♦ The Boy With Trembling Hands

691 112 20
                                    

"Apa yang kau ingat malam itu?" suara pria di hadapannya sudah sangat lembut, tapi tangan bocah lelaki berumur 8 tahun itu tidak berhenti bergetar, tidak tertenangkan.

Semenjak kejadian itu, berbicara merupakan hal yang cukup sulit untuknya. Ia hanya akan menjawab dengan anggukan dan gelengan, menghindari kontak mata maupun fisik sebisa mungkin.

Di ruangan itu, banyak sekali rak tinggi yang berisikan buku-buku besar bersampul warna membosankan. Tapi di meja kerja pria itu selalu ada toples berisi makanan ringan atau manisan-manisan lain yang pasti disukai anak kecil. Tempatnya tampak benar-benar kolot, tapi tidak berdebu,  semuanya terawat dengan baik tanpa desain yang ditambah-tambahkan.

Yang tercium dari ruangan ini adalah wangi kayu manis, mungkin terbawa angin yang berhembus dari jendela besar di belakang kursi bapak itu. Tidak mengherankan juga sih, habisnya di seberang taman kecil di luar ruangan itu memang terdapat dapur yang sangat favorit dipakai istrinya memasak.

"Soobin-ah," dipanggil lagi lembut, refleks yang direaksikan tubuhnya adalah meremat sweater hitamnya. Hal yang membuat Soobin terkejut adalah betapa sabarnya lelaki ini menanyainya setiap hari, tidak pernah komplain barang sedikitpun meski Soobin tidak memberikan jawaban (selain fakta bahwa lelaki ini adalah orang asing yang secara mengejutkan lancar berbahasa Korea.).

"Baiklah, apa yang kau lihat?" Lelaki itu mengambil secarik kertas dengan gambaran abstrak bercat hitam, menunjukkannya ke arah Soobin. Sementara ia belum menjawab, lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Soobin, memberikan kontak mata seperlunya, memenuhi standar terapi traumatik dalam segala aspek.

Yang kurang hanyalah kesediaan Soobin membuka dirinya, tapi kita pun tidak dapat menyalahkan bocah malang yang tertimpa kejadian mengenaskan itu.

"Darah." cicit Soobin.

"Darah? Lalu yang ini?" diambil lagi kertas lain dengan bentuk abstrak berbeda.

"Darah."

Terapisnya mengambil pensil lalu menuliskan beberapa kata di buku catatannya. Dilihat dari reaksi kognitif anak ini, trauma yang ia alami sangatlah mendalam.

"Soobin maukah kau duduk bersandar untukku?"

Soobin mengangguk, menggeser tubuh kecilnya agar menempel pada sandaran kursi, sepasang kaki kecilnya menggantung di udara sekarang.

"Terima kasih, Soobin-ah, sekarang boleh tutup matamu?"

"What keeps you up at night?"

✖♦✖

Malam itu sang luna sama sekali tidak menunjukkan hadirnya, cahaya temaram yang biasa menembus tilai jendela kamar sudah jelas tiada.

Malam itu pula, Choi Soobin tidak bisa tidur di kasurnya. Ia sudah berguling-guling disana mungkin puluhan kali, tapi kelopak matanya tidak menutup atau memberat barang sedikitpun. Ada rasa gelisah yang bergejolak, tapi entah apa alasannya.

Matanya menerawang kanopi tinggi di kamarnya yang besar. Ia sendirian kala itu.

Yang pertama kali menangkap atensi bocah ini di tengah hening malam adalah suara anjing peliharaannya yang menggonggong beberapa saat, namun kembali senyap secara tiba-tiba.

Ada suara langkah kaki, ada suara gemerisik.

Ia kira ia berhalusinasi karena mendengar cerita seram dari pembantu-pembantu rumahnya. Sedikit yang ia ketahui bahwa semua itu bukan delusi sama sekali.

Four Aces and The Joker || TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang