Ada Yang Hilang

1K 177 8
                                    

Kanao tersenyum kaku pada sang pemilik rumah dan masuk kedalam kamarnya. Dengan wajah sedatar biasanya ia pun mulai mengeluarkan alat tulis dan secarik kertas sementara burung gagaknya sudah bersiap di atas atap rumah tempatnya bermalam hari ini. Apa yang harus ia tulis? Apa yang harus ia tanyakan?

Kuasnya berhenti satu senti dari atas kertas. Ia yang tak tahu harus berbuat apa pun membatalkan niatnya untuk menulis surat pada Aoi. Apa yang ingin ia tuangkan dalam surat? Mengkonfirmasi kematian salah satu anak didiknya secara gamblang dan menyakitkan, begitu?

Kanao menghela napas dan membatalkan niatnya untuk menulis surat. Dirapikannya kembali alat tulis serta dimasukkannya kertas kedalam kotak khusus sebelum akhirnya ia duduk menghadap jendela dan melakukan konsentrasi pernapasan penuh. Ia tidak terbiasa dengan kematian. Ia tidak akan pernah terbiasa.

Sementara di luar ruangan, sang pemilik rumah dan beberapa orang, mulai berkumpul di area paling jauh dari kamar Kanao berada. Mereka berbisik sepelan dan sehati-hati mungkin kalau saja sang pillar bunga akan keluar secara mendadak dari dalam ruangannya.

"Bagaimana ini? Apa kita bisa menahan pillar bunga selama mungkin dari sini?" Bisik salah seorang yang mengaku sebagai pekerja di rumah tersebut.

"Aku ingin membunuhnya, sungguh." Racau seseorang dari kerumunan tersebut.

"Jangan gegabah! Kita belum mendapat aba-aba apapun untuk itu. Kita juga harus tahu apa yang direncanakan para pembasmi iblis itu sebagaimana yang dikatakan Muzan-sama."

"Tapi aku terlalu gerah. Bagaimana bisa kita melewatkan santapan kuat di depan mata begitu saja? Terlebih dengan anehnya perintah pemimpin."

Mereka semua terdiam. Meski mereka menyadari anehnya permintaan tersebut, mereka tak mungkin berserah diri untuk menjemput ajal mereka begitu saja. Semua iblis yang menyamar itupun menghela napas gusar. Satu persatu dari mereka pun mulai membubarkan diri. Tidak menyadari bahwa Kanao sejak awal memang sengaja memasukkan diri kedalam sarang mereka dengan maksud yang sama.


.
.
.


Genya yang tengah menyamar sebagai penjaga distrik merah menatap sekitar dengan ujung matanya. Wajah garangnya yang diubah sedemikian rupa serta tatanan rambut mohawk-nya yang tertutup rambut palsu menyamarkan identitasnya dari seorang Shinazugawa Genya menjadi Matsumoto. Tanpa nama keluarga dengan alasan seorang rendahan tak butuh hal tersebut. Genya memainkan perannya dengan sangat baik meski terkadang rasa gugup merayap di kala malam hilang dan hendak berganti mentari cerah. Saat-saat di mana pergantian jam kerja dengan sesama rekan penjaga para penghibur distrik merah.

Awalnya ia tidak yakin rencana mendadaknya ini akan berjalan mulus. Mungkin memang karena tekniknya tidak memancing timbulnya aura kekuatan secara gamblang seperti yang lainnya. Mungkin juga karena ia yang tergolong lemah dibanding dengan empat sahabatnya. Mungkin hal lainnya yang tidak ia sadari. Tapi yang jelas, rencana mendadak miliknya berhasil dan kini ia sudah menetap di distrik yang menjanjikan kepuasan itu selama sebulan lebih.

Genya tersenyum tipis sebelum akhirnya lenyap karena lirikan beberapa calon geisha muda kearahnya. Dengan tatapan yang dibuat sedatar mungkin, ia menyambut lirikan tersebut sehingga membuat beberapa diantaranya tersipu malu.

'Jangan berharap lebih padaku, kalian ini.' Batin Genya sembari mendengus pelan.

Ia tidak tahu apa yang mereka lihat dari dirinya. Tapi sudah beberapa kali ia mendapati lirikan malu-malu hingga yang paling nakal sekalipun kearahnya selama ia menjadi seorang Matsumoto. Mungkin sudah saatnya ia berbangga diri dengan karisma yang tubuh tegap berisi miliknya. Memikirkan hal tersebut membuat Genya berusaha menahan tawa. Sejak kapan ia tertular kelakuan sahabat kuningnya yang suka sekali memikirkan cinta?

Sebelum rombongan calon penghibur itu benar-benar menjauh dari tempat Genya berdiri, mereka semua terdiam dan mundur beberapa langkah. Genya menaikkan sebelah alis yang dilukis di wajahnya sebagai penyamarannya itu dan menatap lamat rombongan yang menuntun Warabihime menuju rumah Kyogoku.  Genya bergumam sejenak sebelum akhirnya menatap kearah lainnya dan berpura-pura tidak memperhatikan gerak-gerik orang yang selama sebulan ini ia awasi.

'Ia selalu muncul di malam hari.'

.
.
.


Tanjirou keluar dari rumah makan dengan perut penuh. Ia yang akhirnya bisa leluasa mengelilingi desa yang ia diami selama setengah tahun lebih itu pun sangat bersemangat untuk mengeksplorasi tempat yang tak bisa ia jamah selama Douma, iblis bulan atas tingkat dua mendiami desa sebagai seorang dewa. Sungguh, Tanjirou ingin muntah karena jijik begitu mendengar bagaimana mereka mendewakan iblis yang menghabisi populasi manusia selama ini. Dan semenjak peristiwa tragis itu terjadi, Douma serta merta menghilang begitu saja dari desa. Membuat para warga bersedih, sementara ia serta dokter Tamayo maupun Yushiro akhirnya bisa bernapas lega sembari menggerutu.

Selama enam bulan bersama dokter Tamayo, Tanjirou mengamati proses pembuatan cairan penawar yang bisa mengembalikan Nezuko menjadi manusia. Ia berharap minggu ini adalah minggu terakhir dari persembunyiannya dan Nezuko sudah benar-benar kembali utuh menjadi manusia.

Sekembalinya dari berkeliling, ia memasuki pekarangan rumah milik dokter Tamayo dan mendapati seorang perempuan terduduk di depan pintu masuk dengan wajah dibenamkan di atas lutut.

"Nezuko?"

Nezuko mengangkat wajahnya lalu tersenyum lebar. Tanjirou yang hendak menerjang Nezuko dengan sebuah pelukan pun mengurungkan niat begitu melihat gigi taring sang adik masih sangat tajam dan sedikit lebih panjang sebagaimana sosok iblis. Melihat hal itu, Nezuko mengerutkan kening.

"Nii-san?" Panggilnya dengan sedikit terbata.

"Kau manusia kan, Nezuko?" Tanya Tanjirou penuh keraguan. Seharusnya tidak seperti ini, bukan? Seharusnya, sebagaimana perkataan Tamayo, Nezuko sudah kembali menjadi manusia utuh. Di mana sosok manusia Nezuko tidak memiliki taring seruncing itu.

"T-tentu, saja!" Pekik Nezuko.

Tanjirou masih tidak percaya dan masih enggan mendekat. Ia harus melakukan sesuatu untuk meyakinkan dirinya bahwa Nezuko sudah benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Dan mungkin dengan cara tersebut ia bisa mempercayainya meski tidak terima dengan taring di gigi sang adik.

Ia menarik pedang nichirin yang disembunyikan di balik haorinya dan tanpa aba-aba menggores bagian tajam pedang tersebut di jari telunjuknya. Yang tentu saja membuat Nezuko memekik ketakutan dan berlari mendekati sang kakak.

"Nii-san! A-pa ya-ng kau! lakukan?"

Nezuko mengusap darah yang merembes dari kulit Tanjirou dengan kimononya. Dan dari dekat, Tanjirou melihat sang adik dengan seksama. Tidak ada reaksi haus akan darah. Tidak ada liur penuh nafsu akan tetesan darah. Dan mata Nezuko tidak membesar dan mengecil selayaknya ia ketika menjadi seorang iblis.

Adiknya...adiknya manusia! Tapi kenapa taring iblis masih terbingkai di wajah ayunya?!

SEARCH! - REVERSE [ SEASON 2 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang