Bagian - 18

826 43 2
                                    

Anne penuh semangat pagi ini. Ia sudah siap berangkat sekolah bahkan ketika jarum jam masih bertengger di angka 6 dan 12. Anne tak sabar memberikan "hadiah"-nya kepada Devan. Ia sungguh-sungguh ingin memberikan ucapan selamat atas dilantiknya sang sahabat menjadi wakil ketua Aksara.

Ponsel gadis itu berbunyi ketika ia hendak menyantap makanan katering yang telah dipesan mamanya.

Devan is calling ...

"Halo, Devan. Aku udah siap-"

"Anne hari ini berangkat ke sekolah sendiri dulu ya, sayang."

Itu bukan suara Devan, melainkan Ratna.

"Devannya ke mana, Tante?"

"Devan nggak masuk dulu hari ini."

"Loh kenapa?"

"Ehm, pokoknya Anne berangkat sendiri dulu, ya. Suratnya nanti Tante yang antar ke sekolah. Maaf ya, sayang."

"Iya nggak papa, Tante. Tapi Devan nggak sakit, kan? Aku takut dia kecapekan habis diklat kemarin."

"An, Tante tutup dulu, ya. Lagi buru-buru. Hati-hati berangkatnya, sayang."

"Oke, Tante."

TUT TUT

Panggilan berakhir. Tampaknya seharian ini-lagi-lagi-pikiran Anne akan dipenuhi perihal Devan.

Ratna tak bisa menahan kepanikannya ketika ia mendapati Devan meringkuk di balik selimut dengan tubuh menggigil. Pakaian anak itu masih sama dengan yang kemarin, jadi kemungkinan ia sudah dalam kondisi demikian sejak pulang diklat.

Ratna merasa bodoh tidak mengecek keadaan Devan dengan cermat. Ia sempat mengintip kamar Devan semalam dan melihat anak itu sudah bergulung selimut, tidur dengan memiringkan tubuhnya ke arah kiri seperti biasa. Ratna pun mengira Devan sedang istirahat. Tak pernah diduganya jika di balik selimut itu tubuh Devan sedang bertarung dengan entah apa yang membuatnya kesakitan.

Devan memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, tampak berusaha bernapas meraup udara. Sesekali terdengar deru napasnya yang berat, tetapi lambat. Jeda antara helaan dan hembusan udara dari mulutnya cukup lama.

Ratna semakin panik ketika tubuh Devan tak henti-hentinya menggigil. Ia meraba dahi anak itu dan seketika terkejut ketika kulitnya bertemu kulit wajah Devan yang sangat dingin. Ratna mengambil termometer. Netranya membelalak kala melihat angka yang tertera di sana: 33°C.

Ratna menepuk pipi Devan pelan sembari berbisik memanggilnya.

"Devan, Devan dengar Mama?"

Bibir itu saling menggeletuk tanpa mengeluarkan suara apa pun, selain rintihan pelan.

"Devan, kamu dengar Mama? Adek?"

Ratna menepuk sekali lagi kulit pipi yang pias itu. Tak ada respons dari Devan.

"Ayah!" Ratna berlari ke luar kamar untuk memanggil-dengan teriakan-Andri yang tengah menikmati sarapan di lantai bawah.

Mendengar teriakan sang istri, Andri bergegas menghentikan aktivitasnya, kemudian melangkahkan kaki menuju asal suara di lantai dua.

"Ayah, Ayah ini gimana?! Devan dingin banget. Mama panggil nggak respons. Kita ke rumah sakit sekarang, ya!"

Andri berusaha menenangkan sang istri yang sudah kacau.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang