CHAPT-41 | Kecelakaan |(revisi)

420 21 19
                                    

Sudah dua minggu berlalu sejak Verlan menginjakkan kakinya di kota New York ini,tapi hingga saat ini ia masih belum bertemu dengan Berlin.

Ia sangat yakin kalau ini adalah Universitas yang Berlin tempati,tapi mengapa hingga saat ini ia belum melihat gadis itu.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan Verlan baru saja menyelesaikan jam kuliahnya.

Karena ia merantau sendiri dikota sebesar ini,jadi Verlan juga tidak membawa mobil ataupun motornya ikut bersamanya. Jadi,selama ia berada di New York ia hanya menaiki kendaraan umum kebanyakan.

Ia keluar dari gerbang kampusnya untuk mencari taxi,banyak kendaraan yang berlalu lalang,tetapi tidak saling menyalip atau kebut-kebutan,berbanding terbalik dengan padatnya kota Jakarta.

Verlan menolehkan kepalanya untuk melihat taxi,banyak juga teman sekampusnya yang baru saja menyelesaikan jam kuliahnya dan menunggu jemputan,jadi Verlan tidak merasa sendiri.

Saat matanya melihat ke arah sebuah cafe yang terletak dua meter tidak jauh dari kampusnya,ia mencoba menjelaskan pandangannya.

Seorang gadis dengan jaket tebal berwarna putih tengah duduk di cafe tersebut,sambil memainkan ponselnya.

Berlin?

Verlan segera menyeberang untuk menghampiri gadis yang sudah ia buat kecewa karena perlakuannya yang sangat bodoh menurutnya.

Verlan sudah berdiri tidak jauh dari Berlin yang saat ini tengah duduk masih tidak menyadari kehadiran Verlan.
Hingga Verlan memberanikan diri untuk berjalan lebih dekat dan menyapa gadis itu.

"Berlin?-"

Deg!

Berlin menghentikan bermain ponselnya,ia sangat mengenal suara itu. Tapi tidak mungkin juga Verlan menghampirinya hingga kesini.

Ia mencoba untuk mengangkat kepalanya untuk meyakinkan pendengarannya yang salah.

Berlin terkejut saat melihat Verlan tengah berdiri di depannya dengan baju putih yang dibalut dengan kemeja hitam dan juga ransel coklat yang disampirkan di lengan kanannya.

Nggak mungkin,batin Berlin.

"Hai?" Sapa Verlan dengan senyuman tulusnya.

Ia sangat merindukan laki-laki di depannya,melihat senyumnya saja ia hampir menangis. Berlin masih mengingat kejadian saat Verlan selalu membela Neta dan mengatakan kalau Berlin adalah pembohong,ia masih ingat dengan jelas.

Hanya beberapa detik saja mereka bertatapan,Berlin segera mengemasi buku-bukunya dan menyambar ponselnya denga kasar. Berlin beranjak dari tempatnya dan memberikan tatapan tajam pada Verlan.

Berlin berjalan melewati Verlan begitu saja tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun.

"Ber,gue minta maaf-" Berlin menghentikan jalannya sebentar.

Satu air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya yang ia tahan sedari tadi,dadanya naik turun merasakan sesak hingga membuatnya memejamkan matanya sebentar.

Ia kembali meyakinkan hatinya dan kembali berjalan meninggalkan Verlan,menghiraukan permintaan maaf dari cowok itu,ia sudah terlanjur sakir hati.

Berlin menyeberang untuk kembali kedalam kampus,siapa tahu ia bisa bertemu dengan seseorang yang ia kenal dan meminta bantuan untuk mengantar Berlin kerumah segera.

Verlan membalikan tubuhnya saat melihat Berlin yang pergi berjalan meninggalkannya dengan tergesa-gesa.

Hatinya sangat sakit melihat dirinya yang diacuhkan begitu saja. Ia harus menerima itu adalah karma yang sudah ia dapat karena telah percaya dan mengikuti jalan permainan yang Neta buat,hingga membuatnya dan juga Berlin seperti orang asing.

Berlin (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang