E M P A T

26 4 3
                                    

Setelah kejadian pertemuan Mario dan Raisa di coffe story tempo hari, membuat Mario diam mengurung diri di kamar. Maura mulai kesal dengan tingkah Mario yang masih kekanak-kanakan. Maura sangat tau betul apa penyebab hubungan mereka kandas. Hanya karena kesalahpahaman. Tapi ego mereka terlalu tinggi untuk bertegur sapa lagi.

"Mario!!!" Teriak Maura sambil menggedor pintu kamar Mario. Beginilah Mario kalo sedang galau dia mengunci diri di kamar. "Bangun, io!!! Lo kuliah pagi woy!!!" Teriaknya lagi.

"Iya." Mario menyahut dengan malas dan membuka pintu sedikit.

"Buru mandi! Ntar lo telat." Maura berbicara dengan cepat dan pergi menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

Mario segera pergi mandi sebelum Maura makin ngamuk. Meskipun begitu, Mario selalu takut jika Maura sudah marah-marah. Kali ini Maura masih bisa menahan emosinya untuk tidak memarahi Mario. Kalo Maura marah bisa-bisa dia diam seharian tak mengajak ngobrol Mario sama sekali.

~0~

Gabriel membukakan pintu mobil untuk Feby. Mereka baru saja tiba di parkiran kampus. Sejak kejadian hari sabtu kemarin, Gabriel terus mengikuti kemana pun Feby pergi. Feby sendiri juga tak enak kalo harus menolak Gabriel. Selain itu, Gabriel juga selalu memaksa dan tak suka ditolak.

"Thanks ya, iel! Gue duluan ya!" Pamit Feby pada Gabriel. Kebetulan mereka berada di jurusan yang berbeda. Gabriel anak hukum dan Feby anak psikolog.

"Okay, ntar balik bareng ya?" Gabriel tersenyum sambil melambaikan tangannya. Feby tak menghiraukan ucapan Gabriel dan bergegas menuju gedung psikolog.

"Duh apa yang harus gue lakuin biar dia ngejauh?" Gumam Feby saat baru tiba di gedung psikolog.

"Siapa yang mau lo tolak?" Maura merangkul bahu Feby. Entah sejak kapan Maura tiba-tiba muncul dari belakang Feby.

"Bukan siapa-siapa." Feby tak enak jika harus memberitahu Maura. Karena dia tahu Gabriel adalah sahabat Maura sejak SMA. Maura bukan tipikal orang yang kepo jadi dia tak terlalu memaksakan Feby untuk bercerita.

Hal itu lah yang membuat Feby merasa aman berteman dengan Maura. Selama sahabatnya membutuhkan waktu ruang untuk sendiri, Maura selalu memberikannya. Maura tau betul untuk menceritakan sesuatu ke sahabat itu gak gampang jadi dia membiarkan sahabatnya untuk cerita atau tidak.

~0~

Raisa baru saja memasuki kelas kuliah paginya. Dia duduk di tempat biasa dekat jendela. Terlihat Amila memasuki kelas dengan kesal dan langsung duduk di samping Raisa.

"Muka lo kenapa gitu?" Raisa heran dengan Amila yang tidak seperti biasanya. Amila adalah gadis yang ceria dan bersemangat. Tapi pagi ini dia terlihat kusut sekali.

"Ozy nyebelin sumpah." Keluh Amila mengingat kejadian tadi pagi Ozy menjemputnya tapi pake perang dulu.

"Yaelah, kalian mah tiap hari gak ada akur-akurnya." Raisa tertawa mengingat keduanya yang slalu berantem seperti dirinya dan Dayat.

"Tapi tadi dia nyebelin banget. Pake bilang gak usah dandan, udah dandan lama-lama tetep aja jelek, buang-buang waktu." Amila cerita dengan emosi yang memuncak. Dia tak habis pikir kenapa bisa bertahan dengan teman seperti itu.

"Hahaha Ozy ada-ada aja deh." Raisa tertawa membayangkan Ozy mengatakan itu hingga membuat Amila kesal.

"Aish! Lo kok malah ketawa sih." Amila semakin kesal karena Raisa malah menertawakannya. "Gue sebel tau." Amila beralih menatap ke depan dan diam. Dia juga jadi bete sama Raisa.

"Yah, bete dia." Raisa tak menghiraukan Amila karena sahabatnya satu itu tak pernah bisa bete lama-lama. Paling ntar juga cerewetnya kambuh lagi.

~0~

Milka duduk di bangku perpustakaan membaca buku kumpulan puisi. Dia selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan ketika kuliah kosong.

"Itu bukannya kak Irsyad?" Gumam Milka pelan saat melihat Irsyad berjalan melihat-lihat tumpukan buku sastra. "Oh dia suka baca sastra juga." Gumamnya lagi.

Milka yang terlalu gengsi memilih kembali membaca. Dia pikir nanti kalo Irsyad lihat dia paling juga di samperin. Baru saja Milka ingin kembali ke dunia sastra nya, dia melihat Irsyad tabrakan dengan seorang gadis. Mereka terlihat akrab, tapi Milka tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali membaca puisi saja.

Setelah Milka lelah membaca buku yang dia pegang, dia pun merasa bosan. "Udah jam berapa ya ini?" Gumam Milka sambil mengecek jam di tangannya. "Masih jam sebelas, dua jam lagi." Milka melihat sekeliling. Dia mendapati Irsyad membaca sendiri di pojok.

Akhirnya dengan sedikit melawan gengsi, Milka berjalan mendekati Irsyad dan menyapanya. "Hai kak Irsyad?" Sapa Milka sambil duduk di samping Irsyad.

"Eh gue bukan Irsyad, gue kembarannya." Jawab pria yang mengaku kembarannya Irsyad itu.

"Aduh maaf kak, gue gak tau kalo kak Irsyad punya kembaran." Milka malu dan merutuki keberaniannya menyapa orang yang salah.

"Gak papa, kenalin gue Arsyad." Arsyad tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

"Gue Milka, kak." Milka langsung menjabat tangan Arsyad dengan cepat. "Sekali lagi maaf ya kak." Tambahnya tak enak hati.

"Haha gak papa santai. Lain kali ditanya dulu kalo gak bisa bedain." Arsyad tertawa pelan.

"Iya kak, kalo gitu Milka permisi dulu ya kak." Pamit Milka sambil beranjak dari kursinya.

"Iya."

Milka buru-buru meninggalkan Arsyad di perpustakaan. Dia benar-benar malu dan tak tahu mukanya seperti apa sekarang. "Pinter banget sih lo pake sok-sok an buang gengsi." Gumam Milka sambil terus berjalan menuju gedung sastra.

"Milka!" Panggil seorang pria dari belakang Milka.

Milka pun langsung berhenti. Dia sudah hafal suara pria yang memanggilnya itu. Perlahan dia memutar badannya. "Apa mas?" Tanya Milka dengan santainya sambil melihat ke arah Cakka.

"Hai!" Sapa pria di sebelah Cakka yang tak lain dan tak bukan adalah Irsyad.

Milka benar-benar tak bisa berkutik, jantungnya berdetak begitu cepat setelah melihat Irsyad. "Hai kak!" Dia berusaha untuk tetap bisa menjawab sapaan Irsyad.

"Lo mau kemana dek?" Cakka mengalihkan perhatian Milka dengan mengajaknya ngobrol. Dia sadar betul bahwa adiknya sedang jatuh cinta. Cakka tersenyum melihat adiknya yang semakin beranjak dewasa.

"Kelas mas."

"Yaudah deh, sana kuliah!"

"Kalo gitu, Milka duluan ya mas, kak!" Pamit Milka sembari berjalan meninggalkan Cakka dan Irsyad.

"Adik lo lucu, ka." Gumam Irsyad pelan, entah Cakka mendengarnya atau tidak. Irsyad hanya ingin mengutarakan apa yang ada di hatinya.

~0~

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang