{=} 2 {=}

6 0 0
                                    

Langit sore hari ini terlihat mendung dan angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Hening dan sepi yang kurasakan saat ini.

Aku duduk sendiri di balkon kamarku dengan pikiran berkelana kemana-mana. Sekilas mataku menatap pergelangan tanganku yang terluka.

”Kenapa aku melukai tanganku?”
Pertanyaan itu terus memutari otakku dan aku tidak menemukan jawabannya. Entah, aku merasa ada beberapa hal dariku yang tidak bisa kuingat.

Semuanya terasa ada yang kurang tapi aku tidak tau itu apa. Hal apa yang kulupakan.

“Kau sedang memikirkan apa?”

“Bahkan aku bingung dengan apa yang kupikirkan saat ini. Bisakah kau membantuku mencari jawabannya? “

Aku menatap mata Revan yang entah sejak kapan ia duduk di sampingku.

“Kenapa harus dipikirkan kalau kau sendiri tidak tahu jawabannya. Jangan membuat hidup yang sudah sulit bertambah sulit. Lebih baik jalani saja apa adanya.” Ucapnya lagi lalu tersenyum kearahku.

Aku mengangguk setuju kepadanya dan kemudian membalas senyumnya.
Yah benar.

Hidup sudah sulit jadi jangan membuatnya makin sulit..

Aku beranjak dari balkon menuju dapur untuk membuat minuman. Setiap kali Revan ke apartemenku, aku selalu membuatkan dia minuman.

Sudah seperti rutinitas membuatkan dia minuman.

“Kau mau Jus jeruk atau Apel?” Aku sedikit berteriak dari dapur, menawarkan minuman kepadanya. Aku menunggu jawaban darinya.

Namun tidak ada jawaban.

Aku mengulangi pertanyaan ku kepadanya dan sedikit kutambah volume suaraku. Tapi masih sama. Tidak ada jawaban darinya.

Aku kembali ke balkon menghampirinya tapi ternyata dia sudah tidak ada disana.

“Revaann…” aku memanggil-manggil namanya namun tak ada jawaban darinya.

Kuhampiri ke toilet berfikir mungkin dia ada disana, namun sama saja dia tak ada. “Kemana perginya dia?”

“Aku Pulaangg..”

Suara Venya terdengar nyaring di telinga saat ia memasuki apartemen. Aku dan Venya tinggal bersama di Apartemen kecil namun cukup untuk kita berdua.

Venya dan aku adalah perantauan dari bandung yang mengejar mimpi di Jakarta.

Dan Mimpi itu sekarang sudah jadi kenyataan dengan Venya yang sudah berhasil membangun kerajaan bisnisnya di bidang makanan walau masih dalam bentuk kerajaan kecil dan aku sudah menjadi seorang penulis dengan beberapa karyaku yang sukses difilmkan dan bukuku yang selalu Best seller.

Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi kami berdua.

“Oh kau pulang,” Aku menghampirinya dan mengambil plastik belanjaan di tanganya dan segera membawanya ke dapur, “Mari kita lihat belanjaan apa yang dibawa nyonya Venya,”

Aku mengeluarkan satu persatu belanjaan dari plastic.

Ada Cumicumi, kepiting, kerang, lobster ukuran besar, daun bawang dan masih banyak lagi bumbu bumbu dapur lainnya.

Ia membeli semuanya. Mataku membulat senang. “Wahhh, banyak sekali yang kau beli. Sepertinya kita akan ada pesta malam ini”

Venya tertawa senang sambil berlari menghampiriku, “Perayaan untuk sahabatku yang baru pulang dari rumah sakit, yaayyy”

Aku memicingkan mataku curiga kearahnya, “Jangan jangan saat aku dirumah sakit., kau bahagia ya melihat keadaanku? Saat ulangtahun ku kemarin, kau tidak ada sama sekali membuat perayaan untukku,”

Venya merangkul pudakku dan berkata, “Ulang tahun urusannya beda dong, Itukan kewajiban mu untuk membuat perayaan sendiri dan tugasku hanya menikmati perayaan itu, Hahahaha”

“Darimana asalnya membuat perayaan di hari ulangtahun adalah sebuah kewajiban,”

“Dariku, kau tidak dengar tadi keluar dari mulutku”

Aku menghela nafas kesal. Venya selalu menang disaat kita adu omongan seperti ini.

Tapi memang ku akui dia pintar mengolah kata dalam perbincangan. Mungkin itu adalah salah satu senjatanya membuat sukses restorannya.

“Aku kalah,” Ucapku sambil mengangkat kedua tanganku.

Venya tersenyum puas kearahku.
Dan aku ikut tersenyum kepadanya.

Dia adalah sahabat paket lengkap untukku. Semengesalkannya dia, aku jarang kesal ataupun marah kepadanya.

“Ayoo kita perang dengan bahan bahan ini,”
Ia berteriak semangat sambil mengacungkan daun bawang dan wortel dikedua tangannya.

Aku membalasnya dengan mengacungkan dua kepiting ukuran besar kepadanya, “ Peraaanng di mulaiii…”

*******

“Ven, Lihat deh bintang itu. Bagus yah,” Ucapku kepada Venya.

Duduk berdua di balkon apartemen dengan angin semilir dan sajian makanan penuh diatas meja yang kita buat tadi.

Tidak perlu lilin ataupun penghias lainnya. Nilai dari semua ini bukan mewahnya menu, tapi nilai semua ini adalah kebersamaan kita.

Aku sangat menghargai semua waktu yang kulewati bersama Venya. Dia adalah seseorang yang selalu ada untukku setelah kedua orang tua ku meninggal.

Dia adalah hal berharga bagiku. Aku yakin dia juga merasakan hal sama sepertiku. Dia bukan hanya sahabat bagiku, dia adalah keluargaku.
Siang itu, Aku duduk sendirian di depan sekolah baruku.

Saat itu aku masih Smp kelas 1. Aku pertama kali bertemu Venya saat pedaftaran sekolah baru. Tidak ada yang kukenal disana karena aku pindahan dari Surabaya.

“Haii, Mau pulang bareng nggak?”

Aku melihatnya berdiri disampingku dan tersenyum manis kearahku. Aku termasuk orang yang pemalu dan tidak begitu nyaman berbicara dengan orang baru.

Aku hanya membalas nya gelengan singkat sambil tersenyum canggung ke arahnya.

“Arah rumah kita sama kan? Bukankah kau tinggal di Perumahan Satriawijaya?”

Aku kembali mengangguk tanpa membalas senyumannya.

“Ya udah kalau gitu, pulang bareng aja yuk. Aku nggak terbiasa jalan sendirian,”

Venya langsung merangkul tanganku dan sedikit menyeretku. Yah, itulah Venya.

Kepribadian kita berdua sangatlah berbeda, aku cenderung introvert dan dia extrovert.

Dan itu membuat kita menjadi perpaduan yang cocok dan nyambung.

Aku banyak belajar darinya. Sedikit demi sedikit aku belajar darinya.  Bagaimana cara berbicara pada orang baru atau bersikap kepada orang baru, dan itu membuatku bisa sedikit mengurangi rasa maluku walau sampai sekarang masih ada sedikit rasa malu saat bertemu orang baru.

“Iyah bagus ya. Nyangka nggak sih kita bisa menjadi seperti saat ini. Mimpi kita nggak hanya jadi mimpi semata tapi kita bisa mewujudkannya. Kadang aku masih merasa ini semua kayak mimpi,”

“Setelah semua yang kita lewati disini. Jatuh bangun kita mewujudkan mimpi kita. Asin, manis, asem dan pahitnya halangan sudah pernah kita rasakan dan menurutku itu wajar sih. Apa yang kita perjuangkan selama ini sekarang sudah ada di genggaman kita. Dan tugas kita sekarang adalah bagaimana cara kita mempertahankannya.”

Malam itu kita habiskan dengan obrolan santai sesekali diselingi candaan lalu tawa diantara kita.

Kita saling bertukar cerita tentang kegiatan kita sehari ini, entah itu hal sepele atau mungkin hal yang tidak perlu untuk di bahas.

Kita saling bertukar rahasia kecil ataupun besar.

Percayalah bahwa anugerah itu ada untuk kehidupan kita. Walaupun itu hanya berbentuk hal kecil sekalipun.

===Next Part 3 🖤🖤🖤

Dear My Heart (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang