"Hari ini masak apa bi?" tanya Carrisa sembari berjalan ke meja makan dengan rambut berantakan serta wajah yang masih menahan kantuk.
"Eh, non Risa..baru bangun?" Tanya Bi Endah sembari menaruh beberapa lauk pauk yang sudah dimasaknya menjelang siang tadi. Bi Endah ini adalah satu-satunya teman Carrisa ketika di rumah. Orang tua Carrisa sudah tidak lengkap lagi, selepas peninggalan Ibunya yang meninggal akibat kecelakaan tujuh tahun lalu Carrisa lebih suka menyendiri. Karena sebelum ada Bi Endah, yang mengurus Carrisa adalah ibunya. Apalagi ayahnya sibuk bekerja di luar negeri sebagai tour guide pariwisata. Maka dari itu, Carrisa sangat menyayangi Bi Endah, karena hanya beliau yang beberapa tahun terakhir selalu hadir dan ada untuk Carrisa.
"Iya bi, hari ini gak ada jadwal kuliah jadi bebas hehe."
"Ini bibi masak makanan kesukaan non, ayam kecap sama kentang balado."
"WAAAAAAH!!!, MAKASIH BIBI!!!" jawab Carrisa yang senang sekali sembari memeluk Bi Endah.
Itu lah Carrisa, Carrisa Abigail. Perempuan yang selalu bangun siang ketika kegiatan perkuliahannya libur. Perempuan yang jarang sekali keluar rumah karena rasanya lebih penting beristirahat ketimbang harus jalan sana-sini. Di rumah, Carrisa lebih senang melukis. Baginya, tangan yang kotor akibat cat, dan kanvas besar yang tergambar meski kadang sangat abstrak adalah sebuah kepuasan tersendiri. Apalagi ia sangat jarang mempunyai waktu banyak untuk sekadar melukis satu kanvas saja. Hobi ini tidak semata-mata ia peroleh begitu saja. Tapi itu semua berawal ketika ia diterjunkan oleh Ibunya untuk masuk les melukis sewaktu kecil. Karena menurut mendiang ibunya, "melukis adalah penyaluran emosi. Mengekspresikan apa yang tidak bisa diungkap oleh kata-kata. Jika kata-kata bungkam, setidaknya masih ada gambar yang mampu berbicara." Hal itu yang membuat Carrisa jatuh cinta dengan kanvas dan seperangkat cat serta alat-alat lainnya. Selain itu, melukis baginya juga sebagai obat rindu sepeninggalan ibunya. Mungkin sekarang, salah satu impiannya adalah membuat pameran karyanya sendiri. Meski ia enggak tahu apakah itu bisa terealisasikan atau tidak. Tapi, namanya mimpi harus terus hidup, kan?
***
"Bzzztttt...bzzztttt..." Tiba-tiba handphone Carrisa berbunyi, ia lekas mengecek siapa orang yang berani-beraninya mengganggu jatah liburnya. Ternyata itu dari Meira, sahabat satu-satunya sejak SMA. Sekarang mereka satu kampus, tapi enggak satu fakultas.
"Heeeeeloooooow Carrisa!!!"
"Ngapa nyet? Ganggu gue aja lo." Jawab Carrisa cengengesan.
"Yaela biasa aja kali mbaaaa, lo kenapa? Ada yang ngasih tau gue, kalau lo kemaren ribut?" tanya Meira yang penuh penasaran.
"Gapapa, aman kok. Cuma emosi aja dikit, nanti juga gua niatnya mau minta maaf."
"wiiiiii, seorang Carrisa Abigail yang pinter tapi kepala batu ini mau minta maaf hahaha." Sudah kebiasaan Meira ini untuk meledek sahabatnya sendiri.
"Ya emang gabole heh? Lagian gue kayanya keterlaluan deh. Kemaren gua siram tuh orang terus tugas akhirnya basah semua." Jawab Carrisa dengan nada bersalah.
"Ih parah juga lo, kalau gue yang jadi dia sih pasti nolak buat ketemu lo lagi hahaha." Ledek Meira dengan cengengesan.
"..."
Carrisa lalu menutup telfon, dan menaruh handphone-nya begitu saja. "Apa iya, dia bakal semarah itu?" Gumam Carrisa dalam hati. Memang, dihantui rasa bersalah itu enggak enak banget. Dan Carrisa sedang ada di posisi itu sekarang. Ia bingung lantaran harus meminta maaf, tapi takut ditolak mentah-mentah. Atau bahkan dipermalukan di depan umum, seperti yang ia lakukan terhadap laki-laki itu. Carrisa juga enggak tahu harus cari laki-laki itu di mana? Fakultas apa? Sempat ingin mengurungkan niat, tapi kayaknya ia akan merasa sangat jahat jika tidak meminta maaf. Akhirnya ia meminta bantuan Meira untuk mencari informasi tentang laki-laki itu. Untuk urusan ini memang sudah biasa bagi Meira, karena memang keahliannya sebagai stalker handal. Meira pernah bilang sama Carrisa kalau dia itu sebenarnya adalah CIA. Bukan, bukan Central Intelegence Agency. Melainkan Cewek Intelejen Amatir. Aneh, ya? Semoga kelak Meira bisa gabung CIA yang beneran deh, aamiin. Carrisa lalu menelfon kembali Meira dan memberi tahu ciri-cirinya. Ia tidak ingat semua, tapi yang jelas laki-laki itu memiliki rambut agak panjang, dan drawing tube yang penuh stiker.
***
"Bzzztttt...bzzztttt..." Malamnya, Carrisa mendapati handphone-nya berbunyi. Panggilan dari Meira, sahabatnya yang sudah diutus olehnya untuk mengemban misi penting.
"Kelinci 1, kelinci 1...ganti." Ucap Meira dengan nada seperti orang berbisik.
"Heh, kenapa sih lo mei?" tanya Carrisa heran.
"Ih biar kayak intel beneran." Jawab Meira berusaha meyakinkan.
"Terus? Kenapa kelinci?" tanya Carrisa yang semakin penasaran.
"Gatau, tiba-tiba gue inget giginya Pak Hendar HAHAHA."
"HAHAHAHA."
Mereka berdua tertawa lepas, saling melempar candaan. Saling mengingatkan hal-hal konyol yang pernah dilakukan. Padahal, ceritanya sudah sangat lama dan kerap kali diulang-ulang. Tapi tawa mereka tetap sama. Penuh kegembiraan, menandakan bahwa persahabatan mereka adalah hal yang enggak bisa didapat semua orang. Sampai akhirnya pembicaraan mereka pada sampai inti. Tentang laki-laki yang identitasnya sedang dicari-cari oleh Carrisa. Dan detik ini juga keabsahan Meira sebagai CIA diuji. Meira bilang bahwa ia telah menemukan laki-laki tersebut. Dan akan mengirimkan beberapa fotonya untuk konfirmasi. Mendengar hal itu Carrisa lega, dan berjanji pada Meira akan mentraktirnya di warung Pak Hendar. Tidak lama telfon mereka berdua mati. Dan Carrisa tinggal menunggu kabar terbaru dari Meira mengenai foto yang akan dikirimnya. Selang setengah jam berlalu, tiba-tiba ada chat masuk dari Meira.
"Ini bukan orangnya?" Meira memastikan setelah mengirim foto laki-laki itu pada Carrisa.
"AH, IYA BENER!!!" Carrisa yang tadinya tiduran sontak bangun dan sangat terkejut. Carrisa lantas menanyakan segala detailnya pada Meira. Seperti dugaan sebelumnya, laki-laki itu adalah mahasiswa fakultas seni rupa angkatan 2015 yang sedang sibuk-sibuknya mengurus tugas akhir. Ketika Carrisa tanya siapa nama laki-laki itu, Meira justru enggan memberi tahu. Biar saja nanti Carrisa yang menemui laki-laki itu dan berkenalan langsung. Meira akhirnya hanya memberi informasi di mana laki-laki itu sering nongkrong di kampus. Lebih tepatnya di DPR (Di bawah Pohon Rindang). Tempat nongkrongnya anak-anak fakultas seni rupa, mulai dari yang angkatan lama sampai angkatan baru.
Carrisa lega lantaran sudah mendapatkan informasi yang ia inginkan berkat sahabatnya Meira agen CIA. Kini langkah selanjutnya adalah memikirkan kata-kata yang tepat untuk meminta maaf pada laki-laki itu. Carrisa lantas mengambil kertas, dan pulpen. Menuliskan beberapa kalimat permohonan maaf di kertas tersebut untuk kemudian ia lafalkan.
"Gue salah, gue minta maaf.."
"Kemaren gua keterlaluan. maaf, ya?"
"Arrrrghhhh, gimana ya yang pas!" Carrisa kesal sendiri dan meremuk kertas itu lalu melemparnya ke sudut kamar. Carrisa pasrah, bia nanti itu urusan belakangan. Ia akan bergantung pada mulutnya sendiri terserah mau bagaimana. Ia menghela napas, dan melihat jarum jam sudah menunjukan pukul 01:45 pagi. Ia rasa, cukup untuk hari ini yang sudah berhasil menguak rindu, memecah tawa, dan sedikit menguras emosi. Kali ini ia tidur dengan hati yang sedikit agak lega. Beristirahat, karena ada kelas pagi yang enggak boleh telat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda tanya
General FictionTentang banyaknya pertanyaan yang mengisi kepala, mengisyaratkan sesuatu yang bertuju pada satu hal. Terus berpikir sebelum akhirnya mengambil langkah. Seperti mencari jalan pada sebuah permainan papan. Maju atau mundur, disesuaikan dengan keadaan.