Angin yang tenang perlahan meniup tengkuk gadis itu. Suasana tampak hening dan sunyi. Bahkan saat ini Lucy tidak bisa mendengar suara apa pun. Ia hanya fokus pada kertas putih polos yang kosong di tangannya. Membolak-balik kertas itu, tapi tetap saja ia tidak menemukan bayangan tulisan kuno yang ia lihat sebelumnya.
"Lucy! Awas!"
Suara teriakan seseorang membuat Lucy tersentak kaget dan kembali pada kesadarannya. Bersamaan dengan itu, suara klakson mobil terdengar keras seperti mendekat, hingga suatu dorongan keras menghantam kedua bahu Lucy. Gadis itu terhuyung ke belakang dan tersungkur di pembatas jalan.
Mobil hitam yang tadi hampir menabrak Lucy, kini beralih menabrak gerbang sekolah. Bagian depan mobil tampak penyok, pun dengan pagar sekolah yang rusak parah.
Lucy bergeming, memikirkan kejadian mendadak barusan. Netranya menatap sekeliling, melihat orang-orang yang mulai ramai berdatangan. Lucy mengernyit heran, merasa aneh. Bukankah tadi ada yang berteriak dan mendorongnya ke pinggir jalan? Lalu, ke mana orang yang menyelamatkannya barusan?
Gadis itu masih terdiam duduk di pembatas jalan. Lengan dan sikunya terasa perih, tetapi gadis itu tidak peduli. Ia masih memikirkan tentang seseorang yang menyelamatkannya barusan. Kenapa orang itu tidak menampakkan diri? Lalu, suara teriakan tadi terdengar tidak asing. Siapa dia?
Sebuah motor biru berhenti tepat di depan Lucy. Gadis itu masih terdiam. Hingga pemilik motor itu turun dan berlutut di hadapan Lucy.
"Lucy, kau tidak apa?" Lucy mendongak, menatap seorang pemuda di depannya. Matanya melirik nametag di seragam pemuda itu. 'Alvino Frumkin Archer.'
Lucy tersenyum tipis. Alvino atau biasa dipanggil dengan sebutan Vino adalah teman dekat Lucy. Belum bisa dikatakan sahabat, karena memang mereka baru dekat akhir-akhir ini. Gadis itu menatap pemuda di depannya yang tampak khawatir. Ia pun menggeleng, menandakan bahwa ia baik-baik saja.
"Aku antar ke kelas, ya?" Vino tersenyum tulus, manis sekali hingga terlihat satu lesung pipi di pipi kanannya. Ia meraih kedua lengan Lucy, membantunya agar bangkit.
"Makasih," ujar Lucy.
Vino hanya tersenyum. Tangan kanan ia rentangkan, lalu ditautkan ke pundak gadis itu. "Santai aja."
Mereka berjalan beriringan, menghiraukan orang-orang yang sibuk melihat kejadian di gerbang sekolah barusan. Langkah mereka santai saat memasuki koridor menuju kelas, seolah tak terjadi apa-apa. Koridor itu dipenuhi perbincangan, gelak tawa, dari para siswa-siswi yang bercanda ria di sana. Namun, semua itu sirna ketika melihat Lucy dan Vino. Satu per satu dari mereka menepi. Mungkin mereka diam karena kejadian yang dialami Lucy barusan yang menjadi perbincangan hangat di sekolah saat ini.
Tiba-tiba, langkah Lucy dan Vino terhenti ketika seorang pria tinggi berjalan menghampiri. Berhenti tepat di depan mereka seraya memasukkan tangan ke dalam saku dengan tatapan datar dan gaya khasnya.
Terlihat berwibawa dengan nametag bertuliskan 'Stevanus Aryando Fendric' atau biasa dipanggil dengan nama Arya.
Lucy yang melihat itu memutar bola mata malas. Pemuda di depannya itu adalah sahabatnya, bahkan sangat dekat sejak mereka kecil. Bisa dibilang Arya-lah yang paling mengerti dirinya. Namun, entah kenapa Lucy menjadi malas jika sudah melihat ekspresi datar pemuda itu.
Lucy mendengkus, lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan pria di depannya.
"Sabar, Bro!" kata Vino seraya menepuk pundak pria itu. Ia terkekeh membuat Arya hanya diam memperhatikan.
"Lucy! Akhirnya kau datang juga."
Seorang gadis ceria bernama Sheila yang merupakan sahabat Lucy tiba-tiba berlari menghampiri. Memeluknya, lalu menangkup kedua pipi Lucy seakan tak pernah bertemu satu tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain and Blue Blood [TELAH TERBIT]
FantasiaApa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar kata darah biru? Pasti kau akan berpikir bahwa ini tentang seseorang yang merupakan keturunan bangsawan atau kerajaan yang bergolongan ekonomi atas. Namun, ini bukanlah tentang kerajaan atau bangsawan...