Bagian 3 (Pertemuan yang Terakhir, Mungkin ?)

38 2 2
                                    

"Jika tak sanggup untuk mengakhiri, setikdaknya mampu untuk menghadapi"

Jam dinding menunjukkan pukul 7 malam. Diriku sudah siap menuju Bandar Udara Internasional Adisutjipto untuk bertemu dengan kak Alvin. Dia cinta pertamaku, seseorang yang pertama kali bisa membuat hatiku luluh. Mungkin keputusanku untuk menemuinya adalah hal yang gila, dimana diriku 1 tahun kedepan akan menikahi seseorang yang begitu sempurna dimataku, Daniel. Pikiranku kacau. Diriku terdiam diatas kasur. Duduk termenung dengan melihat gemerlap cahaya yang terpancar dibalik jendela. Diriku merasa bersalah jika tak memberitahu Daniel tentang ini. Akhirnya, diriku mencoba menghubunginya.

"Halo, Daniel ?" Suaraku terdengar pelan dan ragu.
"Kenapa, June ?"
"Aku ragu untuk mengatakannya"
"Coba katakan dulu." Ucap Daniel mencoba meyakinkanku.
"Kak Alvin mengajakku ketemuan di Bandara jam 8 nanti." Ucapku dengan penuh keraguan "Kalau kamu nggak suka, aku gak bakal pergi kok." Lanjutku.
"Coba kamu ikuti kata hatimu. Kalau kamu ingin mengakhiri semua dan itu baik untuk dirimu, aku nggak bisa melarangnya. Aku nggak mau ngebuat kamu menyesal hanya karena keputusanku."
"Kamu nggak cemburu ?"
"Cemburu itu adalah hal yang wajar. Tapi terlalu mengekang juga tidak baik."
"Terima kasih banyak, Dan."
"Kita sudah berteman cukup lama, June. Kita hanya perlu saling percaya dan tetap menjaga setia."
"Sekali lagi terima kasih, Dan."
"Nanti kalau sudah selesai, segera hubungi lagi, ya."
"Siap, bos!"
Kututup telfonku dan diriku pergi menuju Bandara. Di perjalanan, diriku tampak ragu. Jika diriku bilang sudah tidak ada rasa lagi padanya, itu adalah sebuah kebohongan yang besar. Tentu saja, karena dia adalah seseorang yang dulunya ingin kumiliki, tapi malah pergi dengan yang lain. Dan sekarang, tiba-tiba menghubungi lagi seperti tak ada dosa sama sekali.

"Mbak..." tegur pak supir taxi. "Mbak, sudah sampai." Ulang pak supir. Kali ini sambil menepuk di depan wajahku.
"Ah, iya, Pak." Lamunanku buyar dan saatnya aku menghadapi semuanya.

Setelah membayar biaya taxi, diriku memberanikan diri untuk melangkah. Tanpa kusadari, dia tengah menungguku di depan toko roti yang memiliki desain vintage itu. Aku mendekatinya. Dari kejauhan, kulihat sesekali dia menatap jam seolah-olah dia sedang menunggu datangnya seseorang.

"Ha.. Hai" sapaku dengan nada canggung.

Dia menoleh kearahku dengan tatapan yang sumringah. Seolah-olah dirinya sudah menantiku datang.

"Hei, June! Kamu mau aku pesenin kopi ?"

Diriku mengangguk, menandakan diriku setuju dengan dirinya. Tanpa aba-aba, diriku langsung duduk di tempat duduk yang terbuat dari kayu jati itu. Selang 10 menit menunggu, akhirnya dia datang dengan membawa segelas es Cappuccino, kopi kesukaanku.

"Masih ingat apa yang jadi favoritku ?" Ucapku dengan wajah datar sambil mengambil kopi dari genggamannya. Diriku berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol ekspresiku agar tidak terlihat senang bertemu dengannya.

"Aku juga masih ingat ketika kamu bilang, kalau kamu suka aku."
"Lupain!" Rasanya kayak ada petir di siang bolong. Kaget, tiba-tiba dia bahas masa lalu itu.
"Semakin kesini, aku semakin menyesal sudah nolak kamu."
"Kalau kamu nerima cintaku sekarang itu udah terlambat, kak. Aku gak ngerti ini anugerah atau malah jebakan, yang pasti aku gak mau pernikahanku nanti hancur gara-gara kamu tiba-tiba datang dan mau menerima cintaku."

Aku berdiri meninggalkan kak Alvin. Diriku serasa diatas kapal nelayan kecil yang sedang terombang-ambing oleh ombak lautan. Aku menoleh kebelakang, terlihat kak Alvin sudah meninggalkan persinggahannya. Tak terasa, air mata mengalir di pipiku. Diriku sedikit menyesal. Namun aku tahu, ini semua adalah jebakan. Bisa jadi itu semua adalah bualan yang ingin menghancurkan pernikahanku saja.

Aku Lapar, Ayo Kita Makan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang