Bazaar, Sepatu, dan Motor.

120 24 10
                                    

.

.

.

Happy reading!

.

.

.

"Lha, lo Juang 'kan?"

'Mampus.'

Rajuang tak kunjung menjawab, otaknya sudah memerintahkan kedua tungkai untuk berlari dari si pemuda dengan wajah penuh keterkejutan juga tanda tanya.

Itu Ghifar, penghuni apartemen di sebelah miliknya.

Ia pun menggelengkan kepalanya, berharap bila senyuman kikuknya cukup untuk meyakinkan Ghifar bahwa ia bukanlah Rajuang.

Namun sepertinya, semesta tak memihaknya kali ini.

Alih-alih melenggang pergi, Ghifar justru tertawa sembari memutari tubuhnya. Rajuang bisa merasakan bahwa Ghifar tengah memandangnya dari pucuk kepala hingga kaki berbalut flatshoes hitam yang menjerit kesakitan miliknya.

"Anjir, gue nggak tau
lo punya hobi kayak gini."


Rajuang menggigit bilah bibir miliknya. Ia mati-matian berusaha menahan diri untuk tidak berteriak kesal dan mengundang banyak pasang mata untuk singgah memperhatikan mereka.

"Lo mending diem, bangsat," bisik Rajuang menusuk, kedua tangannya pun sudah terkepal sempurna. Ia malu, bukan perkara gunakan pakaian wanita, namun sebab ditertawakan oleh Ghifar.

Ditertawakan tidak pernah terasa nyaman, mengingatkannya kembali pada saat ia tertangkap basah hendak mencopet dompet seorang warga yang berakhir dengan ia diarak keliling kampung sembari diberi caci maki.

Ah, cerita masa lalu.

Ghifar pun, akhirnya, berhenti menelisik figur Rajuang yang terlihat benar-benar berbeda. Ia tidak dapat mengelak, lelaki garang yang sudah berhasil menghiasi wajahna dengan lebam minggu lalu terlihat mengagumkan luar biasa.

Sebuah senyuman terpatri pada paras, satu tangannya diselipkan dalam kantung celana bersama dengan selebaran yang ia terima tadi.

"Galak banget kayak maung.
Lagian, ngapain kayak gini?"


Rajuang, entah untuk keberapa kalinya, menghela napas. Lelah sudah benar-benar menggunung di atas pundaknya.

"Bagi selebaran," balas Rajuang malas.

Ghifar berdecak kesal, ia seakan tak puas dengan singkatnya balas yang didapatkan. "Ya gue tau lo bagiin selebaran, maksud gue buat apaan ini? Dalam rangka apaan?"

"Makanya lo baca selebarannya, dumbass."

Rajuang memutar matanya jengah, kesal juga ia berbicara dengan Ghifar yang ternyata tak hanya tolol, berdasarkan cara mereka pertama berjumpa, namun juga memiliki minat baca yang rendah.

Ghifar pun menilik lembar yang, sedianya, telah ia masukkan ke dalam kantung celana dengan segera. Bentuknya sudah tak lagi rapi, bekas lipatan asal muncul di sana dan sini. Jelas sekali, Ghifar sejatinya tak peduli.

Lantas, mengapa bertanya?

Ghifar pun tak tahu, malas, atau mungkin tak mau berpikir apa alasannya bertanya.

UNEXPECTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang