4

16 3 0
                                    

"Ayo Ra, besok kita jadi ke Jakarta kan."

"Iya Tan."

"Nanti kita naik kereta aja ya."

"Iya Tan."

...

"Cincin baru tuh Ra."

"Hmmm.. Iya Tan dikasih." Jawab Fara sambil tersenyum ragu.

"Dikasih? Lamaran maksudmu."

Fara hanya bisa mengangguk. Dan aku hanya bisa termenung lemas. Sial baru saja aku ingin menerapkan sabda kecil dari Bella. Kini tak bisa. Ya Tuhan kurang cepatkah aku untuk menggapai bidadari-bidadari yang kau ciptakan di bumi. 

Aku berusaha mengendalikan situasi, mengendalikan diri, emosi, serta harga diri. Aku antarkan Fara pulang ke peranduannya. Setelahnya? Aku menyesali habis-habisan keterlambatan ku. Vespa hitam mengiringi kesedihan yang mendalam. Bukan kesedihan, keterlambatan. Dalam batin ku, hanya bisa mencaci diriku sendiri. Mengapa aku begitu egois, Fara telah memperhatikan ku sejak lama. Sejak awal hidup di Bandung.  Mengapa aku tak bisa mengistimewakan sesuai kebutuhannya. Helm Cargloss  second ku pukul habis-habisan. 

...

Jakarta, petrikor yang menyambutku datang dengan ramah. Membawa kesah ku juga cerita ku dalam tas ransel yang penuh berisi cerita, resah, pakaian, dan macbook. Om Deni yang tak lagi menjadi anak dajjal, melainkan sudah menjadi sekutu malaikat. Kini ia menjemputku dari sebuah stasiun yang ku bilang cukup memiliki nilai historis. Pria tua yang kini sudah tak ada kabar, Fara yang sudah dilamar, dan tempat pelarianku. 

"Om, gimana hubungan om dengan Samara?"

"Syukur, baik-baik saja. Insyaallah dua tahun lagi om married An."

"Widih, mantep juga om gua yang satu ini."

"Iya lah, gimana kabar peremuan yang kau bawa kerumah waktu itu."

"Dia baik-baik saja om dengan calon suaminya." Jawab ku kesal.

"Udah punya calon toh dia, maaf ya An."

Kami kembali membisu. Jalanan kota sudah mulai sepi. Angkot serasa lenyap dari peradaban. Hanya dua atau tiga angkot saja yang aku temui. Ini malam takbiran pertama ku. Setelah dua kali lebaran aku lewatkan sendiri di Bandung. Kini akan terasa berbeda. Aku membawa diriku yang baru. Walau baru saja aku kehilangan lagi separuh yang baru. 

"An, ada surat sudah dua minggu belum dibuka. Ini untukmu."

"Dari siapa mah?"

"Kamu lihat saja sendiri."

Untuk Radian Alfa Biru. 

Bagaimana kabarmu Radian? Semoga kau baik-baik saja. Raga, jiwa, dan emosi mu. Maaf aku harus menuliskan surat ini kepadamu. Karena kau tak membalas pesan ku. surat ini ku tulis karena ada hal yang perlu aku sampaikan. Kini aku bekerja di kantor penerbit terbesar di Surabaya. Atasanku meminta untuk dicarikan penulis, maka dari itu aku percayakan kepadamu. Namun, aku harus bertanya kepadamu terlebih dahulu. Apakah kau mau, Radian Alfa Biru?

Mikaela.

Malam itu ramai terasa. Musabab gema takbir bergema dipenjuru kampung. Esok hari yang besar. Tapi hati ku makin sempit. Astaga, haruskah aku berkemelut lagi dengan masa lalu. Malam itu ku putuskan untuk mencari-cari informasi mengenai penerbit tempat bekerja Mikaela. Memang sangat bagus penerbit itu. Bukan penerbit sembarangan.

...

"Mah, Kanya, Om Deni. Aku balik ke Bandung ya. Makasih Waktunya udah nerima aku balik lagi ke sini. Maafin Radian ya Mah, Kanya, Om deni."

Kami berpelukan mesra. Terutama dengan Kanya dan Mama. Aku tak kuasa menahan kesedihan harus berpisah lagi dan lagi. Tapi bagaimana lagi. Banyak naskah yang menanti untuk ku sentuh dan ku baca lagi.

...

"Ra, kamu serius mau resign? Dan ninggalin semua yang kamu bangun."

"Semua diciptakan tuhan berpasangan An. Yang dibangun pasti bakal runtuh, semua yang datang akan pergi, dan yang tumbuh akan rapuh lalu tumbang. Kamu tahu aku punya salah kepadamu."

"Maksud kamu?"

"Aku berharap seutuhnya agar kamu aku miliki An. Tapi aku salah. Dalam mencintai dan memiliki harus separuh-separuh, tak apa tak utuh. Yang terpenting bisa saling mengisi bukan."

"Makasih An, udah mau bangun cerita hidup untuk anak ku nanti, kitanya runtuh. Tapi ngga dengan ceritanya. Akan aku bawa, aku sirami, dan aku jaga."

Aku mulai terisak.

"Biru, kamu bikin aku tenang. Jangan larut dengan kesedihan lagi ya. Makasih sudah datang, maaf aku harus pulang. Terimakasih sudah menyapa hati, maaf aku harus pergi." Ucap Fara dengan nada keberatan.

"Sering-sering ke Bandung dan ke Jakarta ya Ra. Aku bakal kangen kamu. Maaf aku ngga bisa mengistimewakan kamu, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sampai aku lupa bahwa tuhan menyuruh kamu datang ke hidup ku untuk mengobati itu semua."

Tak lama, mobil eropa keluaran terbaru datang, lalu membawa pulang Fara. Kini Bali akan menjadi cerita baru untuknya, maaf aku kalah cepat. Fara Anindita.

...

Beberapa bulan ini naskah ku makin kacau, seminar-seminar pun makin kacau jadwalnya. Biasanya Fara yang mengurusi ini semua. Kini tak ada. Pihak penerbitku berkata bahwa dalam beberapa bulan aku akan mendapat Semacam Manager serta editor pengganti. Semoga saja aku cocok dengannya. 

...

Minggu-minggu ini naskah sedang terbengkalai. Apalagi diriku, tubuh kian kering-kerontang, hanya minum teh atau kopi. Rokok jadi santapan utama selalu. Lini Masa jadi pengobat segala kebosanan itu, sembari mencari objek untuk dipotret. Kang Ivan selalu menyapa hangat tiap-tiap pelanggan yang datang, termasuk diriku. 

Aku duduk di bar, sesekali memotret dan bercanda dengan beberapa pegawai. Namun, aku kembali terfokus dengan sesosok yang ku kenal. Duduk di paling pojok gerai, sendiri, dan sedang murung. Rambutnya terurai. Aku memutuskan menghampirinya.

"Hallo, Daneen Bella.."

3 jamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang