersama keluarga di meja makan bersama itu menyenangkan. Terkadang, walau yang tersedia hanya makanan sederhana, akan terasa nikmat asal dinikmati bersama-sama.
Hal demikian juga yang Nusaiba sukai. Walau ramadhan tahun ini dirinya tak bisa berkumpul bersama kakak laki-laki, kakak ipar, dan para keponakannya, ia bisa menikmati sahur pertama bersama Abah, Ummi, dan keluarga Zaid.
Hanya saja, Nusaiba tak bisa terlalu lama menikmati kebersamaan itu. Usai menikmati makan sahur bersama, Nusaiba bergegas pamit kembali ke kamar. Bukan ia tak ingin membantu membereskan bekas makan mereka, tetapi pusing di kepalanya masih kian terasa. Suhu tubuhnya masih hangat dan tenggorokannya tak nyaman, kering.
Semalam Zaid hampir tak bisa memejamkan mata. Tidur Nusaiba sangat gelisah dengan keringat membanjiri wajahnya. Tanpa gadis itu sadari bahwa semalam Zaid terus menjaganya sembari sesekali mengompres dahinya.
Zaid telah menyarankan Nusaiba untuk tidak puasa terlebih dahulu karena kondisinya belum pulih. Dokter juga menyarankan demikian. Hanya saja Nusaiba sulit diberi diberitahu. Zaid khawatir, karena Nusaiba hanya sahur dengan seteguk sereal.
"Makan kurma dulu, ya?"
Zaid menyusul Nusaiba ke kamar. Ia membawa beberapa biji kurma, air hangat, dan obat dokter yang harus diminum.
Nusaiba mendudukkan kembali tubuhnya. Kurma yang suaminya ulur, diterima lalu dimakan.
"Lagi?"
Nusaiba menggeleng.
"Ya, udah. Minum obatnya dulu."
Melihat beberapa butir obat yang Zaid ulurkan, ditatap Nusaiba horror. "Aku udah mendingan, kok. Nggak perlu obat lagi."
Tentu saja Zaid tak akan percaya begitu saja. Dahi gadis itu diraba, bukannya membaik seperti yang Nusaiba bilang, melainkan semakin memburuk. Suhu tubuhnya lebih hangat dari sebelumnya.
"Jangan puasa aja dulu, ya? Badanmu makin hangat."
Zaid ditatap tak suka. "Yang punya badan siapa, sih? Orang mau puasa kok malah dilarang?"
"Bukan melarang tanpa alasan, Cha. Kamu lagi sakit. Nanti kalau sudah sembuh, mau puasa 24 jam juga saya izinkan."
Nusaiba melotot. "Biar aku langsung koid, ya? Biar nanti kamu bisa balikan sama Olip-Olip itu."
"Ya, Allah. Kalo ingin kamu koid, udah dari awal saya kasih racun ke makanan atau minumanmu. Buat apa sekarang saya susah payah nyuruh kamu makan dan minum obat kalau ujung-ujungnya saya ingin kamu mati?"
"Siapa tau hanya settingan, kan? Karena ada Abah sama Ummi di depan."
"Terserah kamu, deh, Cha. Minum obat ini." Zaid mendekatkan obat ke bibir Nusaiba. Gadis itu hanya tinggal membuka mulut, dan Zaid siap menyuapi. Tapi, Nusaiba tak akan patuh begitu saja.
"Remukin dulu di sendoknyaa."
"Waduh? Jadi, dari tadi minum obat pake remukin dulu?" Zaid terkekeh. "Kalah sama Zidan ini."
Nusaiba tak peduli. Sejak dulu ia minum obat memang seperti itu. Tak peduli jika ia dibilang anak kecil. Obat orang dewasa itu pahit. Nusaiba tak kuat jika tak diremukkan.
"Itu, airnya air gula, kan?"
Alis Zaid terangkat. "Jadi? Udah pake remukin, minumnya air gula juga?" Kemudian ia menggelengkan kepala.
"Nggak ada air gula, nggak mau."
Zaid tercengang, sebelum berkata, "Saya jadi punya dua balita di rumah ini," lantas beranjak menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusaiba (Tamat)
RomanceEvent Novelet Romance-Religi Batik Publisher. "Ternyata kamu nggak jujur soal statusmu saat hendak melamarku. Kamu adalah pendusta besar yang sembunyi dalam balutan baju koko." Nusaiba Nusyaibani Yusuf