Hujan deras mengguyur kota Atlanka bersama angin dingin yang menerpa penduduk di kota kecil itu. Kota yang masih terjaga keindahan alamnya, kini seakan tak terlihat akibat hujan dan kabut tebal yang menutupi.
Di tengah hujan seperti ini, seorang pria berlari memasuki hutan pedalaman seraya membawa seorang bayi dalam gendongannya. Wajahnya penuh amarah, kaki terluka, rambut acakan dengan pakaian putih seorang ilmuwan yang melekat di tubuh itu, kini dipenuhi darah. Bukan darahnya, melainkan darah dari bayi yang baru saja lahir itu.
Tangisan bayi terus terdengar memenuhi hutan yang dikelilingi pohon rindang. Namun, hal itu tidak membuat sang ilmuwan merasa iba sedikit pun. Ia terus berlari, sesekali milirik ke belakang, di mana sang istri terus mengejar berusaha menahan walau langkahnya tak pasti.
"Alex, berhenti! Jangan bawa bayiku! Dia anakmu, Lex!" Wanita yang baru saja melahirkan itu, terus berteriak dan mengejar, berusaha menahan sang suami yang nekat membuang bayinya. Tak tahu kenapa dan apa alasannya? Pria itu bahkan tak memberi kesempatan pada sang istri melihat bayinya untuk pertama kali.
Wanita itu menangis, tak dapat berlari lebih jauh lagi. Tubuhnya semakin lemah dengan darah yang terus mengalir dari pahanya. Kaki yang dipenuhi darah itu bergetar, tak dapat menahan beban tubuh lagi. Ia terjatuh, merangkak mendekati sebuah pohon dan bersandar di sana. Kaki itu ia luruskan, pandangan mendongak ke atas dengan mata terpejam. Hatinya hancur, air mata semakin mengalir deras dengan napas yang masih tak beraturan seraya berharap agar tidak terjadi apa-apa terhadap bayi tak berdosa itu.
Hujan semakin deras, membuat wanita itu mulai kedinginan. Namun, bukan berarti ia menyerah. Setelah napas sudah mulai teratur, ia berusaha bangkit lagi dan mengejar sang suami yang sudah menjauh. Rasa sakit ia hiraukan demi keselamatan bayi kandungnya itu.
Sementara di sisi lain, ilmuwan muda yang berstatus suaminya, kini menghentikan langkah ketika jurang berada tepat di depan. Ia pun menyeringai seraya menatap benci bayi di gendongannya dan melempar bayi itu ke jurang begitu saja.
"Alex!" pekik wanita yang kini berlutut lemah tak berdaya. Matanya yang berbinar terus menatap jurang yang dipenuhi semak-semak di mana bayi itu dibuang. Bulir bening memenuhi pelupuk mata, jatuh semakin deras seakan tak percaya pada pemandangan di depan.
"Ayo, pulang!" bentak pria itu seraya menarik paksa tangan sang istri. Tangannya terus menarik-narik tubuh wanita yang masih terdiam kaku di tempatnya itu.
"Bayiku ... kau membunuhnya! Kau jahat, Lex! Dia anakmu!" Wanita itu berteriak, menangis sejadi-jadinya seraya memukuli sang suami seakan tidak terima atas perlakuan suaminya.
"Dia bukan anakku, tapi anak iblis! Berdirilah! Ayo, pulang!" Pria itu terus memaksa, bahkan tidak ada penyesalan di matanya sama sekali atas perbuatan barusan. Ia menarik paksa dan menyeret wanita malang itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
***
Duarr!
Petir menyambar, gemuruh saling bersahutan, hingga memunculkan sebuah cahaya besar di langit sana. Cahaya besar yang tak disadari manusia sedikit pun dan berpikir bahwa itu hanya cahaya biasa. Semakin lama, cahaya itu semakin turun ke permukaan, bersama dengan hujan yang melenyapkan cahayanya dan memperlihatkan sebuah keajaiban.
Dua orang saling bertarung di udara yang berasal dari cahaya tadi. Bunyi ledakan terus terdengar dari cahaya merah dan biru yang mereka keluarkan. Satu per satu mulai melemah dengan tenaga yang terkuras habis. Hingga salah satu dari mereka terjatuh akibat bola api yang menghantam punggungnya. Pria berjubah putih itu pun terkapar lemah, keningnya yang dihiasi pengikat kepala perak, kini terluka akibat terbentur. Terlebih punggung itu sudah terluka parah, membuat lawannya menyeringai.
Seorang pria bersayap hitam dengan kepulan api di tangannya, kini menatap tajam malaikat di depannya. Rasa puas memenuhi diri ketika berhasil melukai musuh terbesar itu.
"Bagaimana rasanya? Oh, ayolah! Kenapa kau semakin lemah? Perang besar belum dimulai, tapi kau sudah gugur hanya dengan bola api. Oh, apa sekarang kau masih memikirkan manusia itu?" tanya iblis itu mengintimidasi. Tatapannya semakin tajam seraya mengelilingi tubuh malaikat di depannya.
"Jangan meremehkanku. Kau tidak tahu apa-apa tentang manusia itu." Malaikat itu menjawab seraya mengepalkan tangan, berusaha menahan rasa sakit.
"Tidak tahu? Lalu, bagaimana dengan sayapmu? Kau tidak memilikinya lagi. Itu karena kau sudah mencintai dan melahirkan seorang penghancur untuk bumimu ini. Ketahuilah, Lucifer dan aku sudah merencanakan ini sejak lama. Tunggulah saat itu tiba. Tunggulah saat aku sendiri yang menemukan keberadaannya. Iblis akan menang dan membuat kalian para malaikat tunduk di hadapan kami. Kali ini kau selamat, tapi jangan harap bisa selamat suatu hari nanti. Kau benar-benar akan mati di tanganku." Iblis itu menyeringai, mengepakkan sayapnya dan terbang bagai kilat, lalu menghilang bagai asap tak tersisa.
Malaikat tak bersayap yang terduduk lemah, kini terpaku. Bayangan masa lalu, kenangan, penyesalan, hingga kesalahan yang ia lakukan seakan menari-nari di kepalanya. Semua tergambar jelas di depan sana dan inilah takdir yang harus ia terima. Bisakah ia mengubahnya kembali tanpa harus merugikan siapa pun?
"Ooeekk!" Suara tangisan bayi menyadarkan lamunannya. Ia melihat sekeliling, mencari asal suara itu. Tubuh yang lemah, ia paksakan agar bangkit dan berjalan di semak-semak belakangnya.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang bayi di sana. Segera ia meraih dan menggendong bayi yang kedinginan akibat hujan deras ini. Masih syukur bayi itu berada di tumbuhan-tumbuhan yang daunnya lebar, hingga membuat tubuh mungilnya tak terlalu basah.
"Kenapa tubuhmu biru?" tanya malaikat itu setelah ia berteduh di pohon rindang. Matanya menatap heran tubuh mungil yang membiru itu hingga ia melihat sebuah simbol tak asing di bahunya.
Ia tersenyum tipis, lalu melukai tangannya pada ranting tajam hingga darah segar mengalir dari luka tersebut. Ia pun memberikan darah itu ke mulut sang bayi, membuat tubuh yang semula biru seketika menjadi normal.
***
Hujan mereda disertai kabut yang mulai menghilang, memperlihatkan keindahan kota Atlanka. Mentari yang bersinar terang, kini mulai tenggelam digantikan rembulan indah di langit kelam sana.
Di malam sepi ini, seorang pria berjubah putih terus berjalan dengan hati-hati menyusuri jalanan kota. Mencari tempat yang aman untuk bayi di gendongannya itu. Hingga ia berhenti di sebuah panti asuhan yang masih terbuka. Senyum pun terlukis di wajahnya, ketika yang ia cari-cari kini telah berada di depan.
Pria itu menatap bayi mungil di gendongannya. Begitu menggemaskan saat ia tertawa kecil. Tangannya terulur mengelus pipi sang bayi, lalu memberikan sebuah kalung berliontin bulat kecil berwarna biru.
"Kalung ini sebagai tanda, sekaligus pelindung untukmu. Ketika umurmu sudah cukup, aku akan menjemputmu di tempat ini dan merawatmu sampai takdir itu benar-benar sudah berada di depan. Itulah janjiku padamu." Ia tersenyum, lalu perlahan meletakkan bayi itu di kursi depan panti asuhan.
Langkahnya menjauh seraya menatap bayi itu haru. Semakin jauh, hingga menghilang dari pandangan membuat tangisan bayi kembali terdengar memenuhi panti asuhan.
"Astaga, bayi siapa ini? Bayi yang malang, kemarilah!" Pemilik panti itu membawanya masuk ke dalam. Memberikan perhatian dan kasih sayang tanpa tahu asal bayi tersebut.
Tidak ada yang tahu bagaimana takdir bayi itu. Ini adalah awal kehidupannya. Ia hanya perlu menunggu hingga saat itu tiba dan takdirnya sudah berada di depan.
Tujuh belas tahun kemudian ....
#TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain and Blue Blood [TELAH TERBIT]
FantasyApa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar kata darah biru? Pasti kau akan berpikir bahwa ini tentang seseorang yang merupakan keturunan bangsawan atau kerajaan yang bergolongan ekonomi atas. Namun, ini bukanlah tentang kerajaan atau bangsawan...