"Dengerin penjelasan Abang dulu."
Marah, kesal, dan juga timbul perasaan benci di hati Nusaiba. Entah pada orang tuanya atau mungkin pada pria yang kini telah menjadi suaminya.
Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman sang istri, Zaid berusaha menjelaskan hingga mengejar Nusaiba yang hendak mengunci diri di kamar. Beruntung, Zaid berhasil menahan pintu yang hendak Nusaiba banting.
Setelah sempat beradu kekuatan, Zaid berhasil menahan tangan Nusaiba yang terus memukulinya. "Dengerin penjelasan Abang dulu."
"Buat apa lagi dijelasin, ha? Semuanya terlambat. Aku tetap menjadi istri nomor dua, dan menikah dengan duda ber-anak satu. Aku terlanjur kecewa sama kamu!" Nusaiba menyentak tangan Zaid yang mengunci tangannya. "Kenapa kamu nggak jujur soal statusmu saat melamar aku dulu? Maksud kamu apa? Takut jika lamaran kamu ditolak?" Gadis itu berdecih, kemudian melipat tangan di dada. "Apa karena merasa statusmu yang bukan bujangan lagi itu, kamu takut ditolak, dan nggak ada yang sudi jadi Ibu buat anakmu itu? Ck, kamu licik."
"Bukan seperti itu, Saiba."
Nusaiba melotot. "Saiba, Saiba! Aku bukan orang India!"
"Iya, iya. Maaf." Zaid menggaruk belakang kepalanya. "Kamu salah paham, Cha. Bukan seperti itu."
"Lalu apa?!"
Meredam emosi sang istri yang telah mencapai ubun-ubun, secara lembut Zaid mengajaknya duduk di pinggiran ranjang.
"Duduk aja sendiri! Duduk aja mintak temenin," marah gadis itu.
Bukannya takut, Zaid malah ingin tertawa sekarang. Wajah sang istri tampak lebih cantik ketika marah. Sepertinya Zaid benar-benar telah terhipnotis cinta Nusaiba. Tapi, karena keadaan mereka saat ini tengah panas, Zaid menahan diri untuk tak tertawa. Ia memasang wajah serius sekarang. "Cha."
Nusaiba membuang muka.
"Abang ...."
"Abang, Abang! Abangku cuman dua. Nggak ada lagi selain mereka. Kalo mau kupanggil Abang, jadi tukang shomay, noh." Nusaiba menyela Zaid yang hendak bicara serius. Gadis itu agak geli mendengar pria itu menyebut dirinya Abang.
Menghela napas, Zaid meralatnya. "Saya nggak pernah bohong soal status saya yang udah punya anak. Saya menceritakan semuanya tentang diri saya bahkan yang terburuk sekalipun pada Abah. Saya pikir, Abah udah menceritakan semuanya sama kamu. Saya nggak bermaksud berbohong."
"Abah itu udah terpengaruh sama bujukanmu. Kamu nyogok Abah, ya? Mentang-mentang donatur tetap, seseenaknya mau lamar anak gadis Abah."
Lagi-lagi Nusaiba salah paham. Bagaimana Zaid bisa menjelaskan jika gadis itu tetap menyela perkataannya dan menuduh yang tidak-tidak tentang dirinya?
"Bisa kasih saya kesempatan menjelaskannya dulu?" Zaid mulai kehabisan kesabaran. Wajahnya berubah datar, tak ada lagi gurat senyum manis di wajahnya.
Menyadari itu, Nusaiba mulai takut. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bagian dalamnya.
"Saya nggak bermaksud berbohong. Ketika saya melamar kamu, kita hanya dipertemukan satu kali saat di rumah ini dulu dan kita nggak sempat bicara banyak. Saya sudah menyerahkan semua cerita tentang diri saya sama Abah, termasuk tentang Zidan. Meski begitu, saya tetap ingin minta maaf jika seandainya kamu merasa dibohongi oleh diri saya." Zaid mengulurkan tangan kanannya. "Duduk di sebelah saya."
Nusaiba tak langsung mengiyakan. Zaid mendesah. Ia berdiri, lantas menarik pelan Nusaiba agar mau duduk di sebelahnya. Setelah itu, Zaid berjongkok. Kedua telapak tangan Nusaiba digenggam, lantas menatap wajah gadis itu lekat sembari berkata, "Kamu bukan istri ke dua. Kamu adalah istri saya yang pertama dan In Syaa Allah akan menjadi istri saya yang terakhir hingga akhir hayat nanti."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusaiba (Tamat)
RomanceEvent Novelet Romance-Religi Batik Publisher. "Ternyata kamu nggak jujur soal statusmu saat hendak melamarku. Kamu adalah pendusta besar yang sembunyi dalam balutan baju koko." Nusaiba Nusyaibani Yusuf