Aku menatap wajah Arif yang tak berubah, padahal wajahku merah bak tomat masak menahan amarah. Emosiku meningkat, mataku mengekspresikannya semakin membulat. Tapi laki-laki di hadapanku malah semakin merekahkan senyumnya.
"Tenanglah Aisyah. Kalau semua hal harus kita respon, capek. Keep calm," ucapnya setengah berbisik. Demi, aku memasang rona wajah tak terima.
"Berbuat saja, sesuai kapasitas kita. Tak mengapa meski tak didengar. Allah menilai sesuai keikhlasan niat lillah kita, bukan hasilnya. Bahkan meski posisi kita hanya rumput yang diinjak-injak. Tapi kita harus faham, bahwa akar rumput akan tetap hidup dengan tumbuhan dan semangat hidup yang baru," terangnya. Mataku memanas. Cairan di dalamnya memberontak menerjang bendungan di pelupuk. Segera kudekap pria yang setahun lalu menjabat tangan Ayah, mengucap akad, pertanda Syah memindah kunci surgaku di tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kolaborasi Rasa
Short StoryPernah tau pentigraf? Aku belum pernah belajar secara formal tentang pentigraf, cerpen yang hanya memiliki tiga paragraf. Namun, sekalinya pernah nyoba buat, ketagihan untuk terus mencipta pentigraf-pentigraf baru. Ini adalah beberapa ke-halu-an ak...