Bagian 6 (Bulan dan Matahari)

11 1 0
                                    

"Kita bagaikan bulan dan matahari yang tidak bisa bersatu dalam jangka waktu yang lama"

Diriku tahu, bahwa bulan dan matahari tak bisa bersatu.
Namun, bolehkan aku menyapamu ? Sekali lagi ?
Bolehkah aku mendekapmu sekali lagi ?
Bukan untuk memilikimu. Namun, hanya untuk menebus kesalahanku di masa lalu.

Maafkan aku, June. Karena telah datang tiba-tiba.
Jika berkenan, aku akan menjemputmu akhir pekan ini. Izinkan aku untuk berpamitan secara baik-baik kepadamu.

Alvin.

Diriku mulai merebahkan tuhuhku di kasur dari posisi dudukku. Hujan tampak romantis dengan suara gerimis tipisnya yang menyentuh atap rumahku. Seolah, semesta benar-benar mendukung perasaanku. Namun anehnya, diriku seharusnya sudah merobek surat yang ada digenggamanku saat ini. Nyatanya, diriku berusaha menenangkan egoku dan menetralisir pikiranku dari masalah-masalah yang ada. Mulai dari masalah di lokasi syuting, sampai masalah kak Alvin yang meminta bertemu kembali meskipun diriku sebentar lagi akan menikah. Huh, sungguh frustrasi!

Diriku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata.
"Huftt" helaan nafasku yang cukup keras.
"Lalu aku harus bagaimana ?" Gumamku pada kesunyian.

Diriku mengambil langkah menuju jendela rumahku yang mengarah keluar rumah. Melihat hujan yang membasahi pohon dedalu yang hampir menutupi sebagian jendelaku. Diriku membuka jendelaku untuk mendengarkan dengan jelas suara hujan yang menenangkan itu. Nafasku mulai kuatur untuk menenangkan pikiran. Mencerna apa yang harus kuputuskan. Sepuluh detik. Mungkin aku hanya butuh sepuluh detik untuk memutuskannya. Ah, tidak. Sepertinya diriku hanya perlu tiga detik untuk memutuskannya.

Ya, diriku memutuskan untuk tidak menemuinya. Namun, diriku juga belum yakin akan keputusan yang telah kuambil ini. Entahlah, hati kecilku berbisik agar menemuinya. Walau hanya sekali. Namun, logika berkata, tidak perlu untuk menemuinya. Ya, walaupun masih ada rasa yang mengganjal dan diriku selalu merasa marah ketika membahasnya kembali.

***

Suara burung pipit mulai berkicau dan beberapa ada yang hinggap di pohon dedalu depan jendelaku. Matahari mulai menyapa kamar tidurku dengan cahayanya yang masih lembut. Tanpa kusadari, diriku tertidur dibawah jendela dengan posisi duduk dan tanganku memeluk kedua lututku. Tentu saja, ketika bangkit, diriku terasa sakit di sekujur tubuhku. Lalu, diriku mulai keluar dari kamarku dan pergi menuju ruang makan yang kebetulan sudah ada ibuku yang sudah memasak sesuatu.

"Hmm... Bubur ayam, ya ?" Diriku berlarian kegirangan menuju dapur untuk melihat ibu memasak bubur ayam kesukaanku.

"Kamu emang paling jago kalau disuruh nebak masakan. Tapi kalau disuruh nebak perasaan sendiri paling susah"

"Ibuuuuu"

"Hahaha, apa ibu salah ?"

"Aku sekarang nggak gitu, Bu" tegasku sambil mencicipi ayam goreng.

Ibu hanya tersenyum dan melanjutkan memasak bubur yang hampir matang.

"Tunggu di meja makan sana!" Perintah ibu.

Secara langsung diriku langsung menuruti perintah ibuku sambil tetap memakan ayam goreng yang ada di tanganku.

"Kamu ada masalah apa?" Tanya ibu secara tiba-tiba.

Mukaku kebingungan. Ayam goreng yang mau kumasukkan kedalam mulutku akhirnya harus  tertahankan.

"Kenapa, Bu? Kok tiba-tiba nanya begitu ?"

"Ibu hanya merasa ada yang sedang kamu pikirkan"

Diriku memilih untuk diam dan tidak menggubris pertanyaam dari ibuku.

"Ceritalah kalau kamu sudah siap, nak"  Ucap ibuku sambil meletakkan bubur di meja makan.

Diriku masih melanjutkan memakan ayam gorengku.

Tiba-tiba, mulutku bergerak secara spontan. "Kak Alvin mengajakku bertemu, bu"

Ibu yang sedang menuangkan air ke dalam gelas itu, seketika menghentikan aktivitasnya dan tiba-tiba menatapku dengan tatapan kaget.

"Alvin ? Alvin siapa ?"

"Alvin, bu. Orang yang pernah dekat denganku waktu aku masih di bangku SMP." Tegasku.

"Aku belum pernah cerita ke ibu ya ?" Lanjutku.

"Ah, i-iya belum." Ucap ibu terbata-bata seperti ada yang sedang disembunyikan.

"Dengan alasan apa dia mau mengajakmu bertemu ?" Lanjutnya.

"Katanya sih, dia mau menyelesaikan masalahnya dulu. Tapi, menurutku semuanya itu sudah selesai. Bahkan, diriku sudah melupakannya."

"Benar ? Sudah lupa? Sudah bisa ikhlas ?"

Mendengar perkataan ibu, diriku langsung terdiam dan melamun sebentar. Dalam benakku, diriku mulai berfikir bahwa memang benar diriku belum bisa melepaskannya dan berpindah ke lain hati. Namun, menemuinya juga bukanlah jalan yang tepat bagiku.

"Temuilah dia." Ucap ibu sambil menggenggam tanganku. "Mungkin, dia hanya ingin melepaskan ikatannya kepadamu yang sulit kau lepaskan seorang diri"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Lapar, Ayo Kita Makan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang